Memahami dan Menanggulangi Terorisme

Judul Buku  : Memahami Terorisme; Sejarah, Konsep, dan Model
Editor    : Jajang Jahroni dan Jamhari Makruf
Penerbit    : Kencana Bekerja sama PPIM UIN Jakarta
Cetakan    : I, Desember 2016
Tebal    : 183 halaman
ISBN    : 978-602-422-043-3
Peresensi    : Ahmad Fatoni
Pengajar PBA Fakultas Agama Islam UMM

Saat mendengar istilah “terorisme” banyak orang yang langsung mengaitkannya dengan agama Islam. Padahal fenomena terorisme bukanlah monopoli satu agama atau bangsa tertentu. Bahkan tindakan terorisme yang mengatasnamakan suatu agama tidak serta merta ia sepenuhnya muncul karena ajaran agama tersebut.
Dalam konteks buku ini, terorisme muncul lebih karena faktor-faktor struktural yang melingkupi suatu komunitas, ketimbang tafsir tertentu atas ajaran agama. Kendati demikian, pada gilirannya nanti tafsir tersebut diperalat untuk melegitimasi gerakan teror yang dilakukan. Pada titik inilah orang sering mengambil kesimpulan ceroboh bahwa tindak terorisme lahir karena paham agama.
Terorisme sesungguhnya fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti, mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud menyebarkan rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai “terorisme”.
Mengutip Bassiouni, seorang ahli hukum internasional, terorisme adalah: “Tindakan kekerasan yang secara internasional terlarang di mana tindakan ini dilandasi motivasi ideologi untuk menciptakan rasa teror pada seluruh atau sebagian masyarakat dalam rangka mendapatkan kekuatan atau propaganda atau kerugian, terlepas apakah pelaku bertindak untuk dan atas nama pribadi atau negara.” (hal.xvi).
Sebagai fenomena global yang mengancam tatanan dunia, semua negara turut dalam barisan menolak terorisme. Terorisme tidak saja telah mengancam perdamaian dunia, terutama kaamanan, tetapi juga dapat menghancurkan dimensi ekonomi, sosial dan masa depan pemerintahan sebuah negara. Negara-negara yang tidak dapat menyelesaikan masalah terorisme secara efektif akan dicap sebagai ‘negara gagal’, negara yang tidak mampu memanfaatkan otoritas yang dimilikinya.
Pada sisi lain, kampanye global melawan terorisme yang dipimpin oleh Amerika Serikat justru meletakkan negara-negara di dunia ke dalam dua kubu yang cenderung bertentangan satu sama lain: either you are with us, or against us. Pengkubuan ini jelas kian memperkeruh suasana sebab tindak pencegahan terorisme senyatanya diupayakan oleh setiap negara demi melindungi warganya terlepas apakah mereka masuk dalam kubu Amerika Serikat atau tidak.
Secara garis besar buku hasil karya para peneliti UIN Jakarta ini terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, memaparkan konsep-konsep dasar terorisme. Beberapa hal seperti motif pelaku terorisme, siapa sasarannya, hingga bagaimana terorisme muncul dalam lintasan sejarah dibahas tuntas dalam bagian ini. Bagian kedua, mengurai konsep-konsep pencegahan dan pemberantasan terorisme, baik yang terjadi di dunia nyata maupun dunia virtual.
Sebagai bagian dari fenomena sosial, terorisme kini berkembang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Cara-cara yang digunakan untuk melakukan kekerasan dan ketakutan juga semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi modern. Proses globalisasi dan budaya massa menjadi lahan subur pertumbuhan terorisme.
Karena itu, pada Bab “Terorisme dan Dunia Virtual” dalam buku ini dijelaskan bagaimana cara-cara penanganan digital jika menemukan tindakan terorisme di ruang virtual. Terorisme yang menggunakan internet umumnya memiliki banyak anggota yang tersebar di seluruh dunia. Bahkan, bila diumpamakan sebagai franchise, kelompok terorisme di dunia maya mempunyai banyak cabang (hal.134).
Beberapa contoh kelompok terorisme siber adalah kelompok yang berhasil meretas database milik pemerintah, menyebar virus komputer yang mematikan maupun melakukan spam flooding. Berdasarkan sebuah laporan, misalnya, para peretas memodifikasi para pasien di database sebuah rumah sakit yang menyebabkan jatuhnya banyak korban jiwa karena salah menerima golongan darah saat dilakukan transfusi darah.
Para teroris yang mengunakan internet telah memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi ini sebagai corong baru untuk menyebarkan ketakutan atau propaganda. Dengan kecepatan penyebaran informasi yang disediakan internet, mereka berharap agar dunia internasional bingung dan mau menuruti ambisi mereka.
Tentu, segala jenis tindakan terorisme tidak dapat dibenarkan, baik di dunia nyata maupun di dunia virtual. Negaralah yang paling bertanggung jawab dalam membendung kejahatan terorisme. Namun, selain negara, partisipasi masyarakat pun penting dalam proyek penanggulangan tindak kejahatan terorisme demi terwujudnya perdamaian dunia.
————– *** ————–

Rate this article!
Tags: