Melihat Perajin Gerabah di Malo, Bojonegoro Bertahan di Tengah Pandemi

Sapraun dan dua pembantunya sedang melakukan pengecatan gerabah hasil karyanya di Desa Rendeng, Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro.

Tidak Selalu Ada Pembeli, Kerja Satu Hari, Sepuluh Hari Berikutnya Berhenti
Kab Bojonegoro, Bhirawa
Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini berdampak luar biasa terhadap para pengusaha di Kabupaten Bojonegoro. Banyak di antara pengusaha maupun perajin harus gulung tikar, karena usaha yang dijalankan harus terhenti karena modal usaha digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Meski tak keseluruhan mengalami dampak buruk karena pandemi, beberapa pengusaha tetap ada yang bertahan di tengah pandemi Covid-19. Salah satunya Sapraun, pengusaha kecil perajin gerabah di Desa Rendeng, Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro. Sejak adanya pandemi tersebut, pendapatan para perajin memang menurun drastis.
Sebab gerabah hasil buatan tangan mereka mengalami sepi permintaan dibandingkan pada masa sebelum pandemi Covid-19. Kerajinan gerabah yang dikerjakan beraneka ragam motif gerabah, seperti ada berupa patung hewan sapi, harimau, gajah mulai ukuran kecil hingga terbesar seukuran kambing jantan dewasa.
“Di Desa Rendeng ini sekarang tinggal dagangan saya yang masih ada pembelinya. Yang lain sudah ditutupi kain terpal semua dagangannya,” ungkap Sapraun, saat ditemui dirumahnya sedang mengecat sisa stok gerabah miliknya, dan dibantu dua pekerja yang setia menunggu kedatangan pembeli.
Sapraun mengaku, para pengrajin dan pengusaha gerabah sangat terdampak pandemi Covid-19 dengan minimnya pembelian gerabah. Arus kedatangan pembeli ke lapaknya yang digelar di kediamannya juga mengalami penurunan drastis, tak lagi selancar sebelumnya.
Pria usia lanjut ini mengaku, belakangan ini pekerjaan yang dijalaninya tersendat-sendat. Karena tidak selalu ada pembeli. “Kerja satu hari, sepuluh hari berikutnya berhenti kerja. Lalu nyambung lagi, kerja lima hari berhenti lagi. Begitu seterusnya,” terangnya.
Sapraun merasa beruntung, yang sesekali masih ada pembeli gerabah karyanya. Sehingga di usianya yang terbilang senja, ia bersyukur masih mampu membuat dapurnya tetap mengebul (berasap). “Alhamdulillah masih dikasih rejeki sama Allah. Gerabah hasil karyanya dijual mulai Rp20 ribu hingga Rp100 ribu per buah, atau tergantung besar kecilnya ukuran gerabah tersebut,” ucapnya.
Terpisah, Kepala Desa Rendeng, Muslih, mengatakan bahwa tinggal Sapraun saja satu-satunya warga Rendeng yang masih aktif sebagai perajin gerabah. Tercatat, sejumlah 150 KK dari 322 KK berprofesi sebagai perajin gerabah di Desa Rendeng dengan beragam keahlian. “Mulai pembuat gerabah mentah sampai pengecatan atau finishing,” ucapnya.
Dampak pandemi, lanjut Muslih, kini para perajin beralih profesi sesuai kemampuan masing-masing. Ada yang beralih berdagang pentol keliling, pemulung barang bekas dan sebagainya. Bagaimana tidak, barang kerajinan yang sedianya bisa dipasarkan ke luar daerah, kini tak lagi bisa. “Padahal sebelumnya, tiap ada event pameran di luar Bojonegoro, gerabah Rendeng selalu hadir mewarnai,” ujarnya.
Muslih mengaku, prihatin atas keadaan warganya, namun Badan Usaha Milik Desa (BUMDesa) sendiri yang turut mengelola hasil dari para perajin belum bisa berbuat banyak. Karena, kalau membeli kerajinan tanpa kejelasan pemasaran, dikhawatirkan justru merusak kualitas barang karena tidak segera laku.
“Total dari 322 KK, 150 KK ini mata pencahariannya bergantung pada kerajinan gerabah. Ini setengah dari total KK di Desa Rendeng,” tandas Kades Muslih.
Sebelum para perajin tutup lapak terdampak wabah Corona, kata Muslih, perputaran keuangan berasal dari basis kerajinan gerabah mampu mencapai Rp 20 juta tiap minggunya. Sampai-sampai, ia menggagas satu lapak kuliner untuk tiap Rukun Tetangga (RT), sejumlah tujuh RT. “Harapan saya, pandemi segera berakhir. Agar ekonomi kembali normal. Kasihan warga kami,” pungkasnya. [Achmad Basir]

Tags: