Melawan Lengah dari Ancaman Paham Radikalisme (Bagian Pertama – Bersambung)

Polisi menjaga Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jl Diponegoro Surabaya pasca ledakan bom.

Muslim Minim Wawasan Agama Rawan Terdoktrin Paham Radikalisme
Kota Surabaya, Bhirawa
Pagi itu, Minggu (13/5/2018), langit di atas Kota Surabaya begitu cerah. Minggu pagi yang tenang, sama seperti hari libur biasanya. Namun Kota Pahlawan mendadak berubah mencekam saat terjadi ledakan bom di tiga gereja. Kota yang masyarakatnya terkenal sangat toleran dan damai itu langsung tercoreng. Apakah kita lengah dari ancaman radikalisme ?.
Tiga ledakan bom di Surabaya terjadi secara berurutan. Bom pertama meledak di Gereja Santa Maria Tak Bercela di Jl Ngagel sekitar pukul 07.30. Disusul bom kedua di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jl Diponegoro pada pukul 07.45 dan ledakan bom ketiga di Gereja Pantekosta di Jl Arjuno pukul 07.50.
Tak berhenti di tiga gereja, pada malam harinya, masyarakat juga disuguhi teror ledakan bom yang terjadi di Rumah Susun (Rusun) Wonocolo, Kecamatan Taman, Kabupaten Sidoarjo. Puncaknya, bom kembali mengguncang esok harinya, Senin (14/5/2018), di Markas Polisi Resort Kota Besar (Mapolrestabes) Surabaya.
Beberapa saat pasca ledakan bom itu, kondisi semakin kacau akibat pesan berantai di media sosial (medsos) yang tak bisa dipertanggungjawabkan. Beredar ancaman-ancaman lokasi yang menjadi target bom selanjutnya. Mulai gedung pemerintahan, pusat-pusat perbelanjaan hingga tempat ibadah. Di dunia maya, berseliweran foto-foto dan info yang menggambarkan kekejian akibat ledakan bom.
Berkaca dari serangan bom di Surabaya ini, aksi terorisme di Indonesaia selalu saja muncul kembali di saat semua orang sedang berusaha melupakanya. Teroris benar-benar menjadi bel kejutan yang tiba-tiba saja berbunyi di tempat yang tidak bisa diprediksi, dan oleh pelaku-pelaku baru yang nyaris tak diduga, jika orang tersebut adalah teroris.
Menurut pengamat sosial dan keagamaan Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Akhmad Yunan Athoillah MSi, para teroris telah melakukan regenerasi sedemikian rupa dari waktu kewaktu. Berdasarkan kronologinaya misalnya, teroris di Indonesia telah bongkar pasang generasi. Setidaknya terbagi dalam empat tahap generasi teroris.
Generasi pertama adalah kelompok teroris lokal. Mereka jualan isu Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) sebagai bahasa perjuangan dari tahun 1950-1980 yang lebih pas disebut sebagai pemberontak. Disusul generasi kedua yang menamakan diri mereka Jamaah Islamiyyah (JI) dari tahun 1980-2001, yang garis perjuanganya tak jauh-jauh dari kelompak pendahulunya dan lebih menamakan gerakan makar atas NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
Nah yang paling bombastis adalah para teroris generasi ketiga. Dimana mereka benar-benar memenuhi syarat disebut sebagai teroris. Merekalah yang disebut sebagai alumni atau veteran perang Afganistan dari Tandzimul Qaidah Osama Bin Laden, yang kembali ke Indonesia melakukan peledakan Bom Bali I pada 2002. Inilah babak baru perterorisan di Indonesia. Teroris-teroris yang haus darah dan berkedok agama.
“Terakhir adalah teroris generasi keempat. Generasi teroris milenial, yang berjejaring ISIS (Islamic State in Iraq and Syria). Salah satu aksinya adalah dengan bom Sarinah-Thamrin pada 2016 dan bom tiga gereja di Surabaya. Mereka berafiliasi dengan ISIS, baik langsung maupun yang hanya bertemu lewat internet dan media sosial,” ungkap Gus Yunan, sapaan akrab Akhmad Yunan Athoillah, saat dikonfirmasi, Senin (15/10/2018).
Teroris generasai keempat ini, terdapat perbedaan yang mencolok utamanya pada obyek-obyek aksi serangan terorisnya. Jika generasi alumni Afganistan membidik obyek-obyek vital yang berbau barat, tidak demikian dengan teroris yang diduga berafiliasi dengan ISIS. Mereka lebih ‘suka’ menyerang polisi, masyarakat sipil, kantor polisi, istana negara bahkan masjid.
“Pelakunya pun tidak lagi terbatas pada sosok pria muda, tetapi wanita, anak-anak atau bahkan sekeluaraga bisa secara bersama-sama menjadi pelaku teror bom. Fakta inilah yang membuat bangsa ini harus terus meningkatkan kewaspadaan. Bahwa siapapun baik pria, wanita dan anak-anak di sekitar kita bisa dengan mudah menjadi seorang eksekutor bom bunuh diri,” ujar Direktur Ma’had Aly Bangsalsari Foundation ini.

Tiga Tahab Doktrinasi
Mengutip pernyataan antropolog yang fokus memberikan saran mengenai teroris di PBB dan Gedung Putih, Scott Atran, perlu memahami motivasi para teroris untuk mengatasi mereka. Ada aspek psikologis yang bisa terbaca. Atran bahkan mengatakan, Dewan Keamanan PBB menyebut kalau sebagian besar pendukung teroris disebut memiliki ‘distribusi normal’ karena memiliki empati, belas kasih, idealisme sehingga mereka ingin membantu walaupun dengan menyakiti orang lain.
Sementara ketika teroris sering memanggil Tuhan, banyak ilmuwan sosial yang menilai bahwa ini dipicu oleh ekstremisme agama yang skeptis. Sehinga bisa menjelaskan mengapa orang melakukan aksi teror. ISIS sendiri merekrut ‘pejuang’ dengan menjanjikan mereka kemuliaan, petualangan dan tujuan yang mungkin dianggap menarik bagi banyak orang muda di seluruh dunia.
Di antara pola pikir mereka ada sebuah keyakinan bahwa dunia adalah bencana. Bahwa perubahan damai tidak mungkin ada. Bahwa pengorbanan diri itu mulia, yang mulia membenarkan cara bermoral dan bahwa cara ini menciptakan utopia.
“Yaitu ada cara terbaik untuk mati membela keyakinan. Dan tindakan ekstrem dapat memulihkan kebajikan dan kebenaran di dunia. Atran mengatakan, ini adalah fakta penting dalam memahami psikologi teroris yang sulit dimengerti kebanyakan orang. Generasi awal teroris di Indoensia seperti Negara Islam Indonesia (NII) atau DI/TII telah melakukan hal yang telah dijelaskan Atran,” papar Gus Yunan.
Setidaknya ada tiga tahab doktrinasi dalam menggerakan semangat radikalisme kepada calon mangsa anggota teroris ini. Beberapa kelompok radikal memiliki pola rekrutmen dengan cara cuci otak yang hampir sama. Waktunya hanya sekitar satu jam namun sangat efektif dalam mengubah pola pikir seseorang.
Pertama adalah diperkenalkannya sejarah romantisme kejayaan Islam dengan membangkitkan nostalgia kejayaan Islam di era Kekhalifahan. Pemerintahan Islam terakhir runtuh pada Kekhalifahan Ottoman di Turki pada 1929. Kedua memperkenalkan sumber malapetaka umat Islam. Semisal menampilkan tontonan kekejaman Yahudi dan Amerika Serikat. Termasuk serangan Amerika Serikat di Palestina, Irak dan Afghanistan serta penjara Guantanamo, sehingga muncul kebencian yang tinggi.
Ketiga adalah pendalilan, yaitu menyampaikan dalil-dalil dalam Al Quran dan hadis sesuai pemahaman mereka untuk menimbulkan pembenaran tunggal dan keinginan untuk berjihad secara militeristik. Disampaikan pula dalil teologis soal hukumnya jika tidak ikut berjihad dan terakhir adalah soal mati syahid, serta imbalan dari allah bagi yang mati syahid.
“Perangkat bacaan serta video tahap demi tahap yang menjadikan orang bisa berfikiran radikal sudah sangat bebas di akses di dunia maya. Maka tidak heran jika belakangan muncul pelaku teroris, melakukan tindakanya hanya berdasarkan intensnya sang teroris membaca informasi mengenai profil dan tindakan ISIS dari internet saja,” ujar Gus Yunan.
Oleh karena itu, jika seorang muslim yang minim wawasan agama akan tapi memiliki semangat keagamaan yang tinggi, akan mudah terpapar paham radikalisme. Apalagi jika mereka terjebak dalam romantisme kejayaan Islam di masa lalu, diperkenalkan kebencian atas pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab atas kehancuran dan penderitaan muslim di Irak, Afganistan, Siria dan Palestina.
Dilanjutkan dengan pendalilan ayat-ayat perang dan perintah wajibnya jihad militer, kafir yang harus di perangi, keutamaan syahid serta bidadari dan surga, maka lengkaplah jiwa radikalisme bersemi dan calon generasi teroris baru segera lahir. Hal inilah yang seharusnya diantisipasi, jangan sampai lengah dari ancaman paham radikalisme. [Zainal Ibad]

Tags: