Memaknai Rem Darurat Penanganan Covid-19

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Kasus Covid-19 di Indonesia terus merangkak naik signifikan, bahkan selama bulan ini setidaknya setiap hari kenaikan kasus rata-rata hampir 4 ribuan per hati meski diiringi juga dengan jumlah kenaikan kasus sembuh. Di Jakarta misalnya kasus terus meroket seiring dengan kebijakan relaksasi sejumlah aktivitas ekonomi dan sosial di masyarakat sehingga Gubernur Anies Baswedan “kembali” menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar secara total. Meski pada akhirnya dalam pelaksanaannya dilakukan penyesuaian. Kondisi tersebut seakan menjadi barometer atas pelaksanaan Covid-19 di wilayah lain. Di sisi lain, seakan tiada hari tanpa pemberitaan Covid-19 di hampir seluruh antero bumi tak terkecuali di Indonesia. Mengacu data WHO, jumlah manusia yang terpapar Covid-19 hampir mencapai 30 juta jiwa dengan korban mencapai 1 juta jiwa meninggal. Ini artinya bahwa per 30 kasus yang terkonfirmasi positif satu orang meninggal.

Tiga negara terbesar penderita Covid-19 adalah Amerika Serikat, Brazil dan India. Monster Covid-19 benar-benar menguji dunia dengan pandemi yang tidak ada seorangpun yang tahu entah kapan berakhir. Pemerintah seakan tak berdaya dengan “si virus”. Beberapa indikator yang menunjukkan hal tersebut antara lain : pertambahan jumlah kasus yang terus meningkat bahkan cenderung meroket, anggaran pemerintah pusat hingga daerah terus tergerus untuk menanggulangi kasus Covid-19 dan dampak sosial ekonomi serta pemulihannya seperti bantuan sosial. Selain itu yang sangat ironis sekaligus paling mengkawatirkan adalah terus bergugurannya pahlawan-pahlawan medis dan tenaga kesehatan lainnya sebagai benteng terakhir penanganan Covid-19. Kondisi jelas merupakan bencana kemanusiaan dan krisis Kesehatan, sebab jika tenaga-tenaga medis terus berguguran maka nyawa manusia seakan yang berharga, yang pada akhirnya lahan pemakaman terus menyusut dan menjadi sederet problem rentetan yang muncul nan kompleks.

Merujuk data inilah pemerintah harus benar-benar menguras tenaga, pikiran, kemampuan sekaligus berbagai sumber anggaran untuk segera meminimalisir laju penyebaran virus. Negara harus melakukan pertaruhan atas pengendalian virus asal Tiongkok tersebut dan potensi ancaman jurang resesi maupun krisis ekonomi hingga menjungkirbalikan logika kenormalan kekinian, tatanan dan norma sosial-masyarakat. Memang penanganan kasus Corona bak buah simalakama terutama dikotomi antara aspek kesehatan dan sosial-ekonomi yang terus terfragmentasi. Namun demikian semestinya keduanya tidak dikotomikan dan dapat berjalan secara paralel. Dengan kata lain, pelonggaran aktivitas sosial ekonomi masyarakat harus disertai dengan protokol kesehatan yang sangat ketat baik dari sisi kebijakan maupun implementasi teknis lapangan. Seakan disuguhi dengan pilihan pahit sehingga jangan sampai kita keluar rumah karena takut terjangkit virus (stay at home) maupun di rumah saja namun justru akan mati kelaparan karena tidak pendapatan untuk kebutuhan dasar rumah tangga.

Sebuah pilihan bak buah simalakama. Saat ini semua pihak bahkan dunia membutuhkan obat (termasuk vaksin) agar rasa sakit hilang dan dapat hidup kembali seperti sedia kala. Harapan untuk menghentikan laju penyebaran Covid-19 hanyalah vaksin dan obat untuk mengatasi penyebaran laju penularan. Bahkan di tengah kian luasnya pandemi Covid-19 maka vaksin dianggap satu-satunya upaya yang dapat mencegah orang terjangkit virus tersebut. Saat ini dunia berlomba-lomba sesegera mungkin menemukan vaksin penangkal, setidaknya 180 calon vaksin di dunia untuk menjalani serangkaian uji ketat di berbagai negara. Di Indonesia penemuan vaksin tengah memasuki uji klinis yakni vaksin Sinovac yang bekerja sama dengan industri farmasi Tiongkok serta vaksin merah putih produk dalam negeri selanjutnya menyusul diujicobakan secara maraton.

Perlakuan dan intervensi penderita yang terpapar Covid-19 membutuhkan penanganan khusus agar tidak menjadi sumber penularan terutama Orang Tanpa Gejala (OTG). Isolasi mandiri yang semestinya dilakukan oleh OTG dinilai belum efektif, tidak terkontrol dan acapkali luput dari pengawasan baik keluarga maupun tenaga kesehatan. Efek psikologis yang timbul adalah minimnya dukungan relasi sosial dan perasaan terkucil yang kian mendegradasi psikologis baik kecemasan hingga potensi menimbulkan depresi kejiwaan sehingga kasus bunuh diri dari penderita Covid-19 mulai bermunculan. Kondisi ini tidak dapat dibiarkan dan harus diberikan pendampingan dan intervensi psikologis. Harus diakui bahkan penerapan protokol kesehatan yang acapkali digencarkan adalah cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak dimana belum sepenuhnya mengakomodir aspek psikis. Pada saat isolasi mandiri terutama yang dilakukan di layanan kesehatan tentu berpotensi memunculkan tekanan psikis yang cenderung ditutup-tutupi sehingga intervensi pengobatan lebih pelik, terjadi perubahan menu makan secara ekstrim yang tidak teratur hingga tidak bisa bersosialisasi meski melalui media komunikasi yang dikawatirkan terjerumus dalam kondisi depresi reaktif yang mengakibatkan risiko bunuh diri yang saat ini mulai bermunculan.

———- *** ————-

Tags: