Melihat Lebih Dekat Jam Dinding Kuno di Kantor Gubernur

Petugas yang merawat jam dinding kuno ini di Kantor Gubernur Jatim, Pegy Cahyadi mengecek kondisi mesin agar tiap waktu bisa berfungsi dengan baik.

90% Onderdil Masih Original, Petugas Sering ‘Digoda’ Noni Belanda
Kota Surabaya, Bhirawa
Siapa yang tidak kenal dengan gedung Kantor Gubernur Jatim yang terletak di Jalan Pahlawan 110 Surabaya. Bangunan cagar budaya yang dibangun pada 1929 ini masih terawat dengan baik. Salah satunya adalah jam dinding yang masih berfungsi baik hingga kini.
Untuk mencapai jam dinding berukuran besar ini, harus naik ke menara yang terletak di sisi selatan gedung terlebih dulu. Cukup membutuhkan adrenalin saat naik ke menara, karena ruang yang sempit dan jumlah anak tangga yang cukup banyak membuat peluh menetes.
Sampai di atas menara, akan terlihat mesin jam dinding yang unik dan tentu berbeda dengan mesin jam dinding pada umumnya. Bentuknya besar dan banyak ger serta rantai yang saling berkaitan. Selain mesin jam dinding, juga terdapat lonceng berukuran besar yang tiap satu jam sekali akan berbunyi sesuai jumlah waktunya.
Menurut petugas yang merawat jam dinding kuno ini, Pegy Cahyadi, banyak wisatawan yang berkunjung ke Kantor Gubernur Jatim dan melihat jam dinding ini. Mereka umumnya penasaran dengan jam dinding yang dibuat pada 1932 ini. Walaupun harus naik ke menara, wisatawan tetap semangat untuk melihat jam dinding lebih dekat.
“Beberapa waktu lalu, ada wisatawan dari Belanda yang naik ke menara untuk melihat jam dinding ini. Mereka penasaran, apakah betul jam dinding besar di Kantor Gubernur Jatim ini adalah buatan Belanda. Setelah melihat, mereka kagum karena jam dinding masih terawat dengan baik,” ujar Cahyadi.
Di mesin jam dinding ini, memang terdapat plakat dari kuningan yang menempel di bagian mesin yang menunjukkan tempat dan waktu pembuatan. Plakat itu tertulis ‘Nederland Schefabriek van Torenuurweken B.Eijsbouts ASTEN No 3108 Anno 1932’.
“Saya tidak tahu itu artinya apa. Yang saya tahu ada angka 1932. Itu mungkin menunjukkan tahun pembuatannya. Meski sudah lama, tapi mesin ini masih berfungsi dengan baik. Bisa dikatakan 90 persen mesin jam dinding ini masih original,” ungkapnya.
Gipong, begitu Cahyadi biasa disapa, mulai mendapat tugas untuk merawat jam dinding kuno ini sejak 2010 lalu. Membutuhkan waktu lama untuk mempelajari detail jam dinding ini. Maklum, mulai bentuk dan onderdil berbeda dengan jam pada umumnya. Begitu pula dengan cara kerja jam ini, lebih rumit. Walaupun bentuknya terlihat sederhana, tapi cara kerjanya saling berkaitan antara mesin satu dengan mesin satu lainnya.
“Saya membutuhkan waktu enam bulan untuk belajar. Saya pelajari dengan detail, antara mesin satu dengan mesin lainnya. Jika ada satu onderdilnya yang mati, otomatis akan membuat jam ini tidak berfungsi. Ini yang sulit. Saya sabar belajar dengan Pak Muskan, petugas sebelum saya yang memasuki usia pensiun,” katanya.
Meski terawat dengan baik, tapi usia tak bisa dibohongi. Pernah ada salah satu onderdil yang aus dan harus diganti. Karena tak mudah mencari onderdil ini, harus memesan dan membutuhkan waktu hingga tiga minggu. Selama itu pula, jam dinding tak berfungsi.
“Saat tidak berfungsi ini, banyak yang komplain ke Biro Umum. Ternyata banyak yang memperhatikan jam dinding ini saat mati. Saya ya sempat ditegur, tapi karena memang onderdilnya pesannya lama. Tidak dijual ditempat umum, harus pesan khusus. Mungkin didatangkan dari Belanda langsung,” kata pria yang kini berusia 37 tahun ini.
Karena membutuhkan perawatan khusus ini, setiap seminggu sekali Gipong selalu naik ke menera untuk mengecek kondisi mesin jam dinding. Nah, saat naik ini ke menara ini, Gipong mengaku tak jarang mengalami hal mistis. Dia sering ‘digoda’ noni Belanda bergaun putih yang berseliweran.
“Biasanya saya mengecek mesin jam dinding ini waktu sore hari. Biasanya sangat merinding saat naik. Bahkan sering pula melihat noni-noni Belanda bergaun putih. Tapi tak saya hiraukan. Saya biarkan saja, yang penting tidak mengganggu,” tandasnya. [Zainal Ibad]

Tags: