Memaksimalkan Peran Fundamental Guru

H. DarmadiOleh:
H Darmadi
Pegawai Fungsional Guru pada Kantor Kementerian Agama Kab.Lampung Tengah, Dosen STKIP Kumala Lampung.

Perkembangan teknologi informasi yang sangat pesat membawa dampak besar terhadap pergeseran prilaku dan gaya hidup seseorang. Teknologi informasi membuat hidup lebih mudah. Informasi dari berbagai penjuru dunia dapat diperoleh hanya dengan hitungan detik, tanpa terhalang ruang dan waktu. Di sisi lain, dampak negatif kemajuan teknologi informasi dapat menyebabkan seseorang terbiasa dengan sesuatu yang serba instan, cepat tanpa memperhitungkan proses.  Budaya asing masuk dengan mudah tanpa ada filter (penyaring), sehingga budaya lokal sebagai akar budaya dan karakter bangsa semakin terkikis.
Budaya sopan santun, unggah-ungguh antara anak dengan orang tua, antara orang yang lebih muda kepada yang lebih tua semakin pudar. Kejujuran sebagai perhiasan individu menjadi barang langka. Sikap murah senyum, ramah-tamah dan sikap suka bermusyawarah seolah sirna, berubah menjadi bangsa pemarah, anarkis dengan mengedepankan ego tanpa memperdulikan kepentingan serta hak-hak orang lain. Seakan konflik sudah menjadi budaya,  baik di elit politik maupun di tataran grass root  (masyarakat kecil) bangsa ini.
Karakter anak pun mengalami perubahan yang sangat drastis.  Dahulu, anak bebas bermain untuk mengekspresikan ide dan kreatifitasnya didukung dengan  tersedianya ruang publik yang luas. Mereka mampu membuat alat dan bentuk permainan-permainan tradisional yang melibatkan personil yang banyak. Sehingga mereka  akan belajar bagaimana bekerja sama, belajar berinteraksi dengan temannya, belajar mandiri serta belajar menyelesaikan masalah yang muncul ketika proses berinteraksinya mengalami prablem.
Sekarang ini, terutama di kota-kota besar ruang publik yang aman untuk bermain anak sulit didapat. Menyebabkan anak lebih banyak menghabiskan waktunya di depan layar kaca untuk bermain game, internetan, ply stasion, menonton film dan lain-lain. Hal ini mengakibatkan sense of social (jiwa social) menurun, yang muncul sifat egois dan tidak peka terhadap lingkungan sosial di sekitarnya. Mereka akan lebih berimajinasi dan meniru prilaku-prilaku jagoan yang ada dalam game atau dalam film yang mereka saksikan. Tidak heran ketika anak mengidolakan tokoh-tokoh dalam game atau film yang dianggap hebat dan perkasa seperti Naruto, Avatar yang mampu mengalahkan siapa pun. Hal tersebut lebih memperparah kepincangan sosial anak. Yang tumbuh dalam diri mereka adalah bagaimana bisa mengalahkan orang lain dengan kekerasan, sehingga sikap humanis semakin jauh dari mereka.
Keluarga sebagai tempat pembentukan karakter yang utama tidak berjalan semestinya. Perkembangan zaman yang semakin maju dan moderen membuat para orang tua sibuk di luar dengan motif karir dan ekonomi. Disebabkan keterbatasan waktu, para orang tua mempercayakan sepenuhnya pendidikan anak-anaknya kepada lembaga pendidikan (sekolah).  Sekolah dianggap sebagai tempat transfer ilmu pengetahuan, nilai-nilai sosial kemasyarakatan, nilai-nilai akhlak, nilai-nilai religius dan nilai-nilai yang lainnya.
Tanggung jawab yang sangat berat bagi sekolah. Sekolah harus mampu berfungsi sebagai tempat pembentukan pribadi peserta didik secara utuh yaitu menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berrakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (UU sisdiknas tahun 2003). Hal tersebut harus disadari oleh para pengelola lembaga pendidikan baik swasta maupun negeri. Apakah selama ini sudah mampu menghasilkan lulusan sebagaimana disebut di atas. Ataukah belum? Lembaga pendidikan harus berani introspeksi dan mau menerima masukan dari luar demi kemajuan pendidikan yang meraka kelola.
Pemimpin-pemimpin sekarang merupakan produk dari pendidikan di masa lalu, realita sekarang merupakan buah dari pendidikan di masa lalu. Lahirnnya pemimpin-pemimpin korup, degradasi moral, lunturnya jiwa nasionalis, patriotis  dan bentuk degradasi moral lainnya merupakan produk dari pendikan di masa lalu. Lembaga pendidikan dengan sistem pendidikan dan kurikulum yang dikemas oleh masa lalu telah gagal menciptakan manusia-manusia seutuhnya.
Pendidikan budaya dan karakter bangsa oleh banyak kalangan dianggap sebagai salah satu solusi bagi perbaikan Indonesia kedepan. Setidaknya ada delapan belas nilai budaya dan karakter bangsa yang harus diimplementasikan dalam proses pembelajaran disetiap jenjang pendidikan.  Delapan belas nilai budaya dan karakter bangsa merupakan sebuah nilai yang diintegrasikan dalam setiap pembelajaran pada bidang studi atau mata pelajaran apapun. Jangan dipahami bahwa muatan tersebut sebagi mata pelajaran baru yang akan menambah bebab belajar bagi peserta didik. Karena kurikulum pendidikan bangsa ini sudah sangat padat.
Internalisasi nilai-nilai budaya dan karaker bangsa harus diintegrasikan pada setiap mata pelajaran. Sebagai contoh, Guru matematika tidak hanya melatih anak mahir dalam hitung mengitung tetapi juga bertanggungjawab terhadap kemandirian, toleransi, kedisiplinan dan lain-lain. Guru Agama tidak hanya menekankan ritualitas keagamaan belaka tetapi secara bersamaan harus mampu membentuk pribadi yang demokratis, cerdas sosial, peduli terhadap lingkungan dan lain sebagainya. Mata pelajaran yang lain pun harus seperti itu. Tanggung jawab ada pada semua guru, tidak hanya dilimpahkan pada guru mata pelajaran tertentu, sehingga pada akhirnya ketika pembelajaran mengalami kegagalan tidak saling menyalahkan antara guru mata pelajaran yang satu dengan guru mata pelajaran yang lain. Akan tetapi merupakan kesalahan kolektif dan perlu instrospeksi secara masal.
Pembentukan karakter anak tidak serta merta, tetapi memerlukan proses yang panjang, sarat dengan hambatan dan rintangan. Dalam proses, guru harus selalu memantau, membimbing dan meluruskan perkembangan karakter anak, karena jika terjadi penyelewengan tidak diluruskan akan berakibat permanen dan untuk meluruskan memerlukan waktu yang cukup panjang. Ibarat sebatang pohon jagung, jika pada proses pertumbuhannya bengkok dan dibiarkan maka akan tumbuh bengkok sampai besar, ketika akan diluruskan membutuhkan batang yang kuat untuk menyanggahnya dan hasilnya pun pohon jagung tersebut tidak dapat lurus secara sempurna.
Guru harus mampu mendesain pembelajaran berbasis budaya dan karakter bangsa. Pertanyaannya, apakah para guru mampu? Jawabannya sederhana “mampu”. Yang menjadi persoalan mau atau  tidak, guru melakukan perubahan. Kemauan atau keinginan untuk menjadi lebih baik akan melahirkan sebuah kemampuan. Selama guru tidak mempunyai kemauan, maka sulit terjadi perubahan walaupun tunjangan profesinya ditambah sepuluh kali lipat pun tidak akan terjadi perubahan berarti.
Realitas di lapangan masih banyak ditemukan fungsi guru masih hanya sebatas pengajar yang hanya memprioritaskan penguasaan ilmu pengetahuan dengan menghiraukan aspek-aspek pembentukan karakter dan kepribadian peserta didik. Pembelajaran pun masih banyak yang menggunakan pendekatan konvensional, tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial budaya dan psikologi perkembangan  peserta didik.
Guru mempunyai peran sebagai teladan (model) bagi peserta didiknya. Ada semboyan untuk guru “digugu lan ditiru” semboyan ini mempunyai makna filosofi yang cukup dalam.  Seorang guru seharusnya mampu memposisikan diri sebagai seorang yang ucapannya pantas digugu (dipercaya) dan perbuatannya layak untuk ditiru (diteladani). Menurut hemat penulis guru mempunyai tiga fungsi yang sangat fundamental dalam proses internalisasi nilai-nilai budaya dan karakter bangsa.
Pertama: Guru perperan sebagai agent transfer of knowledge, seorang guru harus mampu memposisikan diri sebagai fasilitator bagi peserta didiknya, untuk menguasai konsep dasar ilmu pengetahuan sehingga peserta didiknya mempunyai kematangan secara kognitif. Kedua: Guru sebagai agent transfer of value, pada posisi ini guru sebagai “al-muaddib” (pendidik) yang berarti bertanggung jawab atas perkembangan karakter dan moral peserta didiknya. Guru harus mampu menjadi teladan serta mampu membimbing dimanapun ia berada. Ketiga guru sebagai al-Walid (orang tua), yaitu menggantikan peran orang tua di rumah. Menurut Imam Ghozali pada hakekatnya guru yang paling utama adalah orang tua dirumah, tetapi karena kesibukan orang tua maka pendidikan anaknya diserahkan kepada guru (sekolah). Guru diharapkan mampu menjadi orang tua di sekolah, yaitu sebagai pembimbing, sebagai pelindung, dan sebagi tempat untuk mencurahkan isi hati yang berkaitan dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh peserta didiknya.
Dengan memaksimalkan tiga peran fundamental guru tersebut secara konsisten, diharapkan lembaga pendidikan di Negeri ini akan mampu menghasilkan manusi-manusia  berkarakter yang mampu memperbaiki kondisi bangsa ini ke depan. Insya allah.

                                             ———————– *** ———————–

Rate this article!
Tags: