Mem-adil-kan Bansos PPKM Darurat

Mempercepat Vaksinasi dan Obat CoViD-19

Oleh:
Yunus Supanto
Wartawan senior penggiat dakwah sosial politik

Perhelatan sepakbola piala Eropa antar-negara (UEFA), EURO 2020, memukau masyarakat Indonesia. Unik, karena para “gibol” (penggila bola) bagai diajak rekreasi di 12 kota dari 12 negara se-Eropa. Puncaknya akan diselenggarakn di lapangan Wembley Stadium, London, yang berkapasitas 90 ribu penonton. Seluruh stadion terkena batasan jumlah penonton hanya separuh kapasitas tribun. Anehnya, nampak kelompok penonton hampir seluruhnya tidak mengenakan masker, dan berkerumun (sampai berangkulan).

Seluruh penonton di Eropa (negara maju) di dunia, seolah-olah mengabaikan pandemi, tidak percaya CoViD-19. Gibol mania, bertanya (dalam hati), “mengapa UEFA tetap menggelar piala EURO 2020, dengan penonton yang selalu melanggar protokol kesehatan?” Sedangkan Liga Champions (antar-klub) Eropa, digelar tanpa penonton. Hanya berselang dua bulan (Mei) lalu. Seolah-olah pandemi CoViD-19 telah berakhir.

Seolah-olah asosiasi sepakbola Eropa, UEFA (Union of European Football Associations) sudah memiliki obat manjur penangkal CoViD-19. WHO (World Health Organization) juga mengkhawatirkan piala EURO 2020 akan menjadi kluster penyebaran CoViD-19. Namun otoritas Kesehatan Inggris juga mempertimbangkan memperketat protokol kesehatan, khusus laga puncak (final) di stadion Wembley. Bahkan mempertimbangkan melarang penonton dari negara yang masih diliputi tren kenaikan pandemi.

Pemerintah Inggris sudah ancang-ancang melonggarkan pembatasan sosial, dan ekonomi, serta mengakhiri WFH (Work From Home). Inggris meyakini benar efek vaksinasi. Sekitar 64% orang dewasa di Inggris telah menerima dosis lengkap vaksin (dua kali suntik). Serta sekitar 86% mulai vaksinasi dosis pertama. Tetapi ancang-ancang pemerintah Inggris masih dikritisi keras partai oposisi. Ancang-ancang yang sama juga dilakukan pemerintah Italia, Spanyol, dan Perancis. Tetapi masih harus disertai evaluasi yang cermat.

Kebijakan boleh “lepas masker” bukan hanya di Eropa. Melainkan juga di Amerika Serikat (AS). Mengutip Khaleej Times, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, telah mengumumkan mencabut aturan memakai marker. Syaratnya, sudah divaksin dosis lengkap. Bisa bebas bekerja di dalam dan di luar ruang, dalam skala besar, bisa tanpa memakai masker atau jaga jarak fisik. Padahal sebelumnya, AS menjadi salahsatu negara dengan korban jiwa paling besar. Lebih dari 525 ribu jiwa.

Vaksinasi dan Obat

Pelonggaran pembatasan sosial diumumkan setelah sekitar 120 juta orang dewasa (sekitar 40% total populasi orang dewasa) telah menerima vaksinasi. Warga AS menerima vaksin dalam negeri (AS) merek Moderna, dan Pfizer, serta vaksin dosis tunggal Johnson & Johnson. Awal Juli lalu pemerintah AS juga berkomitmen akan mendonasikan 4 juta dosis Moderna kepada Indonesia. AS telah dilanda “badai” CoViD-19 pada bulan November tahun (2020) lalu. Sampai melampaui 11 juta kasus, terbanyak di dunia.

Di Asia, Korea Selatan memulai trial boleh “lepas masker” di luar ruang. Warga negara Korea Selatan (Korsel) boleh berjalan kaki di kota tanpa masker. Syaratnya, harus bisa menunjukkan sertifikat vaksinasi dosis pertama. Sekitar 70% warga Korsel telah di-vaksinasi dosis suntikan pertama. Namun terdapat pula negara yang kembali mengetatkan protokol kesehatan (Prokes). Misalnya Australia, dan Malaysia. Ibukota India, New Delhi, bahkan bagai mengalami badai “tsunami” pandemi.

Singapura (negeri secuil) memiliki paradigma beda tentang CoViD-19, disosialisasikan luas, bagai kampanye membangun “cara lain” herd immnuity. Yakni, menganggap CoViD-19 seperti endemi penyakit lain. Dianggap seperti flu biasa. Kadang kambuh. Harus segera diobati. Vaksin menjadi keniscayaan, dan kerutinan. Warga Singapura dikenal disiplin mengenakan masker, dan jaga jarak antar-orang dalam antrean. Kini mulai membuka diri untuk penerbangan internasional. Sekaligus memanggil kembali pekerja asing (asisten rumahtangga, sopir, dan pekerja konstruksi).

Tetapi warga AS, dan Inggris, memiliki alasan, selain keyakinan terhadap vaksin. Di AS telah masif di-informasikan tentang obat (pembilas) kumur bisa mengurangi virus di mulut. Biasanya (janji dalam iklan) pembilas kumur efektif mengatasi bau mulut dan plak, sampai 99,9%. Konon terdapat penelitian di Penn State College of Medicine AS, yang hasilnya diterbitkan dalam Journal of Medical Virology. Obat kumur yang mengandung cetyl pyridinium chloride (CPC) efektif me-nonaktif-kan 99,9% virus SARS-CoV-2.

Obat kumur dengan senyawa per-oksida, laris diburu di seantero Amerika, terutama di negara bagian Pennsylvania (sekaligus kam Pennung halaman Joe Biden). Suasana di AS telah berubah, kini dilaporkan hanya sebanyak 300-an kasus CoViD-19 baru per-hari. Masyarakat AS meng-anggap presiden Joe Biden, sukses dalam 100 hari pertama. Terutama menangangi pandemi CoViD-19. Namun kalangan oposisi (Partai Republik), menganggap gegabah dengan kebijakan lepas masker.

Obat Mudah Meriah

Publik Inggris juga memiliki “kepercayaan” besar menghadapi CoViD-19, dengan cara sederhana. Yakni, obat cacing ivermectin 12 mg, yang telah dikenal di seluruh dunia. University of Oxford telah memulai uji klinis. Berdasar kebiasaan, manakala University of Oxford telah memulai uji klinis, berarti hasil ujinya sekadar menunggu faktualisasi. Sesungguhnya, penelitian ilmiah (di dalam laboratorium) sudah selesai, dengan hasil yang baik. Menunggu hasil efikasi yang lebih tinggi. Bisa memetik manfaat lebih besar.

Di Indonesia, Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan) juga memulai uji klinis di 8 rumah sakit. Obat cacing ivermectin, yang diproduksi BUMN akan diproduksi lebih masal sebanyak 4 juta kaplet per-bulan. Harganya sangat murah, Rp 5 ribu per-kaplet. Tetapi saat ini langka, dan sangat mahal. Diperkirakan pada bulan Agustus tahun (2021) ini telah tersedia di seluruh toko obat sebanyak 5 juta kaplet di seluruh Indonesia. Pengharapan segera “merdeka” dari pandemi kini semakin lempang.

Tetapi penanganan pandemi di tanah air masih menyimpan problematika klasik, tentang bantuan (Bansos) yang tidak tepat sasaran. Masih harus disesuaikan dengan amanat UU Nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pada pasal 26 ayat (2), menyatakan, “Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar.” Bahkan pada 69 ayat (2), korban yang kehilangan mata pencarian dapat diberi pinjaman lunak usaha produktif.

UU Nomor 9 Tahun 2020 tentang APBN tahun 2021 memprioritaskan program pengobatan dan vaksinasi. Dosis lengkap telah diberikan kepada 15 juta rakyat. Serta 36 juta suntik dosis pertama. Masih tersisa sekitar 55 juta dosis, karena Indonesia sudah mendapatkan sekitar 120 juta dosis. Jumlah tersebut diperoleh dari berbagai kerjasama bilateral dan multilateral dengan berbagai negara. Pemerintah ingin mempercepat vaksinasi sebanyak 2 juta suntikan per-hari. Termasuk memperluas target sasaran anak remaja (usia 12 hingga 18 tahun).

Walau terdapat 21 juta penerima yang harus dihapus, Bansos menjadi prioritas kedua berupa perlindungan sosial untuk akselerasi pemulihan. Antara lain Bansos Kartu Sembako, PKH (Program Keluarga Harapan), dan Bansos Pra-kerja. Dukungan program perluasan akses modal UMKM melalui subsidi bunga KUR (kredit usaha rakyat). Seluruhnya memerlukan validasi data penerima manfaat, yang berhak berbasis data tingkat kampung hingga tingkat Kabupaten dan Kota.

Tetapi masih banyak pemerintah daerah (propinsi serta kabupaten dan kota) belum memahami benar “bagi tugas” Bansos. Padahal sudah sangat banyak rumah tangga yang semula tidak tergolong miskin, menjadi benar-benar miskin. Di daerah, setiap APBD (Propinsi, serta Kabupaten dan Kota) juga diakselerasi dengan cara refocusing. Lazimnya (dalam kepantasan nominal) sebesar 6,6% nilai total APBD.

Aparat pengurus kampung seyogianya lebih waspada (jujur) dalam pendataan keluarga miskin, dan warga terdampak. Tidak mengutamakan sanak keluarga RT, RW, dan Kepala Desa, yang tidak berhak. Pemilihan pemberian bansos yang tidak cermat bisa menimbulkan kegaduhan sosial.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: