Mega Proyek Jatim dan Potensi Konflik Agraria

Oleh :
Umar Sholahudin
Dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, Mahasiswa S-3 FISIP Unair, sedang menulis Disertasi tentang Konflik Agraria di Jatim
Propinsi Jawa Timur menjadi target nasional yang diharapkan mampu mempercepat dan mengungkit angka pertumbuhan eknomi nasional. Dalam kerangka itu, Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 80 tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi di Kawasan Gresik – Bangkalan – Mojokerto – Surabaya – Sidoarjo – Lamongan, Kawasan Bromo – Tengger – Semeru, serta Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan.
Sebagaimana disebutkan dalam lampiran Perpres Nomor 80 Tahun 2019, ada lima kawasan proyek yang akan direalisasikan di Jatim. Pertama, di kawasan Gerbangkertosusila. Di kawasan itu total ada 77 proyek yang akan dikerjakan dengan total nilai investasi Rp 163,1 triliun. Kemudian proyek kawasan Madura dan Kepulauan sebanyak 26 titik proyek dengan nilai investasi Rp 12,98 triliun. Lalu pengembangan kawasan Bromo Tengger Semeru yang memiliki 47 proyek dengan nilai Rp 38,07 triliun. Kawasan Selingkar Ijen yang bakal dibangun 24 proyek dengan total nilai investasi sebesar Rp 36,4 triliun. Kawasan Selingkar Wilis dan Lintas Selatan sebanyak 44 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 41,84 triliun. Sehingga total investasi mencapai Rp 292,4 triliun (lihat tabel).
No Tempat Jumlah Proyek Nilai Proyek/investasi
1 Gerbangkertosusila 77 proyek Rp 163,1 triliun
2 Madura dan Kepulauan 26 proyek Rp 12,98 triliun
3 Bromo Tengger Semeru 47 proyek Rp 38,07 triliun
4 Selingkar Ijen 24 proyek Rp 36,4 triliun
5 Selingkar Wilis dan Lintas Selatan 44 proyek Rp 41,84 triliun
Total proyek 218 unit Rp 292,4 triliun
Adapun skema pembiayaannya, dari total 218 proyek strategis nasional tersebut, APBN menanggung 108 proyek dengan nilai investasi Rp 41,84 triliun. Kemudian APBN/APBD menanggung ada satu proyek dengan total Rp 45,8 triliun. Sementara Sektor BUMN/BUMD juga akan terlibat dalam skema pembiayaan untuk 19 proyek dengan nilai investasi Rp 67,6 triliun. Sisanya 72 proyek dengan total investasi Rp 136,1 triliun dengan sistem KPBU. Sektor swasta juga turut andil untuk menangani 17 proyek dengan nilai investasi Rp 46,7 triliun. Mega proyek di Jawa Timur dengan biaya ratusan triliyun tersebut tidak hanya untuk membangunan infrastruktur jalan dan infrastruktur pendukung pertumbuhan ekonomi saja, namun Perpres tersebut juga untuk membangun infrastruktur peningkatan pelayanan kesehatan.
Potensi Konflik Agraria
Mega proyek Jatim yang menelan biaya ratusan trilyun tersebut tentu saja akan memerlukan kebutuhan lahan atau tanah yang sangat besar. Dengan kata lain, kebijakan invetasi yang liberalistik yang berupa mega proyek tersebut akan berpotensi menimulkan banyak masalah sosial di masyarakat, salah satunya konflik agraria akan semakin meruncing dan meluas. Ini mengingat, investasi yang penetrasinya sampai ke daerah, bahkan pedesaan, tentu saja membutuhkan lahan yang luas. Dalam titik ini, lahan-lahan pertanian di pedesaan sanga rawan menjadi sasasran pengambilan secara paksa, termasuk alih fungsi lahan akan semakin ekspansif, dengan atas nama pembangunan dan investasi. Praktek-praktek ala orde baru, yakni perampasan sepihak hak atas tanah masyarakat lokal atau adat sangat mungkin terjadi. Saat ini saja dengan kebijakan infrastruktur yang megitu masif dan eksesif, telah melahirkan berbagai konflik agraria yang meluas di berbagai daerah di Jawa Timur.
Dalam evaluasi akhir tahun, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat, sepanjang tahun 2017 terjadi kenaikan konflik sebesar 50 persen dibandingkan tahun 2016, dari 450 kasus menjadi 659 kasus konflik agraria dengan cakupan 520.491 hektare. Konflik-konflik tersebut melibatkan sedikitnya 652.738 Kepala Keluarga (KK). Dibanding tahun 2016, angka kejadian konflik pada tahun ini menunjukkan kenaikan yang sangat siginifikan di mana terjadi peningkatan hingga 50%. Jika dirata-rata, hampir dua konflik agrarian terjadi dalam satu hari di Indonesia sepanjang tahun ini. Konflik agraria ini diprediksi akan semakin meningkat seriing dengan meningkatnya kebutuhan tanah untuk pembangunan, salah satunya pembangunan infrastruktur dan industrialisasi yang begitu masif di berbagai dearah. Di tambah lagi, munculnya RUU Pertanahan yang bermasalah dan diprotes para petani. Sebut saja misalnya pada pasal 91 RUU, berbunyi ;”Setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya atau orang suruhannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dengan paling banyak Rp 500 juta”. Pasal ini, akan berpotensi dijadikan sebagai alat untuk mengkriminalsiasi para petani dalam mempertahakan hak atas tanahnya yang telah dikuasai dan dimanfaatkan sebagai sumber penghidupan sejak lama. Konflik agrraria akan semakin meruncing.
Dalam catatan akhir tahun 2018, LBH Surabaya mencatat sebanyak 32 konflik agraria yang tersebar di seluruh Jawa Timur dengan luasan lahan konflik seluas 7.144,27 hektar sampai saat ini tidak terselesaikan. Kebijakan dan program reforma agraria Presiden Jokowi yang digulirkan pada tahun 2018 dengan ditandai terbitnya Peraturan Presiden (Pepres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan masyarakat korban konflik agraria. Bahkan Perpres tersebut tidak menyasar upaya penyelesaian konflik agraria petani selama bertahun-tahun. Selain itu upaya untuk mengkriminalisasi petani hutan menggunakan UU. No Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan terus terjadi di lapangan. Salah satunya terjadi pada kasus Pak Joyo di Lumajang dan Satumin di Banyuwangi. Konflik-konflik agraria di berbagai daerah yang menjadi sasaran proyek industrialsiasi, termasuk pembangunan infrastruktur semakin sering terjadi.
Terkait dengan konflik agraria di Jawa Timur, mantan Gubernur Jawa Timur, Soekarwo dalam acara Rapat Koordinasi Pendataan, Inventarisasi dan Solusi Permasalahan Tanah di Jawa Timur 2019, pernah mengatakan, saat ini setidaknya terdapat 102 kasus sengketa tanah yang bersifat komunal yang terjadi di 18 kabupaten/kota di Jatim yang sedang dilaporkan ke KOMNAS HAM RI untuk dicarikan penyelesiakannya yang komprehensif dan berkeadilan. Lebh lanjut Soekarwo menjelaskan, prinsip dasar dari sengketa tanah semuanya bermuara pada siapa yang menjadi pemilik tanah tersebut dan bagaimana legalitasnya. Persoalan konflik tanah adalah persoalan krusial dan kompleks yang tidak cukup diselesaikan dengan hukum positif secara mutlak, tetapi harus juga harus mempertimbangkan kelangsungan hidup dan kehidupan warga masyarakat serta konteks sosio-historisnya. Karena baik secara individual maupun komunal, masyarakat mendapatkan hak penguasaan, pemanfaatan, dan kepemilikan tanah secara turun-temurun.
Karena itu, kebijakan investasi penetratif dan ekspansif dalam bentuk mega proyek Jawa Timur tersbeut, apalagi nantinya akan dituangkan dalam hukum payung (omnibus law), harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai ambisi berburu banyak dollar, kemudian mengorbankan kehidupan masyarakat. Biaya sosial dari sebuah kebijakan investasi yang penetratif dan kolonialistik, dengan sasaran industri ekstratif, akan sangat besar dan mahal. Hak-hak komunal masyarakat lokal, baik itu sosial, ekonomi, dan budaya akan semakin tergerus. Kehidupan masyarakat lokal akan terancam tersingkir dengan ekspansi dan kolonialisasi lahan di pedesaan oleh para investor besar (baca: kapitalis). PR bagi pemerintah pusat dan daerah, bagaimana menghadirkan kebijakan dan praktek investasi daerah yang inklusif dan ramah lingkungan.
———- *** ————

Tags: