Memahami Karakteristik Bencana Banjir

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
Tak dinyana, tak disangka di awal pesta tahun baru 2020 seketika berubah menjadi duka saudara-saudara kita di wilayah Jabodetabek dimana terjadi bencana banjir berkala besar melanda. Malam tahun baru 2020 menjadi catatan sejarah kelam bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, tercatat yang terbesar sejak 2007 tahun lalu. Musim hujan memang identik dengan potensi banjir, asumsi tersebut kian nyata ketika awal memasuki musim hujan tiba. Fenomena banjir awal tahun baru tersebut mirip seperti miniatur tsunami yang meluluhlantakan harta benda, bahkan setidaknya sejumlah 53 orang mengalami korban jiwa dengan berbagai penyebab serta hampir 300 ribu jiwa harus menjadi korban dan diantaranya mengungsi ke lokasi yang aman. Kondisi ini kian mempertegas bahwa negeri ini memang rawan bencana. Hal ini harus menjadi perhatian serius pemerintah pusat, daerah dan berbagai lintas sektor untuk berkolaborasi dan bersinergi khususnya wilayah-wilayah yang tergolong rawan bencana. Salah satu provinsi yang masuk peta rawan bencana khususnya banjir adalah Jawa Timur, terutama sepanjang bantaran sungai-sungai besar atau Daerah Aliran Sungai seperti Ngawi, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Gresik serta wilayah mataraman dan sekitaran wilayah tapal kuda.
Wilayah dengan topografi dataran rendah menjadi “sasaran” banjir, meski secara karakteristik daerah dengan kontur rendah pada umumnya hanya menjadi tumbal wilayah lain yang memiliki geografis lebih tinggi. Kedepan resiko wilayah-wilayah langganan banjir tiap tahun kian meluas akibat kepadatan penduduk, resapan air yang terus tergerus, pengembangan wilayah pemukiman yang masif, penataan kota yang masih belum sepenuhnya mempertimbangkan kaidah-kaidah ekologis serta tumpang tindih kebijakan pengelolaan banjir dalam bentuk missmatch kebijakan seperti normalisasi, naturalisasi apapun namanya entoh juga masyarakat akhirnya yang menjadi korban. Selain itu faktor global juga memberikan berimplikasi besaran dampak banjir seperti efek rumah kaca yang mengakibatkan peningkatan ketinggian air laut sehingga aliran sungai sulit dialirkan ke muara (laut). Sebenarnya bencana banjir memiliki karakteristik yang berbeda dengan bencana lain seperti gempa bumi, tsunami maupun angin puting beliung.
Banjir pada umumnya lebih tepat disebut sebagai bencana lingkungan bukan bencana alam, mengapa? Karena hampir dapat dipastikan merupakan ulah manusia (man made) dari segala bentuk dan motifnya sehingga dapat diprediksi terjadinya yang pada akhirnyan dapat dikendalikan dan meminimalisir dampak dan akibatnya. Modernisasi jaman atas nama pembangunan setidaknya juga diimbangi membangun kesadaran kearifan ekologis atau pada jaman orde baru lebih dikenal dengan pembangunan berwawasan lingkungan. Pendek kata bencana banjir dapat dikelola sehingga tindakan antisipatif dan mitigasi bencana tidak sulit dijalankan. Memang butuh upaya (effort) lebih terutama bagi masyarakat yang rentan terjadi banjir untuk memahami bahaya banjir, namun pada saat yang sama masyarakat juga dilatih sebagai masyarakat yang tangguh bencana. Manajemen mitigasi bencana kini mendesak dibutuhkan di semua wilayah Indonesia, bukan sekedar wacana teoritis dan hanya berlaku di daerah-daerah tertentu saja. Mitigasi bencana adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Oleh karena bentuk ancaman bencana berbeda-beda dan spesifik sehingga diperlukan langkah yang antisipatif sesuai dengan karakteristik jenis bencana. Sifat bencana yang bersifat massal maka upaya meminimalisasi korban tentu menjadi prioritas dalam penanganan suatu bencana.
Dampak Kesehatan
Salah satu dampak yang acapkali mumcul akibat banjir adalah dampak kesehatan baik bersifat fisik maupun psikis. Dampak fisik relatif lebih mudah dideteksi dan diintervensi seperti gangguan berbagai penyakit kulit (skabies atau kudis, ruam pada kulit, kutu air dan lain-lain), leptospirosis (kencing tikus), tersengat listrik hingga resiko terjadinya hipotermia (paparan suhu dingin dalam waktu yang lama) dimana berkaitan langsung dengan daya imunitas tubuh terutama pada kelompok rentan seperti lansia, bayi dan anak-anak. Sedangkan dampak psikis yang timbul biasanya berupa masalah kesehatan sosial dan mental yang substansial hal ini terjadi karena banjir menimbulkan penderitaan bagi para korban terutama saat bencananya langsung, di pengungsian maupun pasca bencana. Oleh karena itu dibutuhkan pertolongan psikologis pertama atau psychological fisrt aid bagi mereka yang terdampak bencana.
Beberapa bentuk pertolongan psikologis antara lain pertama, restore safety yakni membawa ke tempat yang aman dan nyaman untuk mengungsi dan melakukan evakuasi yang aman serta disertai pemenuhan kebutuhan dasar seperti makanan, minuman, pakaian pengganti dan MCK. Kedua, facilitate function yakni upaya memberikan rasa nyaman selama mengungsi dengan berbagai aktivitas yang menyenangkan agar tidak terjadi kebosanan dengan memberikan interaksi positif, dukungan sosial guna menimalisir tekanan psikologis yang berlanjut serta bentuk pemulihan, rehabilitasi sosial hingga penanganan psikologis korban trauma healing terutama kelompok balita dan anak-anak. Ketiga, empower action yaitu mengajarkan perilaku hidup sehat selama di pengungsian, mengidentifikasi kehilangan produktivitas seseorang dengan memberikan alternatif-alternatif yang memungkinkan mereka kembali beraktivitas pasca bencana.
Selain itu sangat mendesak untuk dilakukan pendidikan bencana menjadi suatu yang mutlak dilakukan dan diterapkan sejak dini. Di sini peran sekolah menjadi titik awal pendidikan kebencanaan (disaster education ) dalam upaya memberikan pengetahuan dan pemahaman sejak dini termasuk simulasi bencana, praktik evakuasi, penanganan psikis dan persiapan apa saja yang dibutuhkan bila bencana benar-benar terjadi. Pembelajaran berbasis kearifan lokal dapat dilaksanakan melalui pendekatan kurikulum pendidikan bencana dengan mengidentifikasi kearifan lokal dalam mitigasi bencana dan mengintegrasikan dalam pembelajaran. Sejak usia dini anak didekatkan dengan bencana dan menjaga serta memperlakukan lingkungan dengan baik, maka akan membentuk anak yang tangguh dalam menghadapi bencana dan mencintai lingkungan untuk kehidupan yang berkelanjutan. Semoga dengan basis karakter masyarakat yang tangguh menghadapi bencana setidaknya dapat mengambil langkah antisipatif dan penyadaran kolektif masyarakat.
———- *** ———–

Rate this article!
Tags: