Media Sosial dan Kegundahan Milenial

Judul : SAD GIRLS
Penulis : Lang Leav
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Edisi : Pertama, Mei 2018
Tebal : 312 hal
ISBN : 9786020383941
Peresensi : Khoimatun Nikmah
Mahasiswi Universitas Semarang. 

Dunia sosial media memang telah mengubah besar-besar dunia literasi. Lang Leav dan Rupi Kaur, misalnya, adalah dua nama penyair muda internasional yang dibesarkan dan berhasil menggaet pembaca melalui media sosial, khususnya Instagram. Buku-buku mereka laris manis di kalangan pembaca muda, diterjemahkan dalam beragam bahasa, dan tentu beberapa menyita perhatian kritikus. Buku puisi Lang Leav dengan judul Lullabies bahkan meraih Goodreads Choice Awards pada tahun 2014 untuk kategori buku puisi.
Tak beda jauh dengan puiis-puisinya, novel debut Lang Leav ini juga masih berkutat dengan perkara anak muda, dengan nuansa pemberontakan akan kebebasan. Dua hal itu kemudian dijalin dengan nuansa gelap dan marun kematian yang terjadi di tengah kelompok pertemanan.
Audrey, Ana, Lucy, dan Candela digambarkan sebagai kelompok gadis yang berteman cukup akrab. Meski kadar kedekatan masing-masing berbeda, tapi interaksi mereka cukup erat. Namun semuanya berubah ketika Ana ditemukan kaku di bak mandi dengan pergelangan tangan tersayat silet. Ana bunuh diri. Tiga kawan lainnya terguncang. Terlebih Audrey. Duka sangat kuat pengaruhnya. Duka tak ubahnya besi panas, yang nyaris mustahil dipegang. (hal.122)
Audrey harus terus berkonsultasi dengan psikolog lantaran mengalami gangguan kecemasan berlebih. Candella mendadak memutuskan keluar dari rumah, menyewa kamar, putus sekolah, dan yang paling ekstrem berdekatan dengan obat-obatan terlarang dan menjalin hubungan dengan lelaki yang 30 tahun lebih tua, Dirkh. Lucy yang seolah tak terpengaruh, nyatanya menyimpan sekam di belakang.
Audrey menyimpan rahasia. Audrey melempar dusta yang berniat untuk bercanda bahwa Audrey sekali pernah menyaksikan Ana berhubungan badan dengan ayahnya. Dusta ini ternyata menyebar ke seluruh kota dan membuat Ana tertekan. Dusta menyelinap keluar dari jangkauanku dan menjalar di seluruh kota kecil kami, Three Oaks, bagaikan kebakaran hutan. (hal.13)
Kekacauan semakin membiak ketika Audrey dan Rad, mantan kekasih Ana menjalin hubungan spesial dan saling suka. Dasarnya adalah kesedihan kematian Ana dan rasa saling membutuhkan. Hingga keduanya memilih untuk tidak lagi bertemu dan saling menghapus kontak di ponsel masing-masing.
Menarik adalah mengamati sosok Candela yang digambarkan begitu bebas, memilih putus sekolah, dekat dengan obat-obatan terlarang, dan seks bebas. Candela adalah wakil kuat untuk suara Lang Leav. Dunia anak muda yang bebas dan hipster sekali. Suara Lang Leav di puisi-puisinya terwakilkan oleh sosok Candela.
Sedangkan aktivitas Audrey dan Rad yang tulis-menulis, menjadi ejawantah Lang Leav secara pekerjaan. Bahkan Rad berujar ketika berhasil menyelesaikan novel perdananya, A Snowflake in A Snowfield, “Novel pertama seorang pengarang selalu, setidaknya sebagian, adalah autobiografi. (hal.146)” Rad telah berhasil merangkum kesedihan dan percakapannya dengan Audrey dalam novelnya.
Penulis menyerap segala hal yang sangat personal, hal-hal yang diucapkan kepada mereka dengan percaya diri, sering kali pada momen-momen yang sangat intim, dan mengubahnya menjadi kata-kata. (hal.124) Ini yang membenarkan klausa bahwa dilarang curhat kepada penulis, bisa-bisa kisah kita akan masuk ke dalam salah satu ceritanya.
Karena novel yang sangat sentimental inilah, Audrey kembali bertemu dengan Rad. Kali ini hubungan mereka semakin panas dan Audrey berhasil memutus hubungan dengan Duck. Namun, kekacauan semakin tak terkendali ketika Audrey harus tahu bahwa Rad ada di belakang semua ini. Rad pula yang menyebabkan kecelakaan kekasih Lucy.
“Aku menemukan tubuh Ana dan meletakkannya di bak mandi, masih berpakaian lengkap. Aku menyalakan air. Kemudian aku menemukan silet di salah satu lemari. Aku menempatkan diri di belakang Ana agar mendapat sudut yang tepat saat mengiris pergelangan tangannya, (hal.298)” pengakuan Rad kepada Ana.
Secara garis besar, kisahnya dapat dirangkum sebagai karma dari ulah dusta tak pantas yang dilakukan Audrey. Tidak lebih.
Bila membandingkan dengan puisi-puisi Lang Leav, Sad Girls masih sangat encer. Bahkan terkesan remeh tidak kuat. Lang Leav berkutat dengan dialog-dialog panjang yang tidak dalam. Seolah Lang Leav tergesa-gesa untuk gegas membangun plot utuh dan menyibak siapa di balik kematian Ana. Kesan demikian juga tampak ketika Audrey mengungsi ke Colorado dan kemudian Rad pindah ke salah satu daerah pertanian. Bagian ini adalah bagian paling tidak mengenakkan. Karena Lang Leav seolah memaksakan akhir cerita yang dijejalkan ke pembaca agar utuh dan bulat. Sayangnya, justru menjadi lubang tidak mengenakkan.
Satu lagi yang perlu diperhatikan adalah kesukaan Lang Leav menggunakan permisalan. Bahkan di bab pertama, Lang Leav seolah menumpahkan semua kemampuan mengambil metafora dan permisalan. Kesan penuh dan sesak ini menambah suasana tidak enak ketika awal membuka buku ini.
Selebihnya, sebagai novel debutan yang sukses di pasaran, Sad Girls menjadi bacaan kisah remaja yang berusaha membicarakan kematian dan dusta, tapi tak begitu dalam. Secara personal, saya lebih memilih Lang Leav sebagai penyair daripada memaksakan diri menjadi novelis.

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: