Memahami Bahasa dan Kekuasaan

Oleh :
Iradhad Taqwa Sihidi
Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammdiyah Malang (UMM) – Malang

Dunia politik elektoral Indonesia itu memang riuh dengan beragam hal. Salah satu poin penting yang menarik untuk dilihat adalah penggunaan bahasa metafor bernada sarkastik sebagai senjata untuk saling menyerang. Istilah sentoloyo dan genderuwo adalah pertanda bahwa bahasa berfungsi strategis dalam memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Nyatanya, bahasa menjadi strategi politik cukup efektif dalam proses pemenangan pemilu.
Dalam konteks politik, bahasa bertindak multifungsi sehingga kerapkali digunakan oleh aktor politik dalam berkompetisi. Selain untuk menyampaikan ke publik soal gagasan kebijakan yang akan dilakukan jika terpilih bahasa juga kerap digunakan untuk mendiskreditkan lawan politik secara sistematis dan masif. Inilah mengapa bahasa dikategorikan sebagai medium yang tidak netral sebab selalu ada kepentingan politik yang terkandung didalamnya.
Bahasa yang efektif memang mempermudah seseorang untuk meraih kekuasaan, memperoleh legitimasi dan dalam tahap yang ekstrim menciptakan dominasi dan hegemoni. Bahasa pula penting untuk menciptakan kepatuhan pada pengikut dan pada saat yang sama mendeligitmasi musuh politiknya. Pada titik ini bahasa merupakan manifestasi lain dari kekuasaan yang bersifat simbolik.
Dalam sejarah kekuasaan Indonesia, Orde Baru merupakan contoh sempurna bagaimana bahasa menjadi medium yang mewakili kepentingan dominan dan berkuasa untuk mempertahankan status quo. Orde Baru berhasil meredam perlawanan-perlawanan kaum oposan misalnya dengan menyebut mereka sebagai pengikut komunis dan anti pancasila. Narasi tersebut digunakan untuk memberikan legitimasi kepada aparat dalam melakukan tindakan pembubaran dan penangkapan serta menghancurkan reputasi mereka dimasyarakat. Dengan menghadirkan ketakutan akan kebangkitan komunis, orde baru berhasil meyakinkan masyarakat untuk mendukung segala langkah represif yang dilakukan negara. Teknik seperti ini dillukan secara berkesinambungan dan turut berkontribusi pada mandeknya gerakan perlawanan pada rezim Orde Baru. Disamping itu penyematan gerakan komunis dan anti pancasila ternyata ampuh dalam memperkuat posisi politik pemerintah di masyarakat sebab dianggap responsif dalam mempertahankan ideologi negara. Kesimpulanya, bahasa kerap menjadi representasi simbolik kepentingan kekuasaan sehingga menjadi tidak bebas nilai dan disampaikan untuk mengamankan kekuasaan.
Fenomena serupa juga terjadi diberbagai belahan dunia. Cara Trump di Pemilu Amerika Serikat 2016 untuk menang dengan retorika penuh rasis dan kebencian pada imigran yang identik dengan Islam serta Bolsonaro di Brazil yang memproduksi isu anti komunis untuk mendulang suara khususnya pada kaum swing voters adalah bukti bahasa sangat efektif mendongrak popularitas dan berkontribusi besar bagi keterpilihan seorang kandidat politik. Keduanya berhasil menujukan bahwa bahasa menjadi instrumen kekuasaan yang tidak boleh disepelekan.
Pemilu di Indonesia
Dalam konteks politik Indonesia saat ini, keadaan serupa bisa kita jumpai dalam penggunaan diksi genderuwo dan sontoloyo yang cukup menyita perhatian publik. Istilah negatif dan menyeramkan tersebut bisa dimaknai sebagai representasi strategi simbolik Jokowi dalam menghadapi Pemilu 2019. Genderuwo adalah sosok mahluk halus yang menyeramkan dengan menebarkan ketakutan di masyarakat. Sedangkan sontoloyo merujuk pada peranggai manusia yang tidak cerdas dan konyol.
Jika dikonteksualisasikan dalam kehidupan politik, genderuwo digunakan jokowi untuk menyentil perilaku aktor politik yang gemar memperagakan propaganda pesimisme dan ketakutan untuk meraih simpati masyarakat. Adapun Sontoloyo merujuk pada upaya politisi dalam meraih kekuasaan dengan cara mengadu domba dan fitnah. Kedua sikap tersebut minim etika dan sopan santun sebab tidak berlandaskan data dan fakta serta disampaikan lewat retorika yang sporadis sehingga justru menimbulkan konflik.
Ungkapan dengan retorika ofensif seperti ini bisa dibaca dua hal. Pertama, sikap kejengahan Jokowi terhadap serangan bertubi-tubi pada dirinya yang belakangan makin gencar dan cenderung kebablasan. Jokowi kesal melihat program-program populis yang diklaim pro kesejahteraan justru tidak diapresiasi secara positif oleh lawan politiknya. Jokowi protes pada model kampanye politik politisi diseberang kelompoknya yang cenderung tidak beradab sebab kerapkali menyerang personal dirinya dengan kebohongan; PKI, anti islam dan pro China. Meskipun reaksi emosional seperti ini diluar kebiasaan Jokowi yang terkesan santun dalam berkomunikasi di ruang publik, namun ini menjadi lumrah disampaikan oleh seorang pemimpin yang mungkin saja saat itu kehilangan kontrol diri dan kesabaran dalam merespon tudingan negatif pada dirinya.
Kedua, bahasa genderuwo dan sontoloyo jelas bukan semata-mata sekedar ungkapan kekesalan Jokowi pada lawan politiknya. Ada relasi kekuasaan yang beroperasi melalui pesan bahasa tersebut. Jokowi berusaha melakukan serangan balik guna merusak reputasi lawan politiknya di hadapan publik. Jokowi paham bawah sontoloyo dan genderuwo dua hal yang tidak disukai oleh masyarakat/publik Indonesia. Dengan mengasosiasikan lawan politiknya dengan istilah tersebut Jokowi berusaha membangun ketakutan mengenai masa depan Indonesia jika mereka terpilih dengan menghalakan segala cara. Jokowi berusaha mengontrol dan mengendalikan persepsi publik dengan menyebut teknik politik mereka tidak bermoral sebab itu tidak layak untuk dipilih. Tujuanya adalah memberikan kesan buruk pada aktivitas politik lawan politiknya sehingga masyarakat kehilangan respek dan dukungan.
Pada akhirnya, saat ini kompetisi politik kita memang belum sepenuhnya menghadirkan pendidikan politik yang santun dan layak diteladani masyarakat. Dalam kurun waktu dua bulan ini, aktvitas kampanye politik yang terjadi didominasi oleh narasi-narasi yang tidak mendidik dan jauh dari keadaban. Bahasa yang idealnya menjadi jembatan ide solutif antara calon pemimpin dan masyarakat justru terputus berubah menjadi upaya saling menghujat dan menyerang. Bahasa politik ternyata justru memperdalam sentimen kelompok dan polarisasi ditengah masyaraka. Ini jelas menjadi alarm bahaya bagi ikatan kemajemukan bangsa.
Publik idealnya mengambil peran aktif – terus mendorong elit politik untuk menggunakan bahasa politik yang beradab. Mereka dituntut wajib memberikan gagasan yang solutif dalam menyelesaikan segudang problematika dasar masyarakat; kemiskinan, ketimpangan, kesehatan dan pengangguran. Mereka juga dituntut berkomunikasi politik dengan data dan fakta sehingga bahasa-bahasa yang berpotensi menimbulkan perpecahan bisa diminimalisir. Semoga elit politik kita segera berbenah.

———- *** ———-

Rate this article!
Tags: