Melindungi Kaum Ibu

ibu“Ibu, menggoyang ayunan anaknya dengan tangan kanan, dan tangan kirinya menggoyang (guncangkan) dunia.” Begitu satir yang ditulis oleh panglima perang (asal Perancis) yang paling sukses di se-antero Eropa, Napoleon Bonaparte.
Pemimpin de-facto beberapa negara (sebagai Kaisar Perancis, dan Presiden Italia) ini, sangat memuliakan kaum ibu.  Sebagai penguasa Eropa, Napoleon juga mengangkat saudaranya dari jalur ibu sebagai raja Belanda, Spanyol, Swedia dan Polandia. Dalam hidupnya, Napoleon, ter-obsesi oleh tiga sosok ibu. Yakni: ibundanya (Maria Letizia), istrinya (Marie Louise), serta ratu Perancis pendahulunya, Maria Antoinette. Dua sosok ibu idola, Maria Letizia dan Marie Louise, dilukiskan dengan kata: “menggoyang anaknya dengan tangan kanan.”  Sedangkan Maria Antoinette, digambarkan “tangan kirinya mengguncang dunia.” Ironisnya, ketiga kaum ibu terjebak dalam pusaran politik. Nelangsa pada akhir hayatnya. Maria Antoinette, dihukum penggal dengan guillotin (pisau silet besar) oleh gerakan revolusi Perancis. Berikutnya, banyak tokoh kaum ibu, harus menanggung beban politik berat, berujung pengorbanan nyawa. Antaralain Indira Gandi (di India), Benazir Butho (di Pakistan), serta Cut Nya’ Din (di Aceh).
Nelangsa, juga menjadi gambaran mayoritas kaum ibu di Asia (termasuk di Indonesia). Kaum ibu masih terhimpit tekanan dari berbagai arah. Menanggung beban ke-rumahtangga-an serta sosial dan perekonomian. Berbagai sindikat kejahatan, juga menjadikan kaum ibu sebagai sasaran paling empuk. Namun bersyukur, paradigma agama-agama mengajarkan, bahwa ibu lebih utama disbanding seluruh isi dunia. Agama Hindu, misalnya, mengajarkan anak-anak (tak terkecuali yang sudah dewasa), agar meminum air bekas cuci kaki ibunya. Keberkahan, menjadi “domain” kaum ibu. Hanya ibu yang mengerti “bahasa” bayi. Ibu pula yang mengajar setiap bayi sampai bisa berbicara. Sekaligus menjadi arena “sekolah” pertama seluruh manusia. Tetapi kaum ibu umumnya bagai dilarang “banyak bicara.” Juga dibatasi agar tidak sekolah banyak-banyak. Anehnya, kaum ibu seolah-olah nampak cerdas. Selalu memiliki cara jitu menyelesaikan permasalahan anak-anaknya.
Tetapi ke-mulia-an perempuan, terjadi pada saat menjelang dipanggil sebagai
“ibu” yang sesungguhnya. Pada proses melahirkan, seorang ibu bertaruh nyawa.
Pada kitab suci (Al-Quran, surah al-Luqman) dinyatakan bahwa ibu hamil dalam keadaan sakit yang semakin sakit. Puncak kesakitan terjadi saat melahirkan. Karena itu agama mengajarkan, bahwa masa hamil dan melahirkan mestilah diatur. Agar tidak semakin sengsara, serta mengurangi risiko kematian ibu saat melahirkan.  Pengorbanan setiap ibu pada saat melahirkan anaknya, tak tertandingi oleh pengorbanan siapapun. Di Indonesia, kenyataannya, AKI (Angka Kematian Ibu) masih sebanyak 228 orang pada setiap 100  ribu persalinan. Ini tergolong sangat tinggi, bahkan tertinggi di kawasan ASEAN (3 sampai 6 kali lebih besar). Negara lain
di ASEAN hanya sekitar 50-an ibu yang meninggal. Kesehatan tingginya AKI keba-
nyakan akibat melahirkan pada usia muda.
Walau sebenarnya menikah pada usia muda, tidak salah. Karena system alamiah (kodrat) perempuan telah siap.  Harus diakui pula, kebiasaan menikah muda di beberapa daerah tidak mudah ditembus. Selain tingkat pendidikan, penyebab lainnya menikah dini adalah problem perekonomian. Maka penyebab AKI, bagai
rantai yang saling berkait: kemiskinan, pendidikan, dan keterbelakangan.  Selayaknya, dilakukan perubahan paradigma, bahwa kepala rumahtangga yang sebenarnya, adalah ibu. Sedangkan posisi ayah (suami), tetap sebagai pemimpin rumahtangga. Lebih khusus lagi, suami menjadi pemimpin untuk urusan eksternal. Sedangkan posisi ibu sebagai pengurus internal. Sebagai kepala
rumahtangga, ibu, memiliki posisi setara dengan suami. Karena kodratnya yang lembut, ibu wajib lebih dilindungi (dan di-bahagia-kan). Agar kasih tulusnya tetap mengalir, bagai malaikat yang selalu membimbing.
———- ooo ———-

Rate this article!
Melindungi Kaum Ibu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: