Melawan Berita Palsu dan Pemalsu Berita

Oleh : Ali Damsuki
Pemerhati Sosial-Media dan Alumnus UIN Walisongo Semarang

Era_cyber media kini memang menjadi candu bagi masyarakat Indonesia secara masif. Ketika ada istilah kritikan dari Karl Max “Agama ialah Candu”, hal ini pun serupa dengan media. Konteks “Media ialah Candu” menjadi hal sangat sinkron dengan realitas yang terjadi sekarang ini. Peran media sosial mampu memnggiring masyarakat ke dalam ruang halusinasi dan fantasi, sehingga masyarakat lupa akan kehidupan nyata yang ada di sekitar kita.
Ketergantungan masyarakat Indonesia kini saat kita amati sudah berada pada level tingkat tinggi. Sehingga, kesadaran masyarkat dalam menanggapi kondisi tersebut seakan terlena oleh pelayanan media yang tak ada hentinya. Hal ini memperkuat juga bahwa, keberadaan media dan kemajuan teknologi yang semakin pesat kini ‘meracuni’ otak masyarakat secara mendalam dan implikasinya pun menjalar ke berbagai aspek kehidupan. Perasaan subjektifitas dalam paragdigma masyarakat pun keluar saat media memberikan layanan tanpa batasnya. Media mampu mencakup segala hal dan membuat overlapping dalam sebuah problem.
Dalam sebuah paradigma lain, masyarakat juga menjadi follower secaram intens dalam sebuah media. Hal ini dapat dibuktikan dengan berbagai macam style dan gaya yang disuguhkan media oleh masyarakat. Segala bentuk perubahan atau trend yang terjadi di publik, masyarakat selalu update terkait hal tersebut. Sebagian besar masyarakat Indonesia memang dikenal dengan sikap easy-going_nya, suka tantangan, peruabahan, dan lain sebagainya. Perubahan kondisi tersebut mengenal impilkasi positif maupun negatif, asalkan masyarakat merasa terpuaskan, media akan selalu memeberikan sisi entertaint (hiburan) bagi mereka. Inilah realitas yang sedang terjadi, media sosial mampu mengubah paradigma hingga prilaku penggunanya. Sehungga, istilah “socmed is a ‘opium’ in the people” sangat tepat untuk masyarakat saat ini. Kedekatan mereka dengan sosial media mampu mengalahkan kedekatan mereka dengan Tuhan mereka. Mereka lebih tahan duduk berjam-jam di depan layar komputer daripada harus berdiri tegap dan bersedekap untuk beribadah kepada TuhanNya.
Dalam konteks pemberitaan, media sebagai sumber infomasi bagi masyarakat sangatlah memiliki peran yang penting. Keberadaan informasi yang dapat dinikmati oleh siapapun dan di manapun, media menyuguhkan informasi yang dapat merubah paradigma masyarakat kita. Hal itu pun tidak dapat kita sadari bahwasanya media tidak selamanya memberikan informasi yang bersifat edukatif dan realistis. Oleh sebab itu, kita memiliki kewajiban untuk arif dan bijaksana dalam menyikapi infomasi yang diterima.
Berita-berita yang tidak benar tersebut dalam dunia medsos dikenal dengan istilah hoax. Hoax adalah suatu kata yang digunakan untuk menunjukan pemberitaan palsu atau usaha untuk menipu atau mengakali pembaca atau pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Informasi hoax lebih banyak yang mengarah pada kebencian dan fitnah.
Karena itulah, masalah pemberita hoax ini mendapat sorotan tajam dari Presiden RI, karena dinilai sudah sangat keterlaluan. Dalam buku Media and Morality: On the Rise of the Mediapolis, Roger Silverstone prihatin atas kondisi media yang makin marak dengan hoax. Hal ini menurutnya, salah satu penyebabnya karena pengguna medsos dapat berperan sebagai produser (pembuat) konten dan sekaligus sebagai user (pengguna). Ini berarti, everybody can be a publisher. Ya, siapa saja bisa jadi pembuat konten yang bisa disebarkan dengan cepat ke komunitas yang ada. (Harian Analysa, 10/01/2017).
Maraknya Berita Hoax
Indonesia memang menjadi negara yang seringkali memperoduksi berita-berita bohong (hoax). Hal ini dapat kita flashback bahwasanya ada pemberitaan terkait beras palsu, vaksin palsu, dan kini berita palsu pun sudah menjadi konsumsi sehari-hari. Munculnya pemberitaan palsu yang beredar di media sosial tentu berimplikasi kritis menggerus akal sehat terhadap semua kalangan masyarakat, baik masyarakat awam, terpelajar, profesor, doktor, dan lain sebagainya.
Maraknya informasi bohong dalam bentuk berita tertulis atau yang akrab disebut berita hoax bukan tanpa sebab. Ketua Dewan Pers, Yosep Stanley Adi Prasetyo atau yang akrab dipanggil Stanley, menyebut ada andil media mainstream dalam kasus tersebut, sehingga masyarakat harus mencari alternatif media lain, dan termakan oleh berita hoax. Pada pemaparannya pada diskusi yang digelar di komplek parlemen, Jakata Pusat, Selasa (10/1/2017), ia menyebut bahwa media yang terafiliasi dengan partai, hingga wartawan yang ikut terjun ke politik praktis, telah menggerogoti kepercayaan masyarakat terhadap media. Contoh yang paling jelas sempat terjadi pada tahun 2015 lalu. “Ada media nasional yang menyebut ekonomi Indonesia membaik, sementara ada media nasional juga yang menyebut ekonomi Indonesia memburuk. Ini gimana,” katanya. (Tribunnews.com)
Dalam kondisi masyarakat yang tidak lagi percaya sepenuhnya terhadap media mainstream, munculkah pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk menyebarkan berita bohong di masyarakat. Alhasil masyarakat yang merasa pemberitaan dari berita bohong itu sesuai dengan aspirasinya, ikut menyebarkan berita bohong itu dan akhirnya jadi viral.
Urgensi Literasi Media
Partisipasi publik dalam mengontrol media sangatlah diperlukan, terutama dalam konteks pemberitaan hoax yang sedang booming sekarang ini. Kita tak boleh membiarkan media meracuni pola pikir kita. Kita harus mampu menjadikan media kembali pada peran dan fungsinya, yaitu sebagai alat komunikasi atau penyampaian pesan yang bersifat edukatif. Inilah salah satu bentuk intervensi yang perlu kita galakan sebagai masyarakat melek media (media literacy). Menurut James W Potter, literasi media (media literacy) merupakan satu perangkat perspektif dimana kita secara aktif memberdayakan diri kita sendiri dalam menafsirkan pesan-pesan yang kita terima dan bagaimana cara mengantisipasinya. Dalam konteks ini, partisipasi public menjadi kunci utama untuk mengatasi permasalahnmedia yang cenderung subjektif. Oleh sebab itu, kita harus mengembalikan media sesuai undang-undang penyiaran diantaranya berfungsi informasi (to inform),pendidikan (to educate), hiburan (to entertaint), perekat dan kontrol public (public control).
Dalam realitasnya hal yang perlu kita lakukan diantaranya, melaporkan informasi-informasi yang bermasalah ke pengaduan KPI. Ini memang cara paling sederhana, tapi kenyataannya, kesadaran demikian belum banyak dilakukan. Selain itu, Gerakan anti-hoax itu juga disertai gerakan literasi media sosial. Ini penting agar rakyat melek. Kita juga mendukung negara yang menerapkan rule of law terhadap media sosial penebar hoax dan para pembuatnya. Kita meminta negara jangan ragu menegakkan hukum terhadap perbuatan membuat dan menyebarkan informasi palsu. Dengan begitu, negara menegaskan bahwa Indonesia tak punya tempat bagi berita palsu dan para pemalsu berita. Demi membangun peradaban media yang lebih baik lagi, perlunya kajian-kajian terhadap berbagai informasi yang beragam oleh para akademisi dan pegiat literasi media. Sehingga dari agenda tersebut akan memberikan pemahaman yang lebih baik.
Wallahu’alam bi as-Shawab

                                                                                                                      ———– *** ————-

Tags: