Melantik Pemenang Pilkada

Pemenang PilkadaPilkada serentak (2015) sudah berakhir. Tetapi hiruk-pikuknya belum selesai benar. Termasuk wacana pemerintah (pusat) pelantikan pasangan Bupati dan Wakil Bupati (serta Walikota dan Wakil Walikota) di Jakarta. Wacana Menteri Dalam Negeri itu, nyata-nyata menyimpangi amanat UU Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada. Sebab gubernur, memiliki kewenangan melantik bupati dan walikota di ibukota propinsi. Kecuali dalam situasi khusus, manakala Gubernur maupun Wakil Gubernur berhalangan.
Dalam UU Nomor 8 tahun 2015, pada pasal 163 ayat (1) terdapat hak presiden melantik Gubernur di istana negara. Sedangkan Gubernur hak gubernur (melantik bupati dan walikota) tertulis pada pasal 164. Sesuai kaidah otonomi daerah (berdasar UUD), antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, terdapat pembagian kewenangan. Termasuk “meng-eksekusi” hasil pilkada.
Pilkada serentak 9 Desember 2015, digelar di 269 daerah, diikuti 831 paslon. Terdiri dari 714 paslon bupati dan wakil bupati, serta 117 paslon walikota dan wakil walikota. Selain itu juga digelar pilkada gubernur di 21 propinsi. Totalnya, pilkada serentak akan diikuti oleh 1.704 personel yang telah didaftarkan ke KPUD Kabupaten dan kota, serta KPU Propinsi (untuk paslon gubernur dan waklil gubernur). Konon seluruh personel paslon, tergolong tangguh, dan berduit.
Tetapi tidak sedikit yang maju sebagai paslon “boneka.” Biasanya, dibentuk oleh calon incumbent. Ini untuk menghindari penundaan pilkada tahun 2017. Pilkada serentak nyaris disibukkan dengan wacana calon tunggal. Ini disebabkan incumbent yang sangat tangguh. Sehingga tiada paslon yang berani mencalonkan diri. Sehingga parpol juga enggan mengajukan calon dengan prakiraan pasti kalah. Syukur, MK menetapkan solusi, agar pilkada tidak ter-sandera ke-genit-an politik.
MK telah mengabulkan gugatan uji materi UU Nomor 8 tahun 2015. Terdapat empat pasal yang dinyatakan “inkonstitusional bersyarat.” Termasuk pasal 51 ayat (2) dan pasal 52 ayat (2), berhubungan dengan calon tunggal. Solusi MK: Pilkada jalan terus walau dengan calon tunggal, dengan cara (semacam) referendum. Secara nasional, tiga kabupaten menyelenggarakan pilkada referendum. Semuanya dimenangkan incumbent, termasuk pilwali Kota Blitar, Jawa Timur.
Hasil pilkada serentak 2015, beberapa incumbent terjungkal, ditinggalkan konstituen yang memilihnya pada pilkad tahun 2010 lalu. Namun sebagian terbesar, lolos lagi memimpin untuk periode kedua. Bahkan sebagian menang mudah denghan meraih dukungan lebih dari 70%. Di Jawa Timur, misalnya, diperoleh Risma Triharini (Surabaya, kader PDIP), Azwar Anas (Banyuwangi, kader PDIP), dan Rendra Kresna (kabupaten Malang, kader Golkar).
Beberapa paslon (yang kalah) merasa dizalimi mengadu MK (Mahkamah Konstitusi). MK, niscaya akan kebanjiran perkara, semuanya sudah wajib inkracht pada bulan Desember 2015. Muara pilkada (gubernur maupun bupati dan walikota) pada MK suda menjadi kebiasaan. Berdasar catatan MK, hampir 80% proses pilkada “dialirkan” ke MK sebagai ketetapan terakhir. Itu mekanisme wajar, sebagai upaya penegakan (pelurusan) proses demokrasi.
Bahkan konstitusi menjamin penegakan proses demokrasi ke-pemilu-an. UUD Pasal 24C ayat (1). Hasil penetapan MK, hampir 98%-nya sesuai penetapan (dan perhitungan) KPU kabupaten dan kota, serta KPU Propinsi. Termasuk gugatan pilkada bupati di Jawa Timur. Antaralain Gresik, Ponorogo dan Sumenep, tetap sesuai dengan hasil perhitungan KPUD Kabupaten.
Kini tinggal pelantikan paslon yang akan menduduki pucuk kepemimpinan kabupaten dan kota. Tidak perlu wacana yang menyimpangi UU Pilkada. Jika yang diperlukan situasi harmoni antara pemerintah pusat dengan daerah, telah terdapat UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Seluruh daerah (propinsi, kabupaten dan kota) wajib tunduk dan bersinergi dengan pemerintah pusat. Walau pucuk pimpinannya tidak “senafas” politik.

                                                                                                          ——— 000 ———

Rate this article!
Melantik Pemenang Pilkada,5 / 5 ( 1votes )
Tags: