Melepas Klaim Superioritas Identitas Primordial

Judul: Pengantar Komunikasi Lintas Budaya
Penulis: Prof. Deddy Mulyana
Penerbit: Rosda, Bandung
Cetakan: Agustus, 2019
Tebal: 441 halaman
ISBN: 978-602-446-351-9
Peresensi : Muhammad Itsbatun Najih Alumnus UIN Yogyakarta

Tak kenal maka tak sayang. Adagium tersebut mesti terus dipatri sebagai ikhtiar merawat persaudaraan. Kodrat manusia berupa homo homini socius, amat membutuhkan kehadiran liyan. Liyan adalah identitas di luar dirinya: suku, ras, bangsa. Walakin, manusia juga terlingkupi sebagai homo homini lupus; layaknya serigala buas. Walhasil, sejarah konflik antarmanusia seturut tuanya dengan sejarah peradaban manusia. Bahkan hingga hari ini, konflik berlandas sentimentil identitas primordial, masih terjadi di banyak tempat; di negara maju maupun negara berkembang.
Identitas primordial merupakan perkara asasi yang mengandaikan penghormatan. Di dalamnya terkandung elemen sikap, prinsip, karakter, tata nilai kehidupan, untuk dipakai sebagai pedoman laku dan menjadi ciri khas yang membedakan dengan entitas lain. Sering disebut sebagai budaya/adat-istiadat, masing-masing entitas bakalan saling jumpa dan membuka ruang dialog-komunikasi. Di dalamnya, dibicarakan perihal kerja sama ekonomi, pendidikan, kerja-kerja sosial.
Karena itu, masing-masing entitas perlu memahami liyan; untuk mencegah timbulnya kesalahpahaman yang berujung benturan-konflik. Dengan kata lain, perlu ditekankan adanya kesadaran kesamaan atawa kesetaraan derajat antarentitas. Tidak ada tolok ukur yang bisa dipakai untuk menghasilkan simpulan bahwa budayaku lebih unggul ketimbang budayamu. Mental superioritas mesti dihilangkan lantaran saban identitas primordial mempunyai keunikan-keunggulan yang khas.
Brandford Hall menyorongkan kemendesakan saban orang belajar tentang identitas di luar dirinya. Setidaknya ada tiga kefaedahan yang bisa dicecap: pertama, pemberdayaan pribadi, yakni: meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai dunia kita sendiri. Dengan kata lain, dunia tidak selebar daun kelor. Ada rupa-rupa kompleksitas identitas manusia yang seturut mau-tidak mau menuntut saling memilin relasi. Kedua, meningkatkan “kebebasan”; yakni, kebebasan memilih untuk bertindak efektif dan tepat guna. Sehingga menjadi mengerti batasan dan ruang lingkup komunikasi liyan -bagian mana yang bisa menyinggung dan tidak. Ketiga, membangun hubungan berkualitas dengan beragam tipikal liyan (hlm: xix).
Telah banyak konflik etnis-suku “diselesaikan” di banyak negara melalui cara militeristik. Konflikpun tak pernah benar-benar berakhir. Buku ini menawarkan strategi resolusi konflik tanpa harus memuntahkan banyak peluru. Yakni, ajakan agar negara memahami liyan dengan pendekatan komunikasi-kebudayaannya. Pun, bagi intern etnis-suku tersebut: kesediaan membuka pintu rumah, mengajak masuk liyan yang lain, dan bercakap-cakap dalam kesatuan persaudaraan sebangsa, satu negara.
Hadirnya era globalisasi menuntut keterbukaan diri sembari menegasikan sekat-sekat geografis. Pembauran antarentitas-antarnegara tidak bisa dielakkan. Ekspansi bisnis dan relasi perdagangan kian membuncah. Namun, bukan berarti nilai-nilai budaya asal lantas ikut dikikis kemudian hilang. Selalu ada sebentuk kearifan lokal di masing-masing entitas yang mesti dipegang kuat. Lebih-lebih bila antarentitas bisa saling mencecap kearifan lokal untuk menjadi nilai hidup bersama (asimilasi-akulturasi) bahkan kearifan universal.
Kini, kian didapati praktik globalisasi tidak bisa dihindari. Berkendara mobil atau motor yang buatan Jepang. Bertetangga dengan orang Sunda, Bugis, dan Malaysia. Membeli ayam goreng dan hamburger yang produk Amerika. Menggenggam erat ponsel pintar bikinan Korea Selatan; sampai sajadah besar-lembut yang digelar itu, buatan Turki. Meski demikian, soal etika yang menyangkut identitas primordial nyatanya tetap dipegang kukuh. Semisal urusan makan: orang India makan dengan cara duduk lesehan dan tidak menggunakan alat makan. Sementara orang China selalu menyisihkan makanan; menghabiskannya teranggap tidak sopan.
Setidaknya terdapat dua prinsip yang saling berkait yang ditekankan kala belajar budaya liyan. Pertama, menyunggi betul sikap netral. Tidak diperkenankan membawa asumsi-asumsi dan labelisasi. Karena itu, stigma atau stereotipe bahwa suku ini berciri pemalas dan suku itu berkarakter kasar, tidak bisa dijadikan tolok ukur menilai keseluruhan liyan dalam satu budaya/entitas tersebut. Claude Levi Strauss lantas menyimpulkannya dengan relativisme budaya: suatu budaya tidak memiliki kriteria absolut untuk menilai aktivitas -aktivitas budaya liyan sebagai “rendah” atau “mulia”. Kedua, sifat budaya yang dinamis. Selalu ada perkecualian tipikal individu untuk membedai dengan tipikal mayoritas di internal suatu budaya (hlm: xx). Perkawinan antaretnis, misalnya, sebagai tamsil konkret wujud adanya dinamika budaya.
Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Adagium ini mengisyaratkan pentingya untuk memahami seraya menuntut keharusan penghormatan pada budaya liyan. Globalisasi senyatanya tidak bisa menghilangkan latar belakang primordial lantaran keberbedaan atau pluralitas adalah hukum alam (sunnatullah). Sehingga, seorang investor China, misalnya, perlu memahami-menghormati budaya orang Sulawesi bila hendak mendirikan perusahaan di Mamuju. Pun, seorang pelajar Indonesia mesti mengetahui larangan-larangan di Jerman bila hendak studi di sana. Walhasil, buku tebal ini seakan bilang: menghormati liyan adalah bentuk lain menjunjung tinggi budaya sendiri.

———- *** ———–

Tags: