Memahami Kutukan pada Penderita Kusta

Oleh :
Hafidh Maulana
Penulis adalah Pegawai Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur
Di tengah ancaman penularan Virus Corona, Indonesia masih memiliki “PR” yang belum lekas terselesaikan. Salah satunya adalah penyakit kusta yang masih menjadi beban yang sulit diatasi hingga saat ini.
Di tengah peringatan Hari Kusta Sedunia, jumlah kasus baru kusta di Indonesia pada tahun 2016 menduduki peringkat ke 3 setelah India dan Brazil. Diantara banyaknya jumlah kasus tersebut, Jawa Timur menyumbang 24% penderita kusta secara nasional pada kurun waktu 10 tahun terakhir.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama Pemerintah Kabupaten/Kota telah berupaya menurunkan prevalensi penderita kusta.
Prevalensi pada tahun 2019 sebesar 0,84 per 10.000 penduduk setelah sebelumnya pada tahun 2018 sebesar 0,92 per 10.000 penduduk. Namun, upaya tersebut masih belum merubah posisi Jawa Timur dari peringkat pertama jumlah penderita kusta di Indonesia. Sebenarnya apa yang membuat penyakit ini sulit untuk dikendalikan?
Terjadinya penyakit pada masyarakat akan lebih mudah kita pahami dengan pendekatan Teori Blum (1974). Terdapat 4 faktor yang memengaruhi antara lain faktor genetik, perilaku, lingkungan dan pelayanan kesehatan. Tanpa mengesampingkan faktor lain, lingkungan sosial masih menjadi masalah yang sulit diatasi. Stigma di lingkungan sosial terhadap penderita kusta menjadi penghambat upaya pemutusan rantai penularannya.
Stigma terhadap penderita dikarenakan adanya kepercayaan di sebagian masyarakat bahwa kusta adalah penyakit kutukan, tidak bisa disembuhkan dan sangat mudah menular. Hal tersebut membuat penderita yang memiliki gejala penyakit kusta akan malu dan enggan untuk segera berobat. Apalagi gejala penyakit kusta tidak membuat penderitanya kesakitan sehingga mereka merasa sedang “baik-baik saja”. Namun jika mereka tidak segera berobat, maka akan berpotensi menularkan penyakit kusta kepada orang di sekitarnya.
Anggapan bahwa penyakit kusta sangat mudah menular merupakan akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat mengenai penyakit kusta. Banyak masyarakat belum memahami fakta bahwa 95% manusia kebal terhadap penyakit tersebut. Hanya 5% manusia yang rentan terjangkit dan 70% diantaranya sembuh dengan sendirinya. Bahkan studi yang dilakukan di China pada tahun 2009 dan telah dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine menyatakan kusta lebih berhubungan dengan faktor keturunan. Hal tersebut didasarkan dari beberapa fakta sederhana yaitu suami atau istri yang menderita kusta tidak menularkan ke pasangannya meskipun sudah hidup bersama puluhan tahun. Terlepas dari pro dan kontra atas hasil penelitian tersebut, tidak ada alasan bagi masyarakat untuk menjauhi dan mengucilkan mereka yang menderita penyakit kusta.
Anggapan berikutnya adalah bahwa kusta tidak bisa disembuhkan. Anggapan ini terbentuk karena selama ini masyarakat melihat banyak penderita kusta yang cacat karena jari tangan/kakinya putus. Kecacatan yang terjadi pada 10% penderita kusta merupakan akibat dari keterlambatan mereka datang ke fasilitas pelayanan kesehatan untuk berobat.
Dengan kenyataan demikian, menghapus berbagai anggapan salah tentang penyakit kusta pada masyarakat merupakan pekerjaan terberat bagi petugas kesehatan. Hal tersebut sangat berhubungan dengan faktor budaya yang selama ini diakui selalu menjadi kendala dalam meningkatkan status derajat kesehatan masyarakat.
Partisipasi masyarakat
Tanpa peran serta masyarakat, sebesar apapun alokasi dana untuk mengendalikan penyakit kusta tidak akan banyak merubah keadaan. Penemuan kasus kusta sedini mungkin membutuhkan peran besar masyarakat. Laporan penemuan kasus tidak mungkin bisa dilakukan hanya oleh petugas kesehatan dengan segala keterbatasannya.
Konstibusi paling sederhana untuk menutupi keterbatasan petugas kesehatan adalah menghapus stigma terhadap penderita kusta. Justru yang seharusnya dilakukan adalah mendorong mereka untuk segera periksa ke fasilitas layanan kesehatan. Menghapus stigma terhadap penderita kusta, secara tidak langsung akan mendorong mereka untuk berobat dan terhindar dari kecacatan. Hal ini akan membentuk pemahaman baru di masyarakat bahwa ternyata kusta bisa disembuhkan.
Partisipasi berikutnya yang tidak kalah penting adalah segera melaporkan kepada puskesmas jika ada penderita yang diduga mengidap penyakit kusta. Seringkali seseorang yang memiliki tanda-tanda kusta tidak mau memeriksakan dirinya ke puskesmas.
Untuk itu, laporan dari masyarakat baik itu tetangga, keluarga atau kerabat penderita akan membuat petugas puskesmas melakukan “jemput bola” ke rumah terduga penderita kusta.
Pemahaman baru bahwa kusta bisa dicegah dan disembuhkan akan menjadi kunci memutus rantai penularan penyakit tersebut. Untuk itu, perlu upaya yang cukup intensif untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap penyakit kusta. Telah banyak sarana di era revolusi industri 4.0 yang bisa digunakan oleh petugas kesehatan dalam menyampaikan pesan-pesan untuk meningkatkan pengetahuan mereka. Hanya saja selama ini perlu ditinjau kembali apakah telah mampu meningkatkan pemahaman sekaligus menghapus anggapan-anggapan yang salah mengenai penyakit kusta. Disinilah pentingnya evaluasi sejauh mana efektivitas media dan pesan yang disampaikan kepada masyarakat.
Di awali dengan pemahaman yang benar, masyarakat diharapkan tidak lagi mengucilkan penderita kusta. Pemahaman yang benar tentang kusta akan mendorong masyarakat memberi dukungan sosial ke penderita kusta sehingga mereka mampu kembali meningkatkan kualitas hidupnya.
———- *** ———–

Rate this article!
Tags: