Memaknai Lebaran di Kala Pandemi

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Dua kali sudah lebaran, Hari Raya Idul Fitri dirayakan dalam kondisi abnormal. Momen Idul Fitri atau Lebaran biasanya dimanfaatkan untuk saling memaafkan dan berkumpul dengan keluarga. Akan tetapi, di tengah pandemi virus corona yang melanda dunia, memaksa semua orang untuk tetap di rumah, meminimalisir pertemuan dan mobilitas, sehingga tak bisa merayakan Lebaran seperti dalam kondisi normal. Meski sulit berat, kontra budaya dan cenderung “hampa” namun kondisi ini merupakan realita yang memang harus diterima karena lagi-lagi kondisi pandemi atau dalam situasi penyebaran Covid-19 yang belum sepenuhnya terkendali serta masih mengancam jiwa dan keselamatan manusia. Semua dipaksa beradaptasi dengan pandemi melalui serangkaian aktivitas protokol kesehatan 5 M (Memakai Masker, Mencuci Tangan, Menjaga Jarak, Menjauhi Kerumunan dan Membatasi Mobilitas) dan 3 T (Testing, Tracing dan Treatment). Dengan kata lain, kesehatan dan keselamatan rakyat dan jiwa manusia diatas kesegalanya.

Mudah-mudahan cukup sudah dua kali lebaran dijalani dalam suasana tak normal selanjutnya kita semua berharap pandemi cepat berlalu dan semua dapat “kembali” menjalani hidup secara normal dan mengisi setiap aktivitas seperti biasa, layaknya sebelum pandemi. Harus diakui, Covid-19 telah memporak-porandakan segala aktivitas kehidupan bernegara, bermasyarakat dan beraktivitas. Berkaca dari kasus Covid-19 di berbagai negara kini tengah kembali meroket, pemerintah memang harus mewaspadai ancaman tersebut di wilayah tanah air. Euphoria vaksinasi tidaklah dimaknai dengan bebas atau dari serangan Covid-19, justru vaksinasi sebagai salah satu instrumen untuk memutus rantai penularan yang efektif jika minimal 70 persen penduduk tervaksinasi.

Di sisi lain, terjadinya perbedaan kebijakan relaksasi atau pelonggaran berbagai kegiatan antara pemerintah pusat dan daerah juga berkontribusi terhadap efektivitas penanganan Covid-19 karena risiko penularan virus secara karakteristik tidak dibatasi oleh faktor wilayah, mobilitas masyarakat yang tinggi serta masih adanya kegiatan mengundang massa besar dan masif seperti sosial keagamaan yang bersifat memantik kerumunan juga menjadi faktor risiko. Selain itu terjadi indikasi terjadi penyebaran mutasi atau strain virus baru yang memiliki virulensi sangat tinggi baik N439K, B.1.1.7, maupun B.1.258 turut memperparah pengendalian pandemi sehingga merupakan faktor penyulit untuk mendeteksi yang hanya diketahui dengan tes PCR (Polimerase Chain Reaction).

Larangan Mudik

Sengkarut penanganan mudik memang perlu memperoleh perhatian. Kebijakan pelarangan mudik semata-mata untuk menekan laju penularan yang lebih masif terutama di wilayah daerah dan kampung halaman. Harus diakui meningkatnya kasus positif Covid-19 di berbagai belahan dunia, khususnya India dalam sebulan terakhir menjadi salah satu pertimbangan utama pemerintah untuk kembali mengeluarkan kebijakan mudik Lebaran. Kebijakan larangan mudik ini dilakukan untuk kedua kalinya, setelah pada tahun 2020 pemerintah juga mengeluarkan larangan mudik bagi masyarakat, artinya berlaku untuk semua bukan hanya buat aparat pemerintah (ASN). Coombs dalam Ongoing Crisis Communication (2007) menyebutkan pengalaman dan cara organisasi menyelesaikan krisis di masa lalu akan sangat mempengaruhi penilaian publik terhadap pemerintah dalam menyelesaikan masalah. Dalam situasi krisis seperti pandemi Covid-19, crisis history (sejarah krisis) dan prior reputation (reputasi awal) pemerintah menjadi tolok ukur bagi masyarakat untuk mengikuti atau menolak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Namun harus ada kajian yang komprehensif dan terukur merujuk pada akar permasalahan dan pertimbangan sosial budaya masyarakat (social culture society) serta psikologis massa. Setidaknya terdapat beberapa faktor mengapa kebijakan penanganan mudik terutama penyekatan di sepanjang area mudik masih dirasa kurang efektif. Pertama, mayoritas dari kalangan ekonomi bawah yang mana pekerjaan banyak yang harian dan wirausaha. Ketika penghasilan tidak ada lagi, mereka tidak ada pilihan harus kembali ke kampung, apalagi pemudik rata-rata menggunakan kendaraan sepeda motor dan jumlah massa besar. Di sisi lain jumlah petugas lapangan tidak sebanding tentu berpotensi menimbulkan chaos yang lebih luas. Kedua, terjadinya larangan mudik Lebaran 2021 bagi masyarakat dan masuknya ratusan tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia. Fenomena ini dinilai mengusik rasa keadilan bagi masyarakat. Saat bersamaan pemerintah melarang mudik, tapi ratusan TKA Cina masuk. Ini menyebabkan munculnya rasa perlakuan tidak adil sehingga menyebabkan masyarakat merasa diperlakukan tidak adil sehingga timbullah perlawanan.

Ketiga, secara teknis di lapangan alias pos penyekatan mudik Lebaran 2021, jumlah petugas yang tak sebanding dengan masyarakat. Antisipasi terhadap pemudik bermotor ini yang kurang diperhitungkan, bahkan ada yang nekat mengelabuhi petugas dengan berbagai modus seperti memakai ambulan, menyelinap dalam truk barang, bahkan ada yang mencari jalan tikus yang intinya terjadi kucing-kucingan dengan petugas. Jika sampai lolos sampai ke kampung halaman tetap mewajibkan tes Corona pada setiap pos hingga PPKM Mikro di daerah dengan biaya mandiri. Keempat, dalam konteks ekonomi, larangan mudik dipastikan memicu efek domino yang kontraproduktif bagi aktivitas perekonomian masyarakat. Sebelum pandemi Covid-19 meluas di berbagai daerah, perputaran uang tunai seputar aktivitas mudik hingga lebaran bisa mencapai sekitar Rp 200 triliun lebih. Dikala mudik dilarang, tentu perputaran uang kontan ke berbagai desa kehilangan potensi sumber ekonomi. Mulai penjual jajanan dan oleh-oleh, depot, restoran, atau rumah makan di sepanjang rute perjalanan masyarakat mudik lebaran, tentu tidak akan lagi berharap mendapatkan kucuran dana dari para pemudik yang mampir mengisi perut sebelum sampai ke kampung halaman.

Kelima, keputusan pemerintah melarang masyarakat mudik diprediksi membuat optimisme perbaikan perekonomian yang semula sempat bangkit. Ketika vaksin tidak hanya diberikan kepada petugas medis tetapi ke warga masyarakat lain, optimisme pelaku ekonomi sebetulnya kembali membuncah dengan vaksinasi tidak sedikit pelaku ekonomi menaruh harapan besar. Keenam, larangan mudik lebaran memukul perkembangan sektor transportasi, maskapai, perhotelan, dan berbagai hal terkait kebutuhan akomodasi para pemudik. Ketika mobilitas dibatasi, tentu kebutuhan fasilitas transportasi dan akomodasi menjadi berkurang. Masyarakat yang diminta berdiam diri di rumah menjelang dan sesudah lebaran, tidak lagi membutuhkan kendaraan, hotel dan lain-lain seperti yang biasa terjadi pada saat mudik belum dilarang.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: