Meluruskan Diskriminasi Pemilu 2014

agusOleh:
Agus M Fauzi
Konsultan Politik & SDM – Bangun Indonesia
Peserta Program S3 Universitas Airlangga
Pelaksanaan tahapan Pemilu 2014 sudah memasuki pertengahan kampanye. Ini menandakan hari-hari yang akan menentukan hasil wajah demokrasi perwakilan Indonesia di ambang pintu, belum diketahui secara detail yaitu sosok seperti apa saja yang akan terpilih dan memberikan wajah lembaga perwakilan.
Perdebatan antara wajah-wajah lama yang bertarung dengan para pendatang baru terlihat dalam proses kampanye, mereka saling serang dengan penawaran program, visi dan misinya, baik secara terbuka di panggung lapangan atau ketika pertemuan-pertemuan kecil dan door to door ke rumah-rumah calon pemilih.
Black Campaign menjadi bumbu bagi para pendatang baru untuk mengaburkan kebaikan calon petahana, apakah benar atau tidak kamapnye negatif tersebut, menjadi tidak terlalu penting, serangan diharapkan mampu menghilangkan kepercayaan dari publik terhadap yang dilabeli black campaign tersebut, dengan begitu kesempatan dan peluang penyerang akan terpilih menjadi lebih lebar.
Diskriminasi pelaksanaan kampanye dirasakan para calon petahana, sebaik-baik anggota DPR, DPD dan DPRD petahana yang sudah masuk ke Daftar Caleg Tetap, dipastikan ada satu, dua atau lebih problem selama pengabdian dirinya di kursi legislatif, baik hal tersebut disengaja atau by accident.
Penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu) belum pernah membahas satu-persatu calon legislatif atau DPD untuk diperkenalkan kepada masyarakat calon pemilih, seandainya ada pengenalan, cukup pada KPU (termasuk KPU Provinsi dan Kab/Kota)  yang menyediakan fasilitas website dengan dituliskan tentang biodata calon (CV), itu pun yang melaksanakan tidak banyak.
Seandainya proses pengenalan para Calon legislatif & DPD sebagaimana persyaratan Caleg dari alumni Lembaga Pemasyarakatan yang kena ancaman pidana 5 tahun, dengan membuat iklan di media tentang kasus tersebut, hal itu sudah cukup membersihkan pasca 5 tahu terakhir, maka hal ini akan mengurangi diskriminasi para calon, begitu juga bagi para pemilih akan diuntungkan sebab mereka sudah mempunyai gambaran tentang para calon yang akan dipilih, sehingga sudah tidak ada lagi istilah memilih kucing dalam karung.
Diskriminasi Pejabat Negara
Media banyak menulis tentang cuti kampanye yang belum dilakukan oleh para elit pejabat yang akan melakukan cuti kampanye ketika mendekati dimulainya pelaksanaan kampanye 16 Maret 2014. Gemuruh pemberitaan menarik untuk diikuti sebab proses  pengambilan cuti ini akan menggambarkan seberapa menarik gebyar kampanye yang dilakukan oleh partai, Calon DPD beserta para pelaksana kampanyenya dengan sokongan para pejabat.
UU No 8 tahun 2012 pada pasal 86 ayat 2 menyatakan “Pelaksana kampanye dalam kegiatan kampanye Pemilu dilarang mengikutsertakan Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, hakim agung pada MA dan hakim konstitusi pada MK; Ketua, Wakil Ketua dan anggota BPK; Gubernur dan Deputi Gubernur BI, BUMUN/BUMD, PNS, TNI, POLRI, Kepala desa dan Perangkat Desa”.
Pelanggaran pada kegiatan kampanye tersebut, UU No 8 tahun 2012 tidak adil atas pemberian hukumannya, seandainya itu dilakukan oleh PNS, TNI, POLRI, Kepada Desa dan Perangkat Desa maka akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah); sedangkan bagi yang dari MA, MK, BPK, BUMN/BUMD dipidana dengan penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
Ini menunjukkan diskriminasi pemberlakuan hukum untuk tema yang sama, seharusnya status kedua kelompok tersebut sama pejabat negara yaitu sebagai alat atau perangkat negara untuk membantu kesuksesan pelaksanaan berbagai program negara.
Lebih kelihatan terjadi diskriminasi ketika mengikuti pada pasal 87 yang memperbolehkan pejabat seperti Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota harus memenuhi dua persyaratan, pertama, menjalani cuti di luar tanggungan negara, kedua, tidak menggunakan fasilitas negara.
Hal tersebut merupakan tindakan diskriminasi oleh UU Pemilu bagi para pejabat negara, seharusnya mereka juga tidak diperbolehkan cuti untuk mensukseskan Kampanye sebab mereka adalah pejabat negara yang telah diwakafkan dirinya oleh Partai Politik untuk mengabdi kepada negara secara total.
Profesionalisme berpolitik di Indonesia sangat ditunggu oleh semua pihak, supaya tidak ada yang merasa diberlakukan tidak adil, hal ini bisa dimulai dari proses pembuatan UU Pemilu atau Politik. Contoh seperti tersebut di atas, kalau dari unsur MA, MK, BPK, BUMN/BUMD tidak diperbolehkan berkampanye pada salah satu partai politik, maka ini seharusya juga berlaku untuk Presiden, Wakil Presiden, Menteri, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota.
PNS yang aktif diberbagai kantor (Kemenag, Kemendiknas, dan kantor lainnya) jelas dilarang untuk ikut serta Kampanye, tetapi hal yang bertolak belakang adalah sebagian para menterinya, yang merupakan atasan atau pimpinannya, mereka mengambil cuti dan ikut aktif meramaiakan proses kampanye Pemilu 2014, dengan alasan bahwa dia aset Partai ataupun lainnya, hal tersebut tidak bisa diterima sebab kalau sudah menjadi pejabat negara maka beliau sudah milik aset negara, sampai beliau pensiun atau berhenti dari jabatan tersebut.
KPPS pun didiskriminasi
KPPS yang merupakan ujung tombak dari pelaksanaan Pemilu juga didiskrimasi dengan Surat Edaran MEN PAN & Reformasi Birokrasi No 7 tahun 2009 Bahwa bagi PNS  yang menjadi penyelenggara Pemilu, termasuk KPPS,  harus mendapat izin dari atasan langsung
Padahal dalam No UU 15 tahun 2011 tentang kriteria KPPS adalah dipersyaratkan lulusan SLTA dan sudah berumur 25 tahun. Hal ini menyulitkan bagi penyelenggara Pemilu untuk merekrut para calon KPPS, sebab sumber daya manusia di pedesaan yang memenuhi minimal dua persyaratan tersebut tidak mudah, seandainya tersedia personilnya, maka sebagian sudah memilih menjadi Caleg.
Para anggota KPPS di sebagian daerah akan melakukan pengunduran diri seandainya permintaan izin atasan ini harus memproses sendiri-sendiri sebab tidak setimpal dengan honor yang merea terima, selain mereka tidak mau bersikap konyol, niat baik pribadi untuk memberikan pengabdian untuk negeri, mendapat ancaman diberhentikan dari ke-PNS-annya ketika tidak turun izin, ini yang tidak bisa diterima oleh mereka.
Diskrimasi terhadap Pemilu 2014 menjadi evaluasi untuk menata demokrasi dan perpolitikan di Indonesia, hal ini perlu dilakukan demi penegakan keadilan bisa berjalan, sehingga perlu diambil langkah-langkah penyelamatan seperti berikut: Pertama, Penyelenggara Pemilu harus mengenalkan semua Calon Legislatif dan Calon DPD secara komplit, sehingga tidak hanya pendatang baru yang diuntungkan karena pemain lama sudah bekerja serius untuk mengabdi ke negeri ini, tentu   tindakan petahana ada yang kurang tepat, karena menuju 9 April 2014 masih ada waktu, maka hal ini bisa ditindaklanjuti oleh Penyelenggara Pemilu.
Kedua, Pejabat negara yang oleh partai politik sudah diwakafkan sepenuhya untuk negara, maka tidak baik untuk dicampuri oleh kepentigan partai politik, sehingga UU No 8 tahun 2012 pada proses selanjutnya diperlukan ada perbaikan, sehingga tidak jumbuh antara kepentingan negara dan kepentingan partai atau kelompok.
Ketiga, Kementerian Pembinaan Aparatur Negara (MEN PAN) harus segera bertindak dewasa dan bijak akan kebutuhan KPPS yang dipersyaratkan di UU Penyelenggara Pemilu, pengambilan policy dalam waktu singkat, atau mugkin nantinya UU No 15 tahun 2011 perlu ada revisi terkait dengan persyaratan ini, sehingga kalau kesulitan yang lulus SLTA dan di atas 25 tahun, maka persyaratannya diturunkan, yaitu cukup yang bisa baca tulis dan hitung, sebab yang dibutuhkan utama di KPPS adalah kejujuran penghitungan suara setelah proses pemungutan suara.

Rate this article!
Tags: