Melindungi UKM Tempe

Tempe (dan tahu) bukan sekedar menu “wajib” makanan rakyat, melainkan berkait komoditas kedelai impor sangat menggiurkan. Kapasitas impor (rata-rata per-tahun) sampai sebanyak 2,5 juta ton, dengan nilai transaksi sebesar US 1 milyar. Pemerintah perlu melindungi usaha mikro dan kecil pengrajin tahu. Serta memulai membuka areal khusus tanaman budidaya kedelai. Selain sebagai bahan (satu-satunya) menu tahu dan tempe, kedelai juga bahan baku utama pembuatan susu (nabati).

Pasokan kedelai impor dari Amerika Serikat (AS) sedang menyusut, karena diborong rakyat China. Harga kedelai melambung sampai 30%. Semula sekitar Rp 7 ribuan, menjadi lebih Rp 9.200,- per-kilogram. Sebanyak 5000 unit usaha mikro pengrajin tahu dan tempe di Jakarta, dan Jawa Barat, memilih mogok produksi. Ongkos produksi melambung. Sebagian pengrajin memilih memperkecil ukuran (dan berat paket produksi).

Pengrajin berharap pemerintah meng-aman-kan pasokan kedelai. Termasuk memberi insentif pajak impor manakala terjadi kelangkaan. Namun sebenarnya, persediaan kedelai eks impor masih cukup tersedia di gudang importir. Kelangkaan hanya kekhawatiran psikologis karena meningkatnya permintaan Tiongkok. Pada musim dingin, kedelai menjadi bahan utama berbagai menu pangan. Terutama kudapan, dan penghangat badan (tahu susu).

Kebutuhan kedelai nasional sekitar 3 juta ton. Kedelai lokal hanya mampu menyokong 25%. Selebihnya, mayoritas dipasok dari AS. Berdasar data BPS (Badan Pusat Statistik), impor kedelai selama Januari hingga Oktober tahun 2020, dari AS sebanyak 1,92 juta ton. Nilai impor sebesar US$ 762 juta (setara Rp 10,668 trilyun). Juga impor dari Kanada sebanyak 190 ribu ton (US$ 77 juta), serta dari Malaysia sebanyak 6.342 ton (senilai US$ 3 juta).

Rata-rata harga kedelai dari AS, dan Kanada sebesar Rp 5.600,- per-kilogram (harga dari negara asal). Di pasar mencapai Rp 6.800,- hingga Rp 7.000,- per-kilogram. Sedangkan patokan harga kedelai dalam negeri (lokal) sebesar Rp 8.500,-., sesuai Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 7 tahun 2020. Tetapi harga patokan pemerintah tidak pernah terealisasi. Yang diterima petani selalu lebih rendah. Konon disebabkan mutu yang rendah.

Kedelai lokal tak mampu bersaing, karena harganya lebih tinggi. Hal itu disebabkan ongkos budidaya tanaman kedelai sangat mahal. Terutama ongkos kerja, harga pupuk, dan perhitungan sewa lahan. Walau sebenarnya, kedelai lokal memiliki keunggulan cita rasa (lebih gurih). Namun pengrajin tahu dan tempe cenderung memilih kedelai impor, karena kualitas hasil produk lebih bagus.

Secara ke-ekonomi-an, kedelai impor juga memiliki keunggulan kuantitatif. Kalkulasinya, 1 Kg kedelai impor bisa menghasilkan tempe seberat 1,8 kg. Sedangkan kedelai lokal hanya menghasilkan 1,4 Kg. Sehingga pangsa pasar kedelai lokal bukan pengrajin tahu dan tempe, melainkan pengguna skala rumah tangga. Beberapa jenis pangan tradisional hanya cocok berbahan baku kedelai lokal. Karena rasa gurih yang lebih kuat, dan aroma yang khas.

Pangsa pasar yang sempit menyebabkan kebutuhan kedelai lokal kurang bergairah. Banyak petani mengalihkan jenis tanaman musim kemarau pada jenis palawija lain (jagung, kacang tanah, dan singkong). Maka ketergantungan terhadap kedelai impor menjadi keniscayaan. Bahkan cukup “di-manja-kan” sebagai komoditas yang tidak masuk dalam komoditas “larangan terbatas.” Kebebasan impor berpotensi semakin menggerus neraca perdagangan (terutama dengan AS).

Pemerintah perlu menjamin pasokan kedelai. Namun bukan sekadar kendali perdagangan, melainkan lebih sistemik. Yakni, melalui perluasan areal tanaman budidaya kedelai, serta “perlindungan” komoditas bahan pangan. Jika pola budidaya sampai pasca panen bisa diperbaiki, maka kedelai lokal bisa menjadi penyelamat devisa.
——— 000 ———

Rate this article!
Melindungi UKM Tempe,5 / 5 ( 1votes )
Tags: