Melek Sastra, Pentingkah ?

Oleh :
Riska Aurora Mufida
Pendidikan bahasa dan sastra Indonesia
Universitas Muhammadiyah Malang

Generasi sekarang belum melek sastra. Jangankan melek sastra dan berbudaya, generasi muda yang berkata-kata halus saja mulai langka. Dalam berkomunikasi, mereka lebih dominan memakai ragam bahasa gaul kekinian yang cenderung sarkastis daripada puitis. Adanya tafsir puisi tanpa pendekatan ilmu sastra, etika, dan humanisme, juga membuktikan generasi zaman now buta sastra. Padahal, indikasi bangsa besar itu literat dan berbudaya. Bagaimana bangsa ini menjadi besar jika generasinya tak memiliki kecerdasan budi dan kelembutan hati?
Salah satu bentuk kecerdasan etika adalah melek sastra. Melek sastra akan mengantarkan generasi berbudaya. Penguatan pendidikan sastra bisa dimulai dari keluarga. Namun, saat ini iklim sastrawi, mendongeng, berpuisi di dalam keluarga mulai sepi atau bahkan tiada. Generasi sekarang haus akan pola pikir sastrawi, humanis, dan berbudaya. Banyaknya kerusakan kata-kata anak mengindikasikan negeri ini butuh generasi sastra. salah satu indikator kerusakan suatu bangsa ialah penggunaan bahasa dan kata-kata buruk. Keluarga harus mampu berperan membentuk karakter anak literat, melek sastra, dan berbudaya.
Salah satu cara yang dilakukan pemerintah untuk melahirkan generasi melek aksara ialah pemenuhan bahan bacaan digital. Namun, fakta membuktikan di era Revolusi Industri 4.0 ini, kualitas literasi kita masih ironis. Budaya baca dan kegiatan anak di rumah masih jauh dari harapan. Pendidikan sastra dalam keluarga sangat mendesak untuk diterapkan. Budaya mendongeng, membaca, menulis, dan mendiskusikan karya sastra harus dihidupkan dalam keluarga. Karena budaya inilah yang menjadikan generasi anak-anak paham atau mengerti dengan sastra.tidak hanya paham akan digitalisasi saja. Bahasa ibu (bahasa pertama) anak-anak sangat ditentukan dalam keluarga. Semakin bagus keluarga mengajarkan bahasa ibu maka anak-anak bisa bertutur kata benar, baik, dan indah. Apalagi, anak-anak usia SD/MI sampai SMA/SMK/MA memiliki karakter dominan meniru dan imajinatif. Jika sehari-hari orangtua dalam rumah berbahasa kasar dan buruk, anak-anak cenderung buruk, begitu sebaliknya. Penanaman bahasa ibu bagi anak-anak itu tentu dengan mendekatkan mereka pada sastra. Keluarga harus menjamin gizi sastra anak melalui kegiatan sederhana sampai pada taraf tinggi.
Orangtua bisa memulainya dengan membiasakan membaca dan menulis karya sastra. Anak-anak harus dikenalkan ilmu sastra, karya sastra, bahasa sastra, sastrawan, kritik dan apresiasi sastra sehak dini,. Hal itu sudah selaras dengan program Gerakan Nasional Orangtua Membacakan Buku (Gernas Baku), program berbentuk gerakan inisiatif yang mendorong peran keluarga meningkatkan minat baca anak melalui pembiasaan di rumah, lembaga PAUD, dan masyarakat. Gernas Baku menjadi program yang harusnya bisa membuat anak literat dan mendorong orangtua membentuk keluarga sastra. Keluarga, sekolah, dan organisasi yang dekat dengan keluarga harus melakukan sejumlah gerakan. Pertama, membumikan keluarga sastra sebagai roh dalam mendidik anak melek sastra dan berbahasa santun. Tak ada tempat yang bisa menentukan bahasa halus anak kecuali keluarga. Apa saja sistem komunikasi dan gaya bahasa dalam keluarga sangat menentukan bahasa, budaya, dan karakter anak. Apalagi, bahasa sastra memiliki kekuatan magis yang bisa menyugesti anak.
Kedua, implementasi Gernas Baku tak hanya pada buku-buku berat. Orangtua bisa memulainya dengan mendekatkan anak-anak pada buku sastra yang ringan dibaca. Bacaan berkualitas dan bernilai sastra menjadikan mereka cerdas dan berkarakter. Seperti contoh buku antologi puisi, cerpen, novel, dongeng, legenda, pantun, dan fabel. Ketiga, orangtua harus menciptakan iklim nyaman dan aman dan membuat bank tulisan bagi anak-anak. Adanya pojok sastra, catatan/cerita harian anak yang berkaitan dengan pengalaman mereka sangat membantu pola pikir dan imajinasi. Melalui kegiatan itu akan mengasah nalar anak kritis anak untuk menulis karya fiksi. Daya imajinasi anak akan melejit jika dibiasakan mengarang dan mengilustrasikan pengalaman mereka. Keempat, keluarga, sekolah, dan organisasi harus sinergi mendukung Gernas Baku. Organisasi PKK, Muslimat, Fatayat, Aisyiyah, kelompok arisan RT/RW, jemaah yasinan, dan lainnya harus serentak mengajak ibu-ibu menerapkan Gernas Baku. Lewat keluarga sastra akan lahir generasi berbudaya, karena bangsa yang besar identik melek sastra dan budi pekerti.
Sastra terbagi atas sastra dewasa dan sastra anak. Dalam keluarga, orangtua bisa memilih karya sastra anak yang mudah ditemukan literaturnya. Pendidikan sastra anak dalam keluarga harus dikuatkan untuk membentengi generasi muda dari bahaya laten di era milenial ini. Mulai ancaman laten hate speech (ujaran kebencian), cyberbullying (perundungan siber), dan bad language (bahasa buruk). Banyak sekali manfaat mengenal dan mahir sastra anak. sastra anak memberikan kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan. Belajar sastra sangat mendukung akselerasi intelektualitas, imajinasi, karakter, dan perilaku santun anak.
Jangka panjangnya, anak-anak yang mahir sastra memiliki daya imajinasi tinggi yang menjadikan mereka berpikir panjang yang melampaui zamannya. Sangat tepat jika semua orangtua menjadikan keluarganya diterangi sinar pengetahuan sastra. Wujud dari pendidikan sastra anak dalam keluarga ini harus berorientasi pada produk karya sastra. Anak-anak, selain membaca puisi dan bermain drama, harus diajak mengarsipkan karya sastranya dalam bentuk buku. Jika sejak kecil mereka sudah menulis buku dan mahir sastra, generasi berbudaya, santun, dan berkarakter tak hanya mimpi. Buku dan sastra ialah asupan terbaik bagi anak untuk menanamkan kecerdasan, karakter dan budaya santun. Pepatah Arab menyatakan sebaik-baik teman duduk di setiap zaman ialah buku. Sastra di sini menjadi roh keindahan dan kesantunan bagi anak. Sastra dan buku bukan segalanya, tetapi segalanya bisa berawal dari sana.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: