Memaknai Kesuksesan Asian Games

(Refleksi Hari Olahraga Nasional, 9 September)

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya 

Usai sudah pesta olahraga terbesar Se-Asia yang dihelat di Jakarta dan Palembang dengan euforia prestasi menembus empat besar Asia setelah Tiongkok, Jepang dan Korea Selatan. Dengan raihan 98 medali yang terdiri dari 31 emas, 24 perak dan 43 medali perunggu serta melebihi target minimal 16 emas yang dicanangkan dan masuk 10 besar merupakan rekor keberhasilan Indonesia di kancah even olahraga Asian Games. Memang faktor tuan rumah (host) tentu menjadi keuntungan tersendiri dengan dukungan ribuan penonton pecinta olahraga di tanah air terhadap “pahlawan” dan pejuang sebagai simbol nasionalisme, cinta tanah air. Selain itu bertanding di negeri sendiri ibarat memiliki energi tambahan, lecutan semangat membara selama pertandingan. Saat ini eksistensi olahraga telah menjelma menjadi parameter kemajuan sebuah negara, bukan sekedar nilai prestasi atau prestise semata. Namun telah bergeser menjadi sebuah kulturalisasi bangsa, buah hasil pembinaan yang tidak instan, kolaborasi semua pihak serta rangsangan bonus “super wah” hingga 1,5 milyar sebagai asupan “gizi” atlit yang tercukupi serta tak lupa doa seluruh masyarakat Indonesia.
Ayo Olahraga Bangun Indonesia merupakan tema Hari Olahraga Nasional tahun 2018. Hari Olahraga Nasional kali ini terasa sangat spesial jika dibanding tahun-tahun sebelumnya karena bertepatan dengan kesuksesan Indonesia dalam ajang Asian Games baik yakni sukses prestasi, sukses penyelenggaraan dan sukses secara ekonomi. Tema Hari Olahraga Nasional sudah jelas bahwa pesan yang disampaikan adalah upaya mengajak seluruh masyarakat Indonesia atau gerakan untuk melakukan olahraga walaupun hanya sebatas 30 menit per hari agar tercipta masyarakat yang sehat, bugar dan produktif melalui berbagai aktivitas jasmani yang bersifat Murah, Mudah, Menarik, Massal dan Manfaat (5M) serta menempatkan olahraga sebagai salah satu instrumen penting pembangunan nasional khususnya pembangunan jasmani dan rohani, pembangunan jiwa dan raga.
Dengan kata lain olahraga adalah kebutuhan setiap orang dalam mempertahankan status atau derajat kesehatan ditengah maraknya serangan penyakit yang kian mengancam kesehatan manusia dimanapun berada. Di masyarakat pedesaan (rural) tren penyakit menular seperti demam berdarah, diare, difteri, hingga flu burung maupun masyarakat perkotaan (urban) yang didominasi oleh penyakit tidak menular seperti diabetes, kolesterol, asam urat, osteoporosis, jantung, gagal ginjal dan lain-lain. Oleh karena itu eksistensi olahraga menjadi prioritas dalam berkontribusi dalam menurukan resiko masalah kesehatan terutama ancaman penyakit yang sewaktu-waktu timbul. Dalam makna luas, dengan berolahraga kita akan turut berpartisipasi membangun Indonesia secara keseluruhan yakni membangun jiwa yang sehat, membangun badan yang kuat. Masih ingatkah motto lawas olahraga “Mens sana in corpore sano” Didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat serta jargon Orde Baru yakni “Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat”.
Hal ini memberikan makna bahwa kegiatan olahraga tak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, apalagi di era modernisasi dan digitalisasi nan serba cepat dimana terjadi reduksi aktivitas gerak tubuh akibat penggunaan teknologi yang melupakan kesehatan tubuh. Berapa banyak penyakit “modern” seperti diabetes, hipertensi, kolesterol, asam urat yang salah satunya adalah akibat memarginalisasi aktivitas olahraga. Dewasa ini prestasi olahraga telah menjadi salah satu tolok ukur kesuskesan seseorang apalagi di level nasional, regional hingga level internasional. Sangat logis bila ada atlit Indonesia yang menjuarai even internasional, pemerintah mengapreasi baik dalam bentuk bonus hingga menjamin masa depan melalui pengangkatan menjadi abdi negara (PNS) misalnya. Kondisi ini sangat berbeda dengan era masa lalu dimana prestasi di bidang olahraga tidak memperoleh apresiasi dan jaminan hari depan yang jelas. Kasus Ellyas Pical (tinju), Marina Segedi (pencak silat), Tati Sumirah (bulutangkis) dan Ramang (sepakbola) adalah sederet bukti bahwa masa lalu prestasi olahraga masih dipandang sebelah mata dan cenderung termarginalkan pada masa-masa senja.
Di sisi lain, pembinaan bibit-bibit muda yang tersebar ke daerah-daerah adalah salah satu metode pembinaan olahraga yang banyak digunakan oleh negara-negara maju dalam mengembangkan pembinaan olahraga untuk mendongkrak prestasi para atlitnya. Tak sedikit, atlit berprestasi berasal dari daerah-daerah pinggiran dan terpelosok. Fenomena Lalu Mohammad Zohri adalah alah satu atlit yang berasal dari wilayah pinggaran, ibarat mutiara dalam lumpur dimana bakat yang belum terasah, bakat yang terpendam seseorang perlu ditemukan, diasah dan diberdayakan agar menjadi kilauan mutiara kelak.

—————– *** ——————-

Rate this article!
Tags: