Melihat Inovasi SWD dan WSD Karya ITS dan Puslitbang Kemenhub

Tim peneliti menunjukkan cara kerja alat SWD dan WSD yang akan diuji cobakan di enam bandara di Indonesia.

Berfungsi untuk Minimalisir Angka Kecelakaan Pesawat, Diuji Coba di Enam Bandara
Kota Surabaya, Bhirawa
Sebuah inovasi baru di dunia penerbangan baru saja ditelurkan Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Transportasi Udara, Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian Perhubungan RI dengan Institute Teknologi Sepuluh Nopember (ITS). Alat itu bernama Standing Water Detector (SWD) dan Wind Shear Detector (WSD). Lantas seperti apa kegunaan alat itu?.
Rencananya, dua alat SWD dan WSD karya anak bangsa itu akan diuji coba di enam bandara di Indonesia. Penerapan kedua alat ini dimaksudkan untuk menekan angka kecelakaan pada pesawat. Utamanya saat pesawat mendarat (landing) dan lepas landas (take off).
Kepala Puslitbang Transportasi Udara, Capt Novyanto Widadi SAP MM ketika berkunjung di kampus ITS, beberapa waktu yang lalu mengatakan, SWD dan WSD merupakan hasil karya penelitian bersama antara Puslitbang Transportasi Udara Balitbang Kemenhub RI dengan ITS.
Menurutnya, rencana implementasi hasil penelitian dengan ITS ini menjadi urgent setelah permasalahan tergenangnya Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta awal tahun lalu. akibat curah hujan. uji coba peralatan WSD dan SWD ini akan dilaksanakan di enam bandara yang ada di Indonesia.
“Yakni di Bandara Cengkareng (Soekarno-Hatta, red), Halim Perdanakusuma, Kualanamu, Juanda, I Gusti Ngurah Rai, dan Sultan Hassanuddin,” papar lelaki kelahiran 1968 ini.
Ketua tim Peneliti ITS Dr Melania Suweni Muntini menuturkan dari sekitar 300 bandar udara (bandara) di Indonesia, belum ada yang dipasang detektor genangan air di landasan pacu. Padahal, menurut ICAO, genangan air tertinggi adalah 4 mm dan tidak boleh lebih dari 25 persen di area runway yang tergenang.
“Ketika musim hujan seperti ini dan landasan pacu di bandara tergenang air, maka tidak ada informasi yang valid kepada pilot tentang seberapa tinggi genangan airnya, untuk mempertimbangkan bisa mendarat atau tidaknya pesawat di bandara tersebut,” jelas dosen Departemen Fisika ITS ini.
Tak hanya itu, lanjut Melania, angin di sekitar bandara terkadang juga berpotensi menimbulkan adanya angin samping (wind shear). Apabila arah dan besar angin muncul dari berbagai arah dengan kecepatan tinggi, maka akan menimbulkan kondisi yang berpotensi munculnya angin samping tersebut.
Penelitian yang dilakukan Melania beserta timnya di Laboratorium Instrumentasi, Departemen Fisika, Fakultas Sains dan Analitika Data ITS ini sudah dirancang kurang lebih selama dua tahun. Uji fungsional sudah dilakukan dan berhasil dengan baik, sekarang ini sedang dalam tahap sertifikasi.
Pengetesan dilaksanakan di Bandara Trunojoyo Sumenep pada tahun 2018 dan di Bandara Yogyakarta atau New Yogyakarta International Airport (NYIA) pada tahun 2019 lalu.
“Untuk alatnya sendiri bisa di semua bandara, ada 300 bandara di Indonesia yang mempunyai potensi untuk diujicobakan, khususnya yang SWD,” ungkap perempuan asli Yogyakarta ini.
Melania menuturkan, tim Puslitbang Transportasi Udara sudah mengunjungi ITS guna mendiskusikan rencana pemasangan dan uji operasional dari SWD dan WSD di beberapa bandara. Dalam diskusi itu disepakati bahwa ITS akan menyiapkan peralatan serta pelatihan bagi teknisi dan operator di bandara, termasuk cara pemasangan alat tersebut di lokasi. “Memang yang dikhususkan untuk diuji coba di bandara hanya SWD, karena yang paling sesuai dengan kondisi saat ini,” terangnya.
Alumnus doktoral ITB ini menambahkan bahwa kerja sama yang dilakukan tidak hanya sebatas itu. Tim ini juga sudah bekerja sama dengan Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
“Untuk kelancaran uji coba, kami menyarankan agar studi kelayakan terlebih dahulu seperti profiling landasan, posisi penempatan alat, jumlah sensor yang akan dipasang, serta hal-hal lain yang dibutuhkan guna tercapainya kelancaran uji coba,” bebernya.
Dalam hal ini, Kapuslitbang Transportasi Udara sekaligus menyarankan perlunya peningkatan kerja sama Puslitbang Transportasi Udara dengan ITS. Ia mengusulkan agar pada setiap penelitian bersama ITS bisa dikemas sebagai Program Doktoral bagi peneliti yang terlibat. Hal ini sudah diwujudkan dengan dibukanya jalur Doctoral by Research di ITS dan akan mulai membuka penerimaan mahasiswa S3 mulai September 2020 mendatang. [Diana Rahmatus S]

Tags: