Memahami Pesan Implisit dari Sebuah Kematian

Judul : Melepaskan Belenggu
Penulis : Rumadi
Penerbit : Jagat Litera
Cetakan : Pertama, November 2021
Tebal : 184 halaman
ISBN : 978-623-9760-28-1
Peresensi : Dody Widianto
Pegiat literasi. Karyanya banyak tersebar di berbagai antologi penerbit dan media massa nasional seperti Koran Tempo, Suara Merdeka, Kompas.id, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos,

Membaca buku kumpulan cerpen “Melepaskan Belenggu” karya Rumadi ini, kita seolah langsung dibawa untuk memahami pesan implisit dari sebuah kematian. Tidak seperti kebanyakan cerita-cerita penulis lain yang menempatkan cerita kematian sebagai makna eksplisit yang gamblang, penulis buku ini justru berhasil membawa pembacanya untuk melepaskan belenggu dalam memaknai kematian secara dangkal. Membawa pembacanya untuk ikut lebih dalam, secara perlahan-lahan mengurai makna sebuah kematian yang disampaikan secara tersirat.

Kita sangat tahu, batas akhir dari kehidupan manusia di dunia adalah kematian. Atas dasar ide sebuah akhir perjalanan hidup manusia, Rumadi sang penulis buku ini seolah ingin menyampaikan ragam makna dari sebuah kata kematian. Penulis yang karyanya banyak tersebar di berbagai media nasional ini, salah satunya Republika, berhasil menuliskan delapan belas cerita pendek yang penuh pesan moral untuk pembaca.

Hampir semua bagian cerita dalam buku ini memaparkan dan memaknai sebuah kematian secara berbeda-beda. Penulis berusaha membangun kesan logis-realis-surealis dari setiap cerita yang ditulisnya, membuat buku ini berbeda dari kebanyakan. Dalam judul “Dengan Cara Apa Kau Harus Membayar Utang?”, ada kesan jelas jika kematian adalah takdir yang mutlak. Namun, penulis begitu lihai meninggalkan sebuah paradoks di dalamnya dari kalimat “Kau tidak ingin mengingkari kematian, hanya saja ada yang belum tuntas di atas sana, sehingga kau harus menuntaskannya meski kau telah mati.” (Hal. 11)

Yang lebih menarik lagi, ada beberapa cerita tentang tragedi pilu tahun 1965. Gambaran kisah pilu mantan pengikut organisasi terlarang ketika itu. Lagi-lagi, penulis tak ingin begitu saja menulis secara gamblang dan hambar sejarah kelam itu. Penulis mampu meracik setiap kata dan menghidupkan kesan surealis di dalamnya. Menuliskan analogi-analogi, lewat perumpamaan yang harus dicerna secara perlahan agar diterima logika. Dalam cerita “Lelaki dalam Pasung Semen” misalnya, ada pesan jika pengikut organisasi terlarang ketika itu tak pantas hidup di negeri ini, tokoh dipasung dalam semen, tetapi tokoh tak mati-mati. Menimbulkan kesan jika penulis ingin membuktikan ada hal lain yang tumbuh dan tak pernah lenyap dari sebuah dendam masa lalu.

Dari beragam pesan kematian yang hendak disampaikan penulis, ada beberapa pesan moral yang sengaja disisipkan untuk para pembaca. Agar kita tidak menilai orang hanya dari tampilan luarnya. Dalam cerpen “Pemanah” yang menceritakan ulang epos Mahabarata secara singkat misalnya, ada kalimat “Hendaknya kemampuan sesorang tidak dilihat dari kastanya. Siapa pun bisa menjadi kesatria.” (Hal. 87)

Pada akhirnya, penulis telah berhasil menyampaikan pesan implisit dari sebuah kematian, juga menggali lebih dalam makna dan hikmah sebuah kematian dari yang Maha Hidup. Setiap susunan kalimatnya diracik tidak sembarangan. Bahkan penulis begitu lihai membuat efek kejut dan dahi berkerut di setiap akhir cerita. Penulis begitu piawai dalam bermain kata dan analogi. Pantaslah jika penulis buku ini juga didaulat untuk memegang kursi redaktur media sastra daring Prosa Tujuh. Buku ini pun ditutup dengan cerita manis dari cerpen berjudul “Obsesi Kematian”, meninggalkan pesan kepada para pembaca bagaimana seharusnya kita mempersiapkan kematian dengan cara paling terpuji.

———– *** ————–

Tags: