Memajukan Kebudayaan Melalui Penguatan Sastra Anak

Oleh :
Hamidulloh Ibda
Ketua Program Studi PGMI STAINU Temanggung,
Pengurus Bidang Diklat dan Litbang LP Ma’arif PWNU Jawa Tengah

Salah satu indikator kemajuan kebudayaan suatu bangsa adalah masyarakat terutama para pelajar, anak mudanya mahir sastra, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa demikian? Selama ini anak-anak kita sudah jauh dari sastra, dan kehilangan bahasa santun dan estetik. Mereka justru dihadapkan produksi bahasa dan informasi hoaks, palsu, dan penuh ujaran kebencian. Bahasa mereka cenderung kasar, jauh dari tata krama, dan tak mengenal keindahan bahasa.
Era Revolusi Industri 4.0 menawarkan lifestyle (gaya hidup) pragmatis, hedonis, instan, serta konsumtif yang terbukti secara perlahan-lahan mereduksi kearifan budaya bangsa ini. Kearifan budaya dalam kebudayaan Indonesia tercermin dalam keberagaman bahasa, sastra, agama, suku, etnis, dan lainnya. Jika tantangan Revolusi Industri 4.0 dibiarkan dan tidak dapat dijadikan peluang, maka lambat laun peradaban kita pragmatis, instan, hoaks, bukan peradaban kebenaran, kebaikan, dan keindahan.
Thomas Lickona (1991) berpendapat ada 10 tanda kehancuran suatu bangsa, salah satunya penggunaan bahasa buruk dalam kehidupan. Penggunaan bahasa buruk lebih kental karena anak-anak menerima dan meniru bahasa buruk karena pembelajaran sastra belum maksimal dan hanya berorientasi pada apresiasi dan kritik sastra, bukan pada mencipta karya sastra. Akhirnya, mereka memahami kata hanya sebagai kata, padahal di dalam kata ada rasa, karsa, budaya, bahkan enigma yang wilayahnya tidak sekadar tekstual, namun juga kontekstual, dan intertektual.
Sebagai produk budaya, sastra anak menjadi urgen dikuatkan sejak dini, khususnya di jenjang SD/MI. Hal ini tentu sangat relevan sesuai amanat Kurikulum 2013 yang menganjurkan untuk melakukan proses pembelajaran berorientasi olah hati, olah pikir, olah raga, olah rasa dan karsa.
Sesuai Permendikbud Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan Pendidikan Dasar dan Menengah, pembelajaran kita tidak lagi berorientasi pada aspek pengetahuan, namun juga sikap dan keterampilan. Untuk itu, sastra anak harus dikuatkan untuk memajukan kebudayaan. Sastra anak tidak sekadar bagian dari pendidikan karakter (character education), namun juga pembangunan karakter (character building).
Penguatan Sastra Anak
Pembelajaran sastra anak dalam pendidikan formal harus dikuatkan sebagai alternatif nyata memajukan kebudayaan. Sebab, hanya orang yang berbudaya yang berbahasa halus, estetik dan mengutamakan kemesraan rohani antara penutur dan mitra tutur. Kita dapat lihat fakta sosial saat ini, anak-anak makin mudah berbahasa kasar karena mereka defisit estetika, dan “paceklik” sastra.
Dalam menguatkan hal itu, harus ada cetak biru dalam kurikulum dan pembelajaran sastra anak. Pertama, integrasi kurikulum berbasis penguatan sastra. Selama ini kurikulum dan pembelajaran sastra selalu melekat pada bahasa, padahal harusnya sastra mendapat porsi sama bahkan lebih banyak. Kedua, penguatan guru sastra yang memahami kompetensi pedagogi, kepribadian, sosial, dan profesional serta memahami model, pendekatan, dan metode pembelajaran sastra anak sesuai era siber saat ini.
Hal itu sesuai revisi Kurikulum 2013 tahun 2017 yang diberlakukan serentak pada Juli 2017. Perubahan dalam proses pembelajaran di antaranya harus muncul implementasi Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), literasi, creative, critical thingking, communicative, collaborative (4C), dan Higher Order Thinking Skill (HOTS). Perubahan ini relevan dengan penguatan sastra anak. Sebab, hanya orang yang berkarakter, melek literasi dan berpikir tingkat tinggi yang mampu membuat dan menghayati karya sastra.
Ketiga, pembelajaran sastra anak berorientasi pada tiga capaian, mulai dari membangun penulisan karya sastra, apresiasi sastra, dan kritik sastra. Mengapa? Selama ini, pembelajaran sastra anak di sekolah hanya mencetak apresiator dan kritikus sastra. Sangat wajar jika tidak ada sastrawan lahir dari lembaga pendidikan, karena sekolah dan kampusnya sastrawan adalah “kampus jalanan”.
Keempat, pendalaman dan perluasan cakupan ilmu sastra dan karya sastra. Mulai dari karya sastra angkatan pujangga lama, sastra Melayu lama, pujangga baru, angkatan 1945, 1950-1960-an, 1966-1970-an, 1980-1990-an, Reformasi, angakatan 2000 (melenial), sampai era siber sastra saat ini. Pasalnya, selama ini yang dikenal anak-anak hanya puisi dan cerpen sebagai karya sastra. Padahal, ada seloka, fabel, legenda, hikayat, gurindam, pantun, dan lainnya. Jika ini dikuatkan, tentu anak-anak akan mengenal bahwa bangsa ini sungguh kaya raya budayanya.
Kelima, penguatan karya sastra anak, harus mendukung Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) sesuai Perpres 87 tahun 2017 yang dilaksanakan dengan nilai-nilai Pancasila. Mulai dari karakter religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungjawab.
Keenam, penguatan sastra anak dapat dilaksanakan dengan mendekatkan anak-anak pada sastrawan Nusantara, atau tokoh bangsa yang memiliki bahasa luar biasa. Seperti Merari Siregar, Marah Roesli, Sutan Takdir Alisjahbana, Soekarno, HAMKA, Sanusi Pane, Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, Sitor Situmorang, NH. Dini, WS. Rendra, Mochtar Lubis, Ajip Rosidi, Taufik Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Danarto, Afrizal Malna, Widji Thukul, Seno Gumira Ajidarma, Andrea Herata, Medy Loekito, dan lainnya. Mereka sudah membuktikan pada dunia, bahwa sastra Nusantara menjadi kekayaan bangsa yang mahal harganya.
Ketujuh, outcome penguatan sastra anak harus integral dengan Tri Sentra Pendidikan (keluarga, sekolah, masyarakat) yang sejalan dengan visi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu “Terbentuknya insan serta ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter dengan berlandaskan gotong royong.
Penguatan sastra anak harus berbasis keluarga, sekolah, dan masyarakat. Anak-anak harus mendapatkan asupan gizi sastra dari “keluarga sastra, sekolah sastra, dan masyarakat sastra”. Pada puncaknya, visi ini jika dicapai akan mendukung terwujudnya Nawacita yang sudah terangkum dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) yang dilakukan melalui penguatan sastra anak.
Memajukan Kebudayaan
Keberagaman bahasa dan sastra menciptakan keberagaman dalam budaya. Maju dan mundurnya kebudayaan kita sangat ditentukan dengan hidup atau matinya sastra kita. Jika dilihat dari kekuatan sastra, maka sastra anak sangat strategis untuk memajukan kebudayaan. Apalagi, bahasa terutama sastra menurut Zulaeha (2014) memiliki kekuatan magis yang dapat menggerakkan kemajuan.
Resmini (2010) menjelaskan, sastra anak memiliki beberapa fungsi. Pertama, memberi kesenangan, kegembiraan, dan kenikmatan bagi anak. Kedua, mengembangkan imajinasi anak dan membantu mempertimbangkan dan memikirkan alam, kehidupan, pengalaman atau gagasan. Ketiga, memberikan pengalaman baru yang seolah dirasakan dan dialaminya sendiri. Keempat, mengembangkan wawasan kehidupan anak menjadi perilaku kemanusiaan. Kelima, menyajikan dan memperkenalkan anak pada pengalaman universal. Keenam, meneruskan warisan sastra.
Memajukan pendidikan dan kebudayaan sudah diamanatkan Ki Hajar Dewantara sejak dulu. Tidak hanya memajukan kebudayaan dalam bentuk benda (tangible), penguatan sastra anak menjadi alternatif memajukan kebudayaan tak benda (intangible). Soemarjan dan Soenardi (1964: 113) secara tegas mendefinisikan kebudayaan merupakan semua hasil karya, cipta dan rasa masyarakat. Sastra sebagai hasil karya, cipta, dan rasa, harus dikuatkan sejak dini dalam pendidikan.
Semua itu kuncinya tidak hanya di sekolah, namun juga pelibatan dan praktik baik kolaborasi antaranggota keluarga, sekolah dan masyarakat yang telah menjadi bagian dari amanat pendidikan kita. Sudah saatnya penguatan sastra anak kita wujudkan sebagai “jembatan emas” memajukan kebudayaan. Bangsa maju adalah yang menciptakan, mengapresiasi, dan menduniakan ilmu dan karya sastra yang dapat dilakukan lewat penguatan sastra anak. Jika tidak sekarang dikuatkan, lalu kapan lagi?
———— *** —————

Tags: