Melacak Jejak Penemu Kretek

Judul : Djamhari Penemu Kretek
Penulis : Edy Supratno
Penerbit : Pustaka Ifada
Tahun : Cetakan 1, 2016
Tebal : xviii+254 halaman
ISBN : 978-602-72250-3-9
Peresensi : Al-Mahfud
Bergiat di Paradigma Institite Kudus.Menulis artikel, esai, dan ulasan buku di berbagai media massa.

Kretek sebagai bagian warisan budaya bangsa pernah menjadi perbincangan menarik yang memunculkan pro dan kontra dari banyak kalangan. Namun, dari mana sebenarnya awal mula kretek itu sendiri? Tentang kretek, kita mengenal nama Nitisemito dan Djamhari. Nitisemito merupakan seorang pengusaha kretek yang sukses dan bisa dibilang terbesar di masanya. Bagaimana dengan Djamhari? Banyak penulis menyebut Djamhari sebagai penemu kretek. Namun, belum banyak yang diketahui tentang sosok Djamhari. Kebanyakan penulis hanya menyinggung Djamhari secara sekilas.
Van der Reijden (1934) merupakan orang yang meneliti keberadaan industri rokok di Indonesia. Pengawas tenaga kerja untuk Jawa dan Madura ini bisa dikatakan sebagai orang yang memopulerkan nama Djamhari. Namun, Reijden dalam bukunya lebih banyak menceritakan pasang surut industri rokok. Penulis-penulis lain yang juga menyebut nama Djamhari diantaranya Oarada Harahap (1952), Lance Castles (1982), Solichin Salam, Amen Budiman-Onghokham, Mark Hanusz, Rudy Badil, dan Sri Margana. Namun semua sekadar berbicara kretek secara umum (hlm 20).
Buku ini mencoba menelusuri jejak Djamhari meski berbekal keterangan yang sangat minim. Sejak awal, penulis mengungkapkan kesulitan mencari data Djamhari yang dianggap seperti menjadi jarum dalam tumpukan jerami. Hanya ada sedikit keterangan dari Rudy Badil, bahwa Djamhari tinggal di Langgardalem Kudus. Penulis menelusuri Djamhuri dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), Perpustakaan Nasional Jakarta, Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Kudus, Kantor Balai Desa Langgardalem Kudus, Kantor Asrsip Jepara, dan Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kudus, sampai mencari dari data catatan tentang haji di kantor Arsip Den Haag Belanda. Namun, semua masih nihil.
Sampai separuh buku terlewati, pencarian Djamhari masih belum menunjukkan hasil. Pencarian baru menemui sedikit titik terang ketika penulis mendapat informasi dari Richanah (86) anak Bardjandjie, sepupu Djamhari yang tinggal di kelurahan Kerjasan Kudus. Dari Richanah, penulis mendapat rekomendasi untuk menemui Ahmad di Bandung, seseorang yang dekat dengan Djamhari. Berbekal buku silsilah keluarga besar Hardiwidjoyo, saudara sepupu Djamhari dan keterangan dari Ahmad (91) penulis mendapat banyak keterangan tentang Djamhari. Dari Ahmad, penulis bahkan bisa bertemu dengan Kardini (92) anak ke-10 Djamhari yang tinggal di Singaparna.
Dari wawancara dengan sumber lisan tersebut, diketahui bahwa Djamhari pernah tercatat sebagai pengurus Sarekat Islam (SI) wilayah Prawoto (Undaan) Kudus pada tahun 1912. Hal ini juga diperkuat dengan dokumen tertulis berisi nama-nama anggota Sareka Islam (SI) Kudus. Keterangan Ahmad tak sekadar mendedahkan silsilah dan anak Djamhari, namun juga membuka jalan menguak kepindahan Djamhari dari Kudus menuju ke Cirebon, lalu ke Tasikmalaya Jawa Barat.
Pada Oktober 1918, terjadi kerusuhan di Kudus antara warga pribumi dengan kelompok Tionghoa. Konon disebabkan persaingan dagang. Usai kerusuhan, pemerintah kolonial menangkap orang-orang yang dicurigai dengan asal tangkap. Diduga, posisi Djamhari sebagai anggota Sarekat Islam membuatnya tak nyaman sehingga ia pindah dari Kudus ke Cirebon, sebelum tinggal di Tasikmalaya Jawa Barat. Di Singaparna kisaran tahun 1919-1920, Djamhari pernah berdagang pakaian dan juga material bangunan. Kepindahannya ke Jawa Barat kemudian menjadi sebab logis sulitnya mencari jejak Djamhari di Kudus.
Eksperimen
Sebagaimana diketahui dari kebanyakan literatur tentang kretek, saat-saat penemuan racikan kretek bermula dari eksperimen Djamhari saat ia merasa sasak dadanya pada kisaran tahun 1880-an. Ia mengolesi dadanya dengan minyak cengkeh yang membuat dadanya terasa hangat dan rasa sesak berkurang. Penasaran, ia mencampuri rokoknya dengan rajangan cengkeh, lalu disulut dan dihisap. Hisapan demi hisapan, ia merasa ada suara yang berbeda. Saat api membakar rajangan cengkeh, terdengar suara kretek.. kretek.. Bunyi inilah yang kemudian menjadi awal nama rokok kretek.
Rokok buatan Djamhari ini kemudian diminati banyak orang. Djamhari pun melayani pembelian dari banyak orang. Pada gilirannya, rokok kretek ini menjadi varian baru menyusul rokok tembakau yang sudah ada seperti rokok kawung, klobot, dan rokok putih. Dari wawancara dengan anak-anaknya, diketahui bahwa kebiasaan Djamhari mengonsumsi cengkeh untuk mengobati rasa sakit di dada memang terus berlangsung, bahkan temuan tersebut dikenalkan dengan saudaranya.
Buku ini tak sekadar mengisahkan pencarian Djahmhari. Perjalanan melacak sosok Djamhari pada gilirannya bersinggungan dengan banyak hal; perkembangan industri kretek, bermacam tradisi di Kudus, sejarah kereta api, pabrik gula, hingga tradisi menghisap candu atau opium. Akhirnya, buku ini bisa dikatakan telah berhasil mendedahkan sejarah Djamhari yang sekitar seratus tahun belum terkuak oleh para sejarawan. Hadirnya buku ini kemudian menepis anggapan yang pernah muncul bahwa Djamhari hanya sosok fiktif.

                                                                                                               ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: