Melek Media di Tahun Politik

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muhammadiyah Malang. 

Hiruk pikuk politik diprediksi akan meningkat di tahun 2018 ini. Hal ini terkait dengan kontestasi pemilihan kepala daerah yang digelar serentak di sejumlah daerah. Suhu politik ini sepertinya juga akan terus meningkat hingga 2019, saat pesta demokrasi pemilu presiden dan wakil presiden. Media massa dan media sosial dipastikan akan diramaikan dengan peristiwa politik ini. Untuk itu kemampuan melek media masyarakat di tahun elektoral ini menjadi hal yang penting ditingkatkan.
Di tahun ini, serangkaian kegiatan pemilu sudah mulai digelar. Diawali dengan pemilihan kepala daerah serentak dan mulai tahapan pemilu serentak 2019. Di tahun elektoral 2018 ini ada 171 daerah, yang terbagi dalam 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten yang akan menggelar pilkada serentak. Pada bulan Juli tahun ini juga dimulai pendaftaran Calon Legislatif (Caleg). KPU juga telah menetapkan tanggal 4-10 Agustus 2018 pendaftaran calon presiden dan wakil presiden.
Belajar dari pelaksanaan pesta demokrasi yang terjadi di negeri ini, juga di beberapa negara lain, kehadiran media massa dan media sosial sangat signifikan dalam memainkan peran. Media memang menduduki pilar keempat demokrasi bersama eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Namun tidak semua media bisa tepat menjalankan perannya sebagai pilar keempat demokrasi.
Kritis Mengonsumsi Media
Membaca media, baik media arus utama (mainstream media), maupun media sosial tentu harus berhati-hati. Tidak semua yang disajikan media itu sebuah kebenaran yang mutlak harus dipercaya. Apalagi dalam konstelasi politik di tahun elektoral ini. Media tentu bisa memainkan peran sesuai dengan kepentingannya. Melihat isi media harus dengan multi perspektif, dari sudut pandang yang beragam.
Bisa dipastikan hampir semua kandidat yang ikut berkontestasi dalam pilkada serentak akan menggandeng media. Belanja iklan politik diprediksi akan melonjak naik. Pemberitaan politik yang memotret peristiwa politik juga bakal berlangsung seru. Belum lagi para pemilik media yang merangkap jadi aktor dalam kontestasi pilkada mendatang. Tentu semua ini akan menjadikan isi media massa baik cetak maupun elektronik akan berpotensi timbul konflik kepentingan.
Kondisi yang cukup mengawatirkan terjadi pada media sosial. Di media yang popularitasnya tidak tertandingi ini memang memungkinkan siapa saja dapat memroduksi dan menyebarkan pesan. Terlepas dari pesan itu mengandung kebenaran atau justru fitnah. Itulah media sosial, tidak ada pihak yang menyaring dalam distribusi informasi yang ada. Semua bisa menulis dan dalam sekejap memviralkannya.
Untuk itu sikap yang wajib dimiliki bagi para pengguna media adalah sikap kritis. Kritis karena tidak selalu apa yang disajikan media itu benar. Media punya kemampuan melakukan pembingkaiaun (framming) terhadap sebuah peristiwa yang sedang diberitakan. Media juga punya ideologi tertentu yang bisa berimplikasi pada produk jurnalismenya. Media juga punya pertimbangan ekonomi politik terhadap setiap yang disajikan.
Melalui sikap kritis pembaca koran, penonton televisi, pendengar radio, dan viewers media online dapat menyaring mana informasi yang layak dipercaya dan mana pula yang harus di delete. Ini memang bukan persoalan mudah. Memilih dan memilah mana yang palsu (fake) dengan yang sesuai fakta memang bukan perkara mudah. Untuk itu kemampuan literasi media menjadi hal yang penting dimiliki oleh semua pengguna dan produsen media, terutama pada tahun politik seperti saat ini.
Melek Media, Melek Politik
Politik dan media, media dan politik, keduanya memang telah menyatu. Ada simbiosis mutualisme yang terjadi dalam hubungan kedua hal ini. Banyak pengalaman menunjukkan bahwa salah satu keberhasilan dalam dunia politik banyak ditopang oleh kekuatan media. Sehingga siapa yang berhasil menguasai media, bisa jadi permainan politiknya akan berjalan mulus.
Untuk itu kemampuan melek media dan melek politik menjadi dua pengetahuan penting yang harus diketahui masyarakat. Masyarakat tidak bisa buta politik (apolitik) termasuk juga masyarakat harus mengerti dan memahami bagaimana media memainkan perannya. Di dalam media ada politik, demikian halnya di dalam berpolitik juga perlu media. Untuk itu, guna memahami media perlu pemahaman tentang politik, demikian sebaliknya.
James Potter (2001) mengartikan bahwa melek media sebagai sebuah keterampilan yang harus dimiliki oleh pengguna media terhadap produk informasi yang dikonsumsi. Beberapa hal penting yang perlu dikembangkan adalah sikap kritis dan mampu melihat media dalam perspektif yang beragam. Sikap kritis ini akan menjadikan pengguna media jadi berdaya, tidak hanya secara pasif menerima apa saja yang disajikan media.
Merebaknya berita bohong (fake news), hoax, ujaran kebencian, fitnah, provokasi, agitasi, anti pluralisme, anti kebhinekaan, hingga adu domba dan politik hitam di media merupakan kondisi yang harus diwaspadai. Hal ini terutama terjadi melalui media sosial. Tidak jarang masyarakat tidak mampu memilah sebuah informasi itu benar atau hoax. Tidak jarang para pengguna media sosial justru turut menyebarkan sesuatu yang keliru.
Pada situasi seperti ini idealnya mainstream media yang harus hadir sebagai penjernih terhadap informasi yang sesat. Televisi, koran, radio harus tampil sebagai rujukan orang dalam mencari kebenaran informasi yang viral melalui media sosial. Media arus utama harus menjadi sumber rujukan kebenaran informasi (clearance of information) bagi masyarakat.
Mainstream media juga harus berlandaskan profesionaisme dan idealisme. Karena tanpa profesionalisme, media akan ditinggal masyarakat karena media tak lagi dapat dipercaya. Apalagi pada masyarakat yang sudah melek media. Salah satu wujud dari profesionalisme adalah menjunjung independensi. Sikap inilah yang sangat penting dilakukan media sebagai salah satu sikap melindungi dan memberdayakan masyarakat konsumen media.
Masyarakat idealnya juga meningkatkan apresiasi dan partisipasi agar bermedia yang sehat bisa terwujud. Tanggungjawab turut mendorong terciptanya good government ada pada sisi pengelola media, masyarakat, dan para politisi kontestan pemilu. Dalam tahun politik saat ini, sinergi antara pelaku media, politisi, dan masyarakat hendaknya dapat menjamin adanya partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas.
Tahun 2018 dan 2019 menjadi ajang pertaruhan kredibilitas media massa dan media sosial dalam penyebaran informasi. Media massa memiliki fungsi mendidik. Media harus bisa mencegah publik terpancing informasi di media sosial yang belum jelas kebenarannya. Saat ini banyak informasi sampah yang membanjiri masyarakat. Untuk itu peran ideal media massa dan kemampuan melek media masyarakat menjadi sangat urgen terus ditingkatkan.
——- *** ——–

Rate this article!
Tags: