Mem-bumi-kan Pancasila Lintas Generasi

Seluruh Kebijakan Harus Ada “Rasa” Ideologi Pancasila — sub
Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior, Penggiat Dakwah Sosial Politik
“Wong salah ora gelem ngaku salah // Suwe-suwe sopo wonge sing betah // Mripatku uwis ngerti sak nyatane // Kowe selak golek menangmu dewe //
Tak tandur pari jebul tukule malah suket teki // … .”
(Orang bersalah, tidak mau mengaku kesalahan // Lama Kelamaan siapa orang yang betah // Mataku telah mengerti yang sebenarnya // Kau pungkiri mencari menang sendiri // Kutanam padi ternyata tumbuh malah rumput teki //
(Syair lagu “Suket Teki,” karya Didi Kempot.
Falsafah dasar negara Pancasila masih perlu penguatan pemahaman melalui berbagai cara, menjadi termasuk melalui seni dan budaya. Setiap lagu (dan langgam daerah) bisa menjadi media titipan pesan Pancasila. Walau bisa jadi, isi lagu pesan Pancasila akan terasa “menyindir” banyak pejabat tinggi (dan daerah). Begitu pula perilaku penegak hukum, politisi (kalangan legislatif), sampai konglomerat, akan “dikoreksi” melalui lagu Pancasila.
Me-masyarakat-kan pesan moral, dan dakwah agama melalui seni budaya, sudah menjadi kelaziman sejak lama. Pada dekade akhir abad ke-15, Sunan Kalijaga telah menggunakan seni ukir, musik gamelan, dan suluk (sastra tuturan Jawa) sebagai media dakwah agama. Beberapa tembang suluk yang diciptakan Sunan Kalijaga, masih populer hingga kini. Misalnya “Ilir-ilir,” dan “Gundul-Gundul Pacul.”
Sunan Kalijaga juga menciptakan lakon carangan (penulisan cerita pewayangan) di luar pakem kisah Ramayana, dan kisah Mahabharata. Carangan paling populer hingga saat ini, adalah lakon Petruk Dadi Ratu, dan Layang Kalimasada. Lakon Petruk Dadi Ratu, merupakan gambaran, manakala masyarakat awam (rakyat biasa) menjadi penguasa negeri. Terdapat sindiran, dan pesan pesan paradigma kerakyatan, sampai futuristik demokrasi (prinsip kedaulatan rakyat).
Kesetaraan, dan keadilan sosial menjadi pesan utama carangan lakon Petruk Dadi Ratu. Bahkan Sunan Kalijaga menciptakan kostum pakaian adat (baju takwa, koko) yang sama, tidak membedakan model fashion antara rakyat dengan pejabat. Juga digagas Gerebek Maulud, kewajiban kalangan keraton (keluarga raja) menyediakan jamuan pesta yang dinikmati bersama rakyat. Juga diciptakan lanskap alun-alun, persis di depan keraton sebagai pusat kegiatan rakyat. Sehingga mempererat hubungan antara rakyat dengan penguasa.
Kecerdasan Sunan Kalijaga menggunakan media seni budaya, tak lepas dari pengajaran gurunya, Sunan Bonang. Selain dikenal sebagai ahli hukum agama, juga dikenal sebagai arsitektur, dan ahli bangunan ke-sipil-an. Termasuk membuat kanal sungai Kali Brantas. Sebagai sasterawan, Sunan Bonang dikenal memiliki prestasi luhur, tulisannya masyhur. Meliputi kitab ke-agama-an (sufi), serta sastra berbahasa Jawa huruf pegon (huruf Arab berbahasa Jawa), dan bertuliskan huruf Jawa.
Bahkan pakar sastra Belanda (G.W.J. Drewes) pernah meng-klaim karya Sunan Bonang sebagai karyanya. Tetapi klaim digugurkan oleh pakar lain, dengan menyebut Het Boek van Bonang. Karya sastra Sunan Bonang, yang kesohor, adalah tembang Tamba Ati. Hingga kini penyanyi lagu relijius, Opick, sukses mempopulerkan lagu Tamba Ati. Begitu juga karya sastra berupa suluk (sastra berisi tamsil, dan dialog Ketuhanan).
Kesenian Pesan Moral
Salahsatu karya satra Sunan Bonang yang terkenal, adalah suluk Wujil. Berisi dialog ketuhanan antara murid (bernama Wujil) dengan gurunya. Isi suluk Wujil : “Hih ra Wujil marmane wong sirik // kufur kinufuraken ing lafal // agung-gungan sa-elmune // pijet pinijet iku // aksarane asru den pidi // sawusing asembayang magerib punika // rame samya kabarangan // awekasan malik kebyok lan kulambi // dhastar akuleweran //.”
Pupuh (bait) ke-41 suluk Wujil, dalam bahasa Indonesia berpesan, “Maka perhatikan Wujil, bahwa perilaku yang tergolong sirik // adalah saling meng-kafir-kan sesama // meng-anggap dirinya paling benar // orang lain harus mengikuti // Selalu hanya berpegang pada yang tekstual // Setelah salat maghrib suka bertengkar mulut // Akhirnya saling pukul dengan baju // Ikat kepalanya dilepas //.” Sindiran dalam suluk Wuji, bagai terasa saat ini, berkait dengan radikalisme dakwah olok-olok.
Pesan moral, berupa kesetiakawanan sosial, dan hubungan antara rakyat dengan pemerintah, tertanam sebagai budaya. Mem-bumi sebagai kebiasaan perilaku sehari-hari. Prinsip Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan, menjadi budaya ideologi. Bermuara menjadi hukum adat seluruh lapisan, yang harus dipatuhi oleh rakyat dan penguasa. Yang melanggar hukum adat akan memperoleh sanksi, setidaknya berupa pengucilan sosial.
Tak terkecuali kalangan penguasa yang zalim akan memperoleh perlawanan bersama. Setidaknya diawali melalui nasihat kerabat kerajaan. Sampai berujung pemakzulan tahta. Sudah banyak raja, adipati, dan pangeran, kehilangan status kepangkatan (dan penghormatan sosial) karena ke-zalim-an yang dilaporkan oleh rakyat. Antara lain Raja Mataram, Amangkurat I (anak Sultan Agung) yang melarikan diri, sampai wafat di pengasingan.
Karya sastra yang cemerlang telah menjadi advokasi hukum adat. Sehingga benar, Pancasila sebenarnya digali dari adat budaya bangsa Indonesia. Adat budaya yang bersendi ajaran agama. Pesan moral melalui seni budaya terus dikumandangkan. Seperti syair lagu yang digubah Iwan Fals. “Manusia Setengah Dewa.” Bait-baitnya bagai necara yang menimbang perilaku pejabat dengan bandul Pancasila.
Indonesia memiliki banyak penyanyi yang kondang hingga manca negara, berkelas dunia. Sering diundang komunitas Indonesia di berbagai negara, serta panggung resmi oleh Kedutaan Besar Indonesia. Salahsatunya, yang sedang sibuk panggung, adalah Didi Kempot. Lagunya yang berjudul “Suket Teki,” menjadi booming. Dinyanyikan jutaan orang di cafe, di rumah karaoke, di hotel, di panggung hiburan, sampai di panggung hajatan.
Lagu Ber-Pancasila
Sejak lama, lagu daerah bisa menjadi titipan pesan pemahaman budaya Pancasila. Sejak lama, berbagai daerah memiliki lagu bernuansa cinta tanah air, dan syair falsafah Pancasila. Seni suara, perfilman, dan ajang olahraga bisa menjadi media efektif memahamkan nilai-nilai kemanusiaan dalam sengitnya persaingan. Termasuk pemahaman Pancasila, dengan “frame” ke-kini-an. Diantaranya narasi komentar melalui media sosial (medsos).
Seluruh pejabat tinggi, seyogianya aktif bernarasi dalam berbagai medsos (Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp, Line, dan Snapchat). Juga YouTube, Iflix, dan Hooq.Seluruh medsos bisa digunakan sebagai media ber-Pancasila. Karena sesungguhnya ke-final-an Pancasila sebagai dasar negara mudah dipahami lintas generasi. Telah menjadi kebutuhan setiap masyarakat Indonesia yang majemuk.
Pancasila tercantum dalam mukadimah UUD 1945 alenia keempat. Bagai satu kesatuan tak terpisahkan dengan alenia ketiga tentang proklamasi Kemerdekaa RI. Wakil Presiden KH Ma’ruf Amin, memberi penegasan khusus Pancasila, sebagai ittifaaqat akhawiyyah (permufakatan persaudaraan) antar-rakyat. Sekaligus ittifaaqat wathaniyah (permufakatan kenegaraan). Sehingga berbagai upaya mengubah filosofi dasar negara, niscaya tertolak secara langsung, seketika.
Pemahaman Ke-pancasila-an menjadi kerangka berpikir masyarakat, dan seluruh aparat pemerintah. Masyarakat ber-Pancasila sebagai partisipasi sosial. Sedangkan pemerintah berkewajiban menerbitkan dan melaksanakan peraturan ber-basis Pancasila. Terutama pada asas sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Serta sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Maka seluruh produk kebijakan pemerintah wajib “berasa” Pancasila.
Seluruh regulasi (undang-undang dan peraturan), sampai Peraturan Daerah, Presiden (Perpres), Peraturan Menteri, wajib ditimbang dengan asas Pancasila. Begitu pula Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati (Perbup), dan Peraturan Walikota (Perwali) wajib ada rasa Pancasila. Terutama kebijakan urusan tanah, kemudahan akses permodalan, serta perlindungan usaha mikro, dan kecil (UMK), tidak dibiarkan bersaing dengan holding company (perusahaan skala besar).
Seluruh aparat pemerintah wajib menjunjung tinggi falsafah Pancasila. Tiada lagi intimidasi tentara, polisi, dan penegak hukumlain yang meng-intimidasi masyarakat. Kebijakan “rasa” Pancasila, niscaya meng-haram-kan suasana permusuhan antara aparat dengan masyarakat. Misalnya berupa pengusiran warga dari tanah adat, pembongkaran lapak pedagang, dan membongkar pasar tradisional.
Pemerintah (dan daerah) wajib memberi solusi kendala pencarian nafkah masyarakat dengan menyokong roda perekonomian kalangan bawah. Pengharapan masyarakat, seperti syair lagu yang digubah Iwan Fals, “Tegakkan hukum setegak-tegaknya // Adil dan tegas tak pandang bulu // Pasti kuangkat engkau // Menjadi manusia setengah dewa … .”
——— 000 ———

Tags: