Memaknai Kenaikan Cukai Rokok

Oryz SetiawanMemaknai Kenaikan Cukai Rokok
Oleh :
Oryz Setiawan
Alumnus FakultasKesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya
Setelah terjadi polemic pada waktu lalu, akhirnya pemerintah memutuskan kenaikan cukai rokok tahun 2017 rata-rata sebesar 10,54 persen. Keputusan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor:147/PMK.010/2016, dengan demikian per 1 Januari 2017 harga cukai rokok resmi mengalami kenaikan dimana kenaikan tertinggi mencapai 13,46 persen untuk jenis hasil tembakau sigaret putih mesin (SPM), sedangkan yang terendah sebesar 0 persen untuk sigaret keretektangan (SKT) golongan III-B yakni pabrik kecil. Selain kenaikan tarif terdapat kenaikan harga jual eceran (HJE) dengan rata-rata sebesar Rp 12,26 persen. Fenomena kenaikan cukai sesungguhnya merupakan upaya “kompromi” pemerintah dalam melakukan control atas masalah entitas produk tembakau di Indonesia. Problem rokok memang sarat kepentingan berbagai pihak baik yang pro rokok maupun yang anti rokok.
Dalam konteks kesehatan publik, upaya menaikan harga cukai rokok dan produk tembakau lainnya adalah upaya terstruktur dalam menekan masalah kesehatan akibat dampak rokok sekaligus jalur kompromistis atas tarik menarik kepentingan pertembakauan dan peredaran rokok dengan kepentingan kesehatan publik. Berdasarkan data Ditjen Bea dan Cukai Kementerian KesehatanTahun 2016 menunjukkan bahwa kontribusi cukai terhadap APBN padatahun 2014 sebesar 12,29 persen, tahun 2015 sebesar 11,68 persendantahun 2016 sebesar 11,72 persendenganprosentasekenaikanmasingsebesar 8,5 persen, 8,72 persendan 11,19 persen. Dalam rentang 10 tahun terakhir pemerintah telah mengurangi jumlah pabrikrokok dari 4.669 pabrik menjadi 754 pabrik di tahun 2016 dengantrenpenurunanhingga 0,28 persen. Tradisi rokok di Indonesia merupakan bagian dari sejarah sosial budaya bangsa Indonesia yang telah turun temurun dan mendarah daging seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan acapkali bersinggungan dengan berbagai kepentingan sehingga membutuhkan solusi atau win-win solution.
Namun di sisi lain dengan modernisasi kesehatan dan teknologi kedokteran ternyata ditemukan bahwa setiap tahun masalah kesehatan masyarakat yang bersumberdarirokokjugakianmeningkatbahwatelahmerambatpadausiaproduktif, anak-anakdanremaja. Kelompokusia 10-14 tahun adalah masa pancaroba dan masa coba-cobasebagai golden moment sebelum memilih merokok sebagai atribut perilaku. Berbagai momen acara masyarakat hampir dapat dijumpai kelompokperokok yang terkadang abai terhadap etika orang lain (non perokok) yang tanpasengajaterhidupasaprokok.Secara statistik, konsumsi rokok di Indonesia mencapai lebih dari 500.000 batang per menit. Asumsi harga per batang rokok 1.500 rupiah maka diperoleh 750 juta per menit, sungguh ironis memang dikala masyarakat tengah kesulitan ekonomi justru dihamburkan untuk keperluan yang sia-sia dan tak jarang disertai permasalahan penyakit yang menyertai tentu akan sangat memperburuk kondisi kelangsungan kehidupan masyarakat itu sendiri.Kondisiinisangatlahmencemaskanbagaimanasumbangsihcukairokokterhadap APBN tahun 2015 sebesar 139,5 trilyun rupiah atau 96 persendari total pendapatancukainegarasebesar 14,6 trilyun rupiah.
Sedangkanberdasarkanpenelitiankesehatantahun 2013, diperolehbahwa”korban” akibat dampak rokok secara ekonomi mencapai lebih dari 378,75 trilyun rupiah atau 3,7 kali lebih besardibandingkan cukai tembakau yang diperoleh dari negara pada tahun yang sama sebesar 103,02 trilyun rupiah.Jumlahtersebutberasaldarikerugianakibatmembelirokoksejumlah 138 trilyun rupiah, hilangnyaproduktivitasakibatsakit, disabilitasdankematianprematur di usiamudasejumlah 235,4 trilyun rupiah danbiayaberobatakibatpenyakit-penyakitterkaittembakausebanyak 5,35 trilyun rupiah. Angka kesakitan akibat dampak rokok terus mengalami kenaikan seperti kanker, jantung, impotensi, kelahiran premature dan lain-lain nyaris tak terbendung. Di pihak laindengan menjamurnya iklan dan publikasi rokok secara besar-besaran dengan invasi setiap lini oleh industri rokok padahal negara telah mengimplementasikan proteksi berupa larangan iklan di tempat-tempat yang seharusnya tidak boleh ada godaan rokok dalam bentuk apapun. Fenomena tersebut mendasari pentingnya eksekusi aturan iklan rokok, karena bila tidak ada aturan yang tegas seperti itu, Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara smoking friendly.
Negara yang ‘bersahabat’ dengan rokok mempunyai ciri khas antara lain; iklan rokok berkembang pesat, sementara kampanye anti rokok sangat kurang, pemerintah dan profesi kesehatan tidak serius menghadapi dampak rokok, opini dan artikel anti rokok di media massa jarang, dan merokok pun dianggap sebagai hal yang biasa. Dengan demikian dengan kebijakan kenaikan cukai rokok diharapkan mampu sebagai jalur keluar atas permasalahan produk pertembakauan terutama rokok di Indonesia, meski besaran kenaikan cukai rokok belum signifikan dalam upaya pengendalian produk tembakau.
———– ***———–

Rate this article!
Tags: