Melindungi Hasil Pemilu

Aparat negara bidang keamanan dan ketertiban, telah bekerja profesional. Itu bagai “imbal jasa” kepada ujung tombak penyelenggara pemilu di TPS, yang telah bertaruh jiwa. Korban jiwa lebih dari 500 petugas KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) tidak patut disia-sia-kan. Negara wajib hadir dengan segala kekuatan. Tidak boleh tunduk pada “teror” kelompok kecil masyarakat yang tidak puas terhadap hasil pemilu.
Masyarakat meng-apresiasi kinerja aparat keamanan dan ketertiban yang profesional. Perpaduan pengamanan antara Kepolisian dengan dukungan solid TNI (Tentara Nasional Indonesia). Hasilnya, antara lain menghadapi demo 22 Mei tanpa dibekali senjata dengan peluru tajam. Hanya tameng, pentungan karet, water cannon, dan asap gas air mata. Sebanyak 257 pelaku ditangkap, dan dijadikan tersangka. Serta beberapa amplop berisi uang “operasional” demo, sebagai barang bukti.
Berdasar analisis Polri, itu bukan unjukrasa biasa. Melainkan berdasar grand design (skenario besar). Buktinya, ditemukan pula senjata M-4 (standar pasukan elit militer). Tergolong senjata serbu otomatis yang dimodifikasi dari M-16 buatan Amerika Serikat (AS). Pasukan elit TNI, dan Polri juga menggunakan senjata ini. Diantaranya, Komando Pasukan Katak (Kopaska), Pasukan Khusus (Kopassus), dan Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti-teror.
M-4, konon, akan digunakan untuk menembak “martir” (menjadi korban tewas) unjukrasa 22 Mei. Sehingga TNI dan Polri akan menjadi olok-olok se-dunia, sebagai pelanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Skenario hampir serupa (dalam kasus hoax oleh tokoh senior perempuan) yang digagalkan Polri. Hoax, setidaknya akan men-delegitimasi TNI dan Polri. Upaya delegitimasi TNI, sebelumnya juga telah ditebar melalui media sosial (medsos), dan pernyataan tokoh nasional.
Serta terdapat pernyataan perundungan terhadap TNI, bahwa sistem keamanan nasional sangat lemah. Akan mudah diserang, dan dilumpuhkan negara lain. Padahal realitanya, berdasar indeks ke-militer-an internasional, Indonesia (TNI) dikenal sebagai salahsatu kekuatan militer “power full” yang terbaik di dunia. Bahkan dalam tataran kejuaraan menembak militer se-dunia, TNI selalu menjadi juara umum. Hal itu menunjukkan kompetensi personel TNI yang sangat tinggi.
Pernyataan ujaran perundungan (menista) TNI dan Polri, seolah-olah menjadi tantangan “penguat” kinerja. Selama sepekan sebelum 22 Mei, Polri juga menangkap 29 teroris. Sebanyak 18 diantaranya akan berpartisipasi dalam kerusuhan menolak hasil rekapitulasi KPU (22 Mei). Barang bukti yang disita, termasuk beberapa bom tergolong high explosive (berdaya ledak tinggi). Kelompok radikal masih nampak pada unjukrasa 22 Mei, membawa bendera hitam (identitas organisasi terlarang).
Masyarakat yakin, aparat negara telah memahami (sejak awal) tentang “skenario” yang akan mengacaukan hasil pemilu. Berbagai tuduhan bertujuan men-delegitimasi KPU (Komisi Pemilihan Umum). Diawali isu kisruh DPT (Daftar Pemilih Tetap). Namun dengan kinerja profesional, KPU telah memperbaiki DPT, serta DPT tambahan. Berlanjut dengan isu hoax (kebohongan) besar tentang 7 kontainer surat suara yang telah tercoblos. Penyebar hoax telah ditangkap.
Penyelenggaraan pemilu serentak 2019, Indonesia semakin dalam situasi darurat hoax sangat kronis. Sasaran hoax, dan ujaran kebencian pada medsos, menyerang seluruh kalangan. Bukan sekadar parpol kontestan pemilu (caleg) maupun tim sukses paslon pilpres. Melainkan juga menyasar TNI, dan tokoh-tokoh masyarakat yang paling dihormati. Wajar manakala penyelenggara keamanan negara (TNI dan Polri), lebih gigih menegakkan hukum, menjamin ketenteraman sosial.
Presiden Jokowi (selaku paslon incumbent pilpres), telah membuka diri bisa bekerjasama dengan siapapun untuk membangun negara. Begitu pula Prabowo Subianto (selaku Calon presiden penantang), mengajak semua pihak tidak memprovokasi tindak kekerasan, dan senantiasa menempuh jalur hukum.

——— 000 ———

Rate this article!
Melindungi Hasil Pemilu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: