Memaknai Debat Capres

Debat calon presiden (dan wakil presiden) sudah dimulai. Bagai mengulang even sama pada lima tahun silam (2014). Karena kontestan dalam pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2019, masih dengan Pilpres 2014. Hanya berganti pasangan calon wakil presiden (Cawapres), yang disesuaikan dengan elektabilitas ke-kini-an. Tetapi debat Capres (calon presiden) kali ini akan lebih seru. Karena salah satu kontestan telah menjadi presiden.
Ir. H. Joko Widodo, telah menjadi presiden Republik Indonesia. Sedangkan lawan politiknya yang dahulu (dalam Pilpres 2014), Prabowo Subianto, belum menjadi presiden. Juga belum pernah menjadi pelaku pemerintahan. Belum pernah menjadi pejabat tinggi negara. Termasuk tidak menjadi anggota parlemen (DPR-RI). Sehingga Prabowo (dengan nomor urut Capres 02), akan “meng-kritisi habis” seluruh program pemerintah. Tak terkecuali pemerintahan propinsi.
Kritisi yang tidak mudah. Sebab, berdasar UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Gubernur merupakan “wakil” pemerintah pusat. Posisi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, tercantum dalam pasal 91 (dengan 8 ayat), dan pasal 93 (dengan 5 ayat). Realitanya, beberapa gubernur merupakan kader parpol yang mengusung Capres nomor urut 02. Sehingga “menembak” Capres incumbent, dalam hal urusan daerah, berarti membidik kader sendiri.
Debat Capres (dan Cawapres) yang siar langsung di televisi merupakan program resmi KPU (Komisi Pemilihan Umum). Debat merupakan salahsatu cara, agar visi dan misi Capres dan Cawapres bisa diketahui seluruh rakyat Indonesia. Bukan sembarang debat. Kelak jika terpilih, isi debat akan dituangkan menjadi UU RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) lima tahunan.
Etape pertama debat Capres (dan Cawapres) bertema penyelenggaraan Hukum, HAM (Hak Asasi Manusia), Korupsi, dan Terorisme. Tema penegakan hukum tidak mudah dikritisi. Lebih lagi pelaksanaan HAM, pemberantasan korupsi, dan terorisme, cukup berprestasi. OTT (Operasi Tangkap Tangan) KPK semakin kerap dilakukan. Banyak pula menjerat elit politik. Termasuk politisi parpol pendukung Capres Nomor 01, juga dijebloskan ke penjara.
Begitu pula terorisme. Kinerja BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), dan Detasemen khusus Kepolisian (Densus 88), diakui dunia. Walau sudah berkali-kali terjadi (dan banyak korban jiwa berjatuhan). Jaringan terorisme selalu bisa terungkap. Repotnya, penyebaran paham radikalisme (cikal bakal) terorisme di Indonesia bagai “berlindung” di balik konstitusi. Tetapi telah dilakukan revisi terhadap UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Definisi tentang terorisme, kini menyertakan frasa “motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.” Terdapat pemberatan sanksi terorisme, berupa permufakatan jahat, persiapan, percobaan dan pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme. Juga terdapat hukuman berat “korporasi” (organisasi), terhadap pimpinan, pengurus, dan anggota sindikat terorisme. Calon pelaku terorisme, akan putus-asa menghadapi aparat keamanan.
“Celah” kinerja pemerintah yang bisa dikritisi, tinggal penegakan hukum. Realitanya, masih banyak Jaksa, dan Hakim, terlibat suap. Begitu pula kinerja aparat Kepolisian di tingkat Polsek, Polres, dan Polda, masih banyak “testimoni” adanya suap. Banyak tersangka, dan terdakwa, mengaku diminta uang untuk meringankan ancaman hukuman. Bahkan yang berstatus narapidana, menyetor suap petugas sipir penjara. Serta menyuap untuk mengurus remisi.
Dus, debat Capres (dan Cawapres) masih cukup seru. Diprediksi lebih seru dibanding debat tahun 2014. Tetapi sebenarnya debat tidak akan mengubah (signifikan) pilihan. Elektabilitas tidak akan naik ataupun turun karena debat. Sebab, setiap masyarakat telah memiliki pasangan Capres dan Cawapres yang akan dicoblos. Lebih lagi, setiap etape debat akan ditayangkan langsung beberapa televisi. Walau bukan pada posisi rating tinggi (paling diminati).

——— 000 ———

Rate this article!
Memaknai Debat Capres,5 / 5 ( 1votes )
Tags: