Melawan Ketidakadilan Gender Lewat Novel

Judul Buku : Ideologi Gender dalam Novel Indonesia Era Reformasi
Penulis : Yulianeta
Penerbit : Beranda (Kelompok Intrans Publishing), Malang
Cetakan : Pertama, 2021
Tebal : xix + 300 halaman
ISBN : 978-623-95424-2-9
Peresensi : Ahmad Fatoni
Pengamat Sosial dari Universitas Muhammadiyah Malang

Fakta yang tak terbantahkan, perempuan telah ditekan sedemikian rupa oleh sistem patriarki yang menjadikannya sebagai manusia kelas kedua. Bentuk represi tersebut terlihat dalam berbagai bentuk eksploitasi perempuan, salah satunya sebagai objek seksual. Ambil misal, perempuan kerap dijadikan objek menjanjikan dalam sebuah iklan produk yang sering kali justru tidak berkaitan dengan perempuan. Seperti halnya dalam iklan mobil dan produk pembangunan stamina, tubuh dan seksualitas perempuan kerap dimodifikasi sebagai komoditas.

Penulis buku ini secara kritis menyajikan ideologi gender berdasarkan fenomena sastra sebagai model kehidupan riel kaum perempuan. Penulis membongkar bentukan idelogi gender lewat novel Indonesia era Reformasi secara ilmiah. Menurut Yulianeta, novel-novel Indonesia di era ini merupakan mata rantai perkembangan kesusastraan dan berkorelasi dengan situasi sosial, khususnya dengan ideologi gender yang berlaku pada zamannya.

Dalam buku ini dipilih delapan novel era Reformasi yang berlatar kehidupan masyarakat dan budaya Indonesia. Melalui perspektif sosiologi sastra, penulis menggambarkan masalah gender dari apa yang tersaji dalam penokohan, percakapan, dan dalam alur novel-novel itu, berlandaskan sosiologi sastra, hegemoni Gramsci, dan perspektif gender.

Era Reformasi rupanya belum menjadi musim berseminya ruang perlindungan dan pemenuhan hak perempuan. Pada sisi lain, masyarakat masih mendorong laki-laki agar menjadi maskulin dan perempuan menjadi feminin. Ideologi gender kenyataannya menjadi persoalan yang harus dihadapi perempuan. Singkag kata, peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan belum adil.

Dalam novel reformasi era Reformasi, representasi ideologi gender tampak pada simbol perempuan bernama Shakuntala dalam novel Saman karya Ayu Utami. Sejak kecil, ayah dan ibu Shakuntala menekankan betapa pentingnya Shakuntala menjaga keperawanan. Melalui ideologi yang diciptakan oleh masyarakat patriarki, ayah dan ibu Shakuntala mengatakan jika keperawanan itu hilang, hilang pula keperempuanannya. Karena itu, dalam bertindak, Shakuntala harus menjaga “porselen cina” itu agar tidak “retak”. Hal ini amat berbeda dengan perlakuan yang diberikan kepada anak laki-laki yang ibarat “gading yang tak retak”.

Rentang 1998-2011 sesungguhnya meninggalkan rekam jejak karya sastra yang intens mencerminkan ideologi gender serta memiliki sisi kebaruan dan kompleksitas. Pertama. Saman (2000) karya Ayu Utami. Novel ini merupakan tonggak munculnya novel era Reformasi yang menggugat persoalan seksualitas secara berani. Kedua, Geni Jora (2004) karya Abidah El Khaleqy. Novel ini sarat dengan gugatan seorang perempuan muslim terhadap persoalan pendidikan yang diskriminatif, poligami, dominasi laki-laki, kekerasan dalam rumah tangga, dan sekusalitas perempuan.

Ketiga, Kitab Omong Kosong (2004) karya Seno Gumira Ajidarma yang mengungkap persoalan gender dengan memarodikan epos Ramayana. Seno berusaha mempertanyakan ideologi gender yang berlaku di masyarakat. Keempat, Nayla (2005) karya Djenar Maesa Ayu yang menyingkap kehidupan yang ditabukan, yaitu persoalan seksualitas secara terbuka. Kelima, Putri Cina (2007) karya Sindhunata yang membeber persoalan gender dalam tradisi etnik Tionghoa (Cina) yang sekaligua menjadi korban tragedi Mei 1998.

Keenam, Tanah Tabu (2009) karya Anindita S. Thayf yang memaparkan persoalan gender dalam masyarakat Papua yang selama ini tidak pernah diangkat dalam novel Indonesia. Ketujuh, Tempurung (2010) karya Oka Rusmini yang membincang persoalan gender dalam tradisi masyarakat Bali. Kedelapan, Jati saba (2011) karya Raymayda Akmal yang berbicara tentang trafficking yang sering terjadi sebagai salah satu akibat dari berlakunya ideologi gender di tengah masyarakat.

Ada tiga aspek bahasan yang membuat karya Yulianeta ini berkarakter kritis. Pertama, aspek kesusastraan sebagai sebuah dunia yang mempunyai hukumnya sendiri. Kedua, aspek sosial dari terjadinya perubahan paradigma dalam masyarakat. Ketiga, aspek tradisi yang di dalamnya terkandung agama, filsafat, dan folkfor yang tersedimentasi menjadi pendangan awam.

Buku yang diadaptasi dari disertasi penulisnya ini secara detil mendeskripsikan peran gender, jenis ideologi gender, dan faktor-faktor yang menyebabkan keberadaan dan pelestarian berbagai ideologi gender, serta manifestasi ketidakadilan gender dan perlawanan dalam novel-novel era Reformasi. Membaca buku ini, seolah sedang mereguk minuman rempah, hasil ramuan ilmuwan muda berbakat. Pembahasannya menyegarkan dan mencerahkan.

Buku tentang gender semacam ini sangat diperlukan dalam dunia akademik Indonesia. Kita bisa tidak setuju dengan beberapa pendapat dalam buku ini. Tetapi setidaknya, karya ini sudah menambah suatu wawasan tersendiri. Menelaah berbagai novel Indonesia era Reformasi, karya laki-laki dan perempuan, Yulianeta mencoba menawarkan perspektifnya sebagai perempuan muslim yang hidup di Indonesia.

Menyimak karya ini mengisyaratkan bahwa legalitas hukum dan politik belum dapat mengatasi permasalahan perempuan yang kompleks hingga saat ini. Masih diperlukan adanya terobosan-terobosan baru untuk menjangkau penyelesaian masalah kepereSmpuanan. Buku ini terasa relevan bagi peneliti gender dan pembelajar ilmu sosial dan sastra.

———- ooo ———–

Tags: