Memakai Nama Samaran Mbah Joyo, Prasasti Pucangan Ada di India

Prasasti Munggut (Gurit), di Desa Katemas, Kudu, Jombang. [arif yulianto]

Menelusuri Jejak Airlangga di Jombang Utara (bersambung-1)

Kabupaten Jombang, Bhirawa
Wilayah Jombang di utara Sungai Brantas, tepatnya Kecamatan Ngusikan, Kudu, Kabuh dan sekitarnya menyimpan banyak peninggalan sejarah Raja Airlangga. Raja besar dari Kerajaan Kahuripan, Kediri berjuluk ‘Abhiseka Sri Maharaja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa’ itu mengapa meninggalkan beberapa ‘jejaknya’ di Jombang utara, tentu secara logika sederhana, ada hal tertentu yang membuat Airlangga melakukan hal tersebut.
Setidaknya, berdasarkan data yang di peroleh Bhirawa, di antara jejak-jejak Airlangga di Jombang utara ini di ketahui dari peninggalan berupa situs-situs. Baik berupa batu bertulis (prasasti) maupun yang lain. Sosok Airlangga sendiri merupakan putra dari Raja Udayana dari Bali dan ibunya adalah Mahendradatta keturunan dari Kerajaan Medang.
Menurut Badri, juru pelihara Situs Munggut (Gurit), Situs Kusambyan (Grogol), dan Sendang Made, berdasarkan sejarah yang di pelajarinya dari sejumlah literatur menyatakan Raja Airlangga pernah tinggal di daerah sekitar Desa Pucangan yang secara geografis berwujud lereng gunung. “Hal itu di perkuat literatur yang menjelaskan tulisan-tulisan di situs-situs di atas yang mengarah pada masa Airlangga,” kata Cak Badri, sapaan akrabnya.
Prasasti Pucangan, prasasti ini menceritakan perjalanan Airlangga muda yang akan menikahi putri pamannya, Darmawangsa Teguh, Raja Kerajaan Watan, yang di perkirakan saat itu berada di daerah sekitar Maospati, Magetan. Saat akan melangsungkan pernikahan, Kerajaan Watan mendapatkan serbuan dari Raja Wurawari dari Lwaram (sekitar Blora, Jawa Tengah) yang bersekutu dengan Kerajaan Sriwijaya.
Di ceritakan, Kerajaan Watan berhasil di rebut oleh Raja Wurawari, sedangkan Raja Watan terbunuh, begitu pula dengan calon istri Airlangga. Oleh punggawanya yang bernama Narotama, Airlangga yang kala itu masih berumur 16 tahun, di larikan ke hutan Wonogiri (Jawa Tengah) beserta sejumlah pasukannya.
Pengembaraan Airlangga kemudian berlanjut menuju ke timur dari lereng ke lereng gunung, seperti Gunung Wilis, Gunung Mas Kumambang, dan Gunung Klotok (Kediri). Merasa belum nyaman, rombongan Airlangga mengembara lagi ke arah timur ke Gunung Tunggorono (Jombang), hingga ke gunung yang berada di Desa Pucangan (Ngusikan, Jombang).
“Jadi, selama pengembaraan/pelarian Airlangga itu, rombongan tersebut selalu menyamar sebagai rombongan pengamen. Begitupun dengan nama Airlangga, di ubah yang di duga sebagai bentuk kamuflase dalam penyamaran,” paparnya.
Salah satu nama samaran Airlangga yang di pelajari Badri (Cak Badri) adalah ‘Mbah Joyo’. Maka tak heran, di sepanjang area penyamaran Airlangga tersebut, ada sejumlah kesenian-kesenian tua yang di duga merupakan peninggalan Airlangga saat menyamar.
Di daerah Pucangan, proses persembunyian Airlangga di daerah ini di ceritakan memakan waktu hingga tiga tahunan, sebagian waktunya di isi juga dengan melakukan pertapaan dan menata strategi perang yang pada saatnya nanti di gunakan Airlangga untuk merebut Kerajaan Watan dari tangan Raja Wurawari. Sayangnya, keberadaan Prasasti Pucangan saat ini tak berada di negeri ini. Berdasarkan informasi, oleh Pemerintahan Kolonial Belanda, prasasti ini di bawah ke Calcutta, India.
Prasasti Munggut (Gurit), prasasti ini berada di Dusun Sumber Gurit, Desa Katemas, Kecamatan Kudu, Jombang. Letaknya di halaman rumah salah seorang warga setempat. Saat ini, prasasti yang masuk wilayah kewenangan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan, Mojokerto ini sudah di lindungi oleh pagar yang mengelilingi prasasti yang berbentuk lempengam batu berbentuk persegi empat dengan bagian atas mengerucut dengan tinggi sekitar 1 meter dan lebar sekitar 80 centimeter tersebut.
Di tiap sisinya, baik sisi depan, belakang, kanan, dan kiri pada prasasti ini terdapat tulisan-tulisan huruf Pallawa (Jawa kuno). Menurut Cak Badri, pada sisi depan Prasasti Munggut (Gurit) menceritakan tentang pembebasan tanah untuk daerah sekitar. Dan juga penarikan pajak yang hasilnya di berikan kepada ‘Pardhikan Munggut’.
“Di sebutkan, tulisan tahun yang ada di prasasti ini adalah tanggal 14 Cwetra/Krisna tahun 944 saka atau tanggal 13 April 1022 Masehi,” ungkap Cak Badri.
Di duga, tulisan tahun ini adalah penandaan di dirikannya prasasti tersebut. Maka, pendirian prasasti ini patut di duga pada masa Airlangga sudah bertahta dan sudah tidak pada masa persembunyian/pengembaraannya. Karena beberapa literatur Airlangga memerintah Kerajaan Kahuripan pad tahun 1009-10042. Sedangkan Airlangga di lahirkan pada tahun 990 di Bali. Kuat dugaan, setelah mendirikan Kahuripan, Airlangga kembali mengunjungi Jombang utara Brantas untuk mendirikan semacam ‘tanda jejak’nya.
Selain itu, masih pada sisi depan prasasti ini menceritakan pula nama-nama penduduk (Munggut) lama serta menceritakan juga larangan kepada penduduk tertentu untuk masuk kawasan ‘Pardikhan Munggut’.
Tulisan-tulusan pada sisi kanan prasasti Munggut (Gurit) menurut Cak Badri adalah menceritakan tentang pemberlakuan denda bagi orang yang mengganggu daerah Munggut dengan denda satu ‘Katimas’ yang di identikkan dengan satu tepak/ satu karung kecil/ satu kotak (peti) yang berisi emas.
Sementara pada sisi belakang prasasti ini menceritakan pesan kepada raja-raja pada masa depan agar tidak mengganggu daerah ‘Pardhikan Munggut’. “Bagi para pengganggu, di sebutkan ada semacam ancaman dari do’a tetuah seperti di doakan tersambar petir, tidak bisa melihat ke belakang dan sebagainya. Di sebutkan juga pada sisi belakang prasasti ini tentang denda bagi penjudi, adu jago dan sejenisnya,” jelasnya.
Masih seputar penterjamahan tulisan di sisi belakang prasasti ini, di sebutkan juga pengaturan cara menanam tanaman berkarakter merambat yang harus menggunakan ‘anjang-anjang’ dan tidak boleh masuk pada tanah orang lain.
Sementara pada sisi kiri prasasti ini menerangkan seputar tata niaga/ perdagangan yang saat itu telah melibatkan lintas negeri/ negara seperti negeri Srilanka, Colla, Mallaya, Vietnam, Myanmar, dan lain-lain. Hasil penarikan pajak perdagangan di peruntukkan/ di berikan kepada ‘Pardhikan Munggut’. [Arif Yulianto]

Tags: