Melawan Kesedihan

Judul Buku : Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya
Penulis : Dea Anugrah
Penerbit : Buku Mojok
Cetakan : Pertama, Januari 2019
Tebal : vi + 181 halaman
ISBN : 978-602-1318-81-2
Peresensi : Umi Salamah
Penulis adalah mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam di IAINU Kebumen, Jawa Tengah

Barangkali sedikit orang di dunia ini yang mampu melawan kesedihan. Bangkit dari rasa terpuruk bukanlah hal yang mudah. Bayangkan betapa sedih dan takutnya anak-anak Israel dan Palestina ketika tahu di antara kedua negara tersebut ada kolam darah dengan kedalaman tak terukur. Mereka terancam ditikam, ditembak, dan diledakkan. Sebab hampir tak ada batas antara urusan sipil dan militer. Mereka mungkin akan mendapati ayah dan ibu tak pernah pulang. Dan terus bertanya-tanya ada apa dengan negaranya.
Kesedihan dan ketakutan anak-anak Israel dan Palestina di atas, salah satu dari 20 esai yang ditulis Dea Anugrah dalam buku ini. Saat membaca buku ini, tak pelak hati akan tersayat-sayat. Esai-esai yang dirangkum penulis, baik secara tersirat maupun tersurat, fokus pada kesedihan. Daya pikat penulis dalam menyajikan setiap esai begitu dahsyat. Dengan gaya penulisan prosa, penulis mengajak pembaca berpetualang dengan kesedihan sekaligus melawan kesedihan itu.
Dalam esai berjudul “Para Pembunuh Anak-Anak”, menceritakan tentang keadaan Irak setelah kejatuhan Saddam Hussein. Radio Kenangan, salah satu radio di negara tersebut membuat program “Cerita Mereka dalam Suara Mereka Sendiri” yang berformat dokumenter. Ratusan orang dari berbagai penjuru negeri berduyun-duyun rela mengatre demi ambil bagian. Mereka diminta menceritakan kisah pengalaman hidupnya yang paling ganjil, menakjubkan, seram, atau mengiriskan semasa pemerintahan Saddam Husein.
Begitu banyak cerita memilukan. Mulai dari kisah dua bocah yang diculik dalam perjalanan menuju sekolah dan disekap selama dua pekan, kisah seorang pria yang menjadi setengah buta setelah membolak-balik 350 mayat demi mencari tubuh ayahnya, dan kisah keluarga beranggotakan tujuh orang yang telantar di perbatasan Irak-Yordania selama empat tahun (hal 141).
Pada 2008, Iraq’s Independent Institute for Administration and Civil Society Studies mencatat 1,03 juta orang terbunuh selama Perang Irak dan 20 % keluarga sekurang-kurangnya kehilangan satu anggota. Pemerintah Irak mencatat 4,5 juta anak-anak menjadi yatim atau yatim piatu. Dalam rentang tahun 2003 hingga 2013, dua juta anak terpaksa mengungsi dari tempat tinggal masing-masing. Pada tahun 2015, UNICEF melaporkan ada 14 juta anak yang sengsara akibat perang di Irak. Mereka mengidap pelbagai penyakit, kehilangan akses terhadap pendidikan, gizi, sanitasi, dan tergulung dalam lingkaran kekerasan yang agaknya tak punya ujung (hal 142).
Tidak ada sejarahnya peperangan diciptakan oleh anak-anak. Orang dewasa-lah yang menciptakan kekerasan dan peperangan berkepanjangan. Tapi anak-anak yang menjadi korbannya. Seruan PBB, organisasi, dan negara lainnya yang peduli akan hak asasi manusia, benar-benar hanya angin lalu saja. Untuk menghentikan peperangan di Timur Tengah, rumusnya hanya satu. Orang dewasa yang bertikai harus menghentikannya. Sebab bukan Tuhan yang membunuh anak-anak. Bukan pula nasib atau takdir yang mencincang dan menjadikan mereka makanan anjing. Kita-lah yang melakukannya. Hanya kita. Demikian yang dikatakan Walter Kovacs dalam novel Watchmen.
Dalam esai berjudul “Kesedihan yang Menguatkan”, kesedihan sudah tercium dari judulnya. Esai ini menceritakan tentang melankolia kolektif yang dimiliki penduduk Istanbul, Turki. Mereka dibayang-bayangi rasa kehilangan dan perasaan terputus dari sejarah kejayaan bangsa Turki masa Kesultanan Utsmani. Perasaan ini bertabrakan dengan zaman kebaharuan yang membuat mereka semakin terpuruk.
Di Istanbul, puing-puing bangunan kuno, Selat Bosforus, dan pemukiman-pemukiman yang gagal disejahterakan oleh modernisasi menjadi perantara yang menularkan wabah kemurungan kepada segenap penduduk Istanbul. Menyatukan mereka dalam melankolia kolektif (hal 90). Ketakutan, kemurungan, dan kesedihan yang dimiliki penduduk Istanbul, berbeda dengan perasaan yang dimiliki bangsa Indonesia. Dalam Bahasa Indonesia, tak ada istilah tersendiri yang mengartikan melankolia kolektif. Hal ini terjadi kemungkinan karena bangsa ini tak mengenal kesedihan bersama. Walaupun kita sadar secara sejarah dan peninggalan, negeri ini di masa lalu dijajah dan menderita selama berabad-abad. Jika kita terikat secara emosi akan kesedihan di masa lalu, negeri ini tak akan mudah diadu domba. Dan negeri ini akan maju. Kita bisa berbangga diri dan berbahagia di atas kesedihan masa lalu. Seperti apa yang dilakukan Jepang dengan “membalas” Amerika dan Eropa dengan produk-produknya.
Dalam esai berjudul “Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya”, menceritakan tentang permasalahan-permasalahan yang terjadi di Indonesia. Esai ini menyoroti pendapat sebagian orang bahwa ketidakadilan, kemiskinan, kesenjangan sosial, kebodohan, dan permasalahan lainnya, hanya bisa diatasi dengan cara menjadikan negeri ini sebagai negara Islam. Mereka mengidamkan negara ideal. Boleh jadi, mereka menginginkan dunia ini seperti surga.
ISIS menjadi momok amat menakutkan hampir semua negara di dunia ini. Termasuk di Indonesia. Kita tak pernah tahu kapan serangan-serangan bom bunuh diri atau serangan terorisme terjadi. Anggota ISIS seperti tak ada habisnya. Kemungkinan besar mereka sebelumnya berasal dari mayoritas orang-orang yang memimpikan negara ideal atau surga di dunia. Mereka putus asa terhadap dunia ini. Mereka menutup mata pada kebahagiaan yang sejatinya melingkupi kehidupan mereka. Sesungguhnya kita kurang bersyukur. Mata, telinga, dan hati kita akan terbuka lebar betapa Tuhan memberikan kebahagiaan yang tak terkira. Saat itulah kita akan menyadari bahwa hidup begitu indah dan hanya itu yang kita punya.

———————— *** —————————

Rate this article!
Melawan Kesedihan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: