Melawan Covid-19 dengan Cinta

Oleh :
Moh Hidayaturrahman
Dosen Universitas Wiraraja
Kebebasan (freedom) adalah kemewahan terbesar yang dimiliki oleh manusia. Untuk mendapatkan kehidupan yang bebas orang berupaya melakukan apa saja dan berjuang untuk mewujudkannya. Lawan dari kebebasan adalah keterkekangan. Suatu kondisi di mana manusia dibatasi untuk melakukan apa saja yang diinginkan. Kebebasan seiring dengan keadilan (justice). Hanya dengan kebebasan, maka keadilan akan tercipta. Dari perspektif ini, keadilan memiliki dua dimensi, sebagai sesuatu yang diberi (given) sebagai hasil dari kemerdekaan. Pada sisi lain keadilan hal yang harus diperjuangkan, karena untuk mendapatkan keadilan harus berjuang dan tidak hadir begitu saja. John Rawls salah satu filsuf kontemporer menulis teori keadilan (theory of justice). Menurutnya, kemerdekaan dan keadilan norma umum yang berlaku untuk siapa saja dan dimana saja, tidak melihat latar belakang suku, agama, bangsa, warna kulit, maupun status sosial.
Status sosial seakan disoal dengan pandemi Covid-19 yang melanda ratusan negara di dunia, termasuk Indonesia. Terutama dengan apa yang disampaikan oleh juru bicara penanganan Covid-19 di Indonesia yang juga Dirjen di Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Himbauan untuk saling membantu sesama anak bangsa, berubah menjadi stereotype kepada orang miskin yang sebetulnya tidak perlu. Akhirnya mendapatkan berbagai kecaman dari warga negara, baik di dunia nyata maupun dunia maya (netizen). Bahwa penyakit bisa menimpa siapa saja, dan bisa menularkan pada siapa, tidak peduli kaya-miskin, hitam-putih, desa-kota. Paracelsus, dokter besar abad 15 menyebut bahwa penyakit yang ada dunia bersifat universal. Manusia perlu memahami secara utuh bahkan perlu menghubungkannya secara astrologi. Menurut Paracelsus, dunia adalah toko apotik yang terbentang luas, dan Tuhan adalah apotekernya.
Keluasan dunia selalu ingin dinikmati oleh manusia merdeka. Manusia merdeka memiliki keberanian untuk menantang alam yang buas. Thomas Hobbes menilai manusia sebagai binatang buas yang bahkan bisa menerkam sesamanya. Untuk memenangkan kompetisi bertahan hidup di alam, manusia tega melakukan apa saja, dengan mengkhianati teman sejawat, atau membunuh sekalipun. Niccolo Machiavelli dalam I’ll Prince mengingatkan manusia yang hidup pada eranya, dan setelahnya. Bahwa melakukan pembunuhan merupakan satu energi tersendiri bagi manusia tertentu, meski hal tersebut jelas tercela dan tidak baik. Apakah Covid-19 menjadi bagian dari pertarungan manusia sesama untuk bertahan?
Keberanian manusia menantang maut, sebagaimana keberanian Benito Mussolini yang dikenal totaliter dan fasis di Italia menciptakan maut bagi manusia sebangsanya, menjadi pelajaran penting bagi manusia era kini. Begitu pula keberanian menggali kuburan bagi orang lain yang dilakukan oleh Adolf Hitler di Jerman perlu menjadi perhatian manusia modern. Keinginan untuk melampiaskan kebebasan dengan berkeliaran di tempat yang disukai, pada saat pandemi Covid-19 menyerang, tidak semata-mata bagian dari mempertaruhkan kebebasan untuk kematian bagi diri sendiri. Namun juga bisa membuat kematian bagi orang lain, termasuk orang yang dicintai, keluarga sendiri.
Di sini sebetulnya cinta dapat mengalahkan keberanian. Erich Fromm dalam magnum opusnya, The Art of Loving menyebut bahwa manusia perlu memiliki cinta terhadap dirinya sendiri. Cinta terhadap diri sendiri merupakan hal alamiah, bukan hal tercela, sebagaimana yang disabdakan oleh John Calvin, bahwa mencintai diri sendiri adalah nista. Fromm menilai bahwa orang yang mencintai dirinya, juga memiliki cinta pada orang lain. Semangat agama yang memancar dari hal ini adalah, seseorang tidak sempurna cinta dirinya, selama tidak sama cara mencintai diri dengan mencintai orang lain. Fromm ingin mengatakan, bahwa mencintai diri sendiri dengan cara mencintai orang lain.
Cinta itu memerdekakan dan membebaskan. Masyarakat modern sebetulnya sudah terbiasa diajak lari dari kebebasan yang telah diperjuangkannya. Erich Fromm sekali lagi menyorot hal tersebut dalam karyanya Escape From Freedom. Manusia yang lari dari kebebasan bukanlah manusia yang terkekang, tapi juga mengekspresikan kebebasan dalam bentuk yang lain dan upaya untuk menciptakan kebebasan yang lebih lama. Manusia yang memilih tidak berkumpul dalam keramaian (crowd) juga mendapatkan kebebasan dengan kesendirian. Manusia modern menyukai kesendirian (alienasi). Era modern dilengkapi dengan teknologi informasi yang dapat membuatnya bebas, bebas untuk menikmati kesendirian dan pergi ke belahan dunia mana yang disukai. Jurgen Habermas melihat inti dari kehidupan manusia era modern adalah komunikasi. Dengan komunikasi manusia akan mendapat kebebasannya.
Jean Baudrillard salah satu filsuf kritis post modernisme sepakat bahwa kehidupan manusia dapat disimulasi (simulacra). Maka sebetulnya tidak susah untuk mengembalikan manusia mendapatkan kebebasan di rumah masing-masing. Daripada tetap berkeliaran ke tempat sesuka hati, namun menjadi bahaya buasnya virus corona. Untuk selanjutnya membunuh orang yang dicintai. Maka melawan Covid-19, hanya bisa dilakukan dengan cinta. Cinta diri sendiri, cinta orang lain, dan cinta kepada kehidupan.
————— *** —————-

Rate this article!
Tags: