Memandang PBB Secara Proporsional

Najamuddin KhairurrijalOleh:
Najamuddin Khairur Rijal
Staf Pengajar Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

Pidato Presiden Joko Widodo saat membuka Peringatan 60 Tahun Konferensi Asia Afrika (22/4) menuai pujian. Dalam pidatonya, Presiden mendesak dilakukannya reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Harapannya, agar dapat berfungsi sebagai organisasi dunia yang mendorong keadilan bagi semua bangsa. “Sementara makin kuat terlihat bahwa PBB tidak bisa melakukan apa-apa,” katanya.
Banyak pihak yang memuji keberanian Presiden atas desakannya pada reformasi PBB. Kata mereka, tidak banyak pemimpin yang berani bersuara lantang mengkritik international body seperti PBB. Bahkan, tidak hanya PBB, Presiden Jokowi juga menyatakan bahwa, “Pandangan yang mengatakan bahwa persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh Bank Dunia, IMF, dan ADB adalah pandangan yang usang dan perlu dibuang.”
Namun, di tengah angin pujian atas pidato itu, di sela-selanya juga muncul badai kritik, terutama di media sosial. Bagi pengkritiknya, Jokowi dituding plagiat! Pasalnya, pidato untuk mereformasi PBB, katanya, hasil contekan dari pidato Prof. Dr Makarim Wibisono. Dalam pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya (11/4), Makarim menyampaikan orasi mengenai perlunya reformasi PBB, yang kurang lebih senada dengan apa yang dikemukakan Jokowi.
Bukan Hal yang Baru
Rasanya tidak adil untuk berlebihan memuji pidato Jokowi itu. Sebab, ide reformasi PBB bukanlah gagasan orisinal Jokowi, dan bukan pertama kali terlontarkan. Tidak adil juga jika menyebut bahwa pidato Presiden adalah hasil plagiat. Itu karena ide dan gagasan reformasi PBB memang bukanlah sesuatu yang baru. Sudah banyak tulisan dan pandangan akademisi mengenai perlunya organisasi PBB direformasi. Hal tersebut mengingat politik global telah berubah dan jauh berbeda dari background awal kelahiran PBB pada tahun 1945.
PBB memang banyak dikritik atas beberapa ketidakberdayaannya dalam menciptakan perdamaian dan keamanan dunia. Patut diingat, lahirnya PBB dimotivasi oleh tujuan untuk menciptakan perdamaian dunia dan keamanan internasional pasca kehancuran akibat Perang Dunia (PD) II. Namun, PBB tampak tidak berdaya ketika beberapa aksi kekerasan di berbagai negara terjadi. Sebut saja sebagai misal, pembantaian terhadap warga Palestina yang terus terjadi, genosida di Kosovo, Rwanda, Serbia, dan lainnya. Juga tindakan unilateral Amerika Serikat menyerang Afghanistan dan Irak.
Namun, juga tidak adil jika menutup mata pada kisah kesuksesan PBB. Pada sisi lain, PBB punya banyak cerita sukses, terutama dalam upaya resolusi konflik. Setidaknya, kesuksesan utama PBB dalam enam puluh tahun eksistensinya adalah berhasil mencegah pecahnya PD III. Berbeda dengan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang lahir pada 1920 atas trauma melihat kekejaman PD I, namun dalam harus bubar karena tidak berdaya mencegah terjadinya PD II.
Masalahnya kemudian adalah, dalam hal apa PBB perlu direformasi dan bagaimana mereformasinya? Sudah terlalu sering desakan atas reformasi PBB dilayangkan. Namun, tidak banyak yang mengajukan solusi how to reformasi itu dilakukan. Sebab, seruan reformasi PBB tidak mudah diwujudkan. Presiden Jokowi juga tidak mengajukan rumusan how to dalam usaha mereformasi PBB. Jokowi hanya menegaskan perlunya negara-negara Asia-Afrika mengambil peran yang lebih besar dalam tata dunia global.
Global Governance
Menyoal eksistensi PBB yang dalam beberapa kasus yang nampak tak berdaya, perlu diingat bahwa PBB merupakan global governance. Konsepsi global governance muncul sebagai respons terhadap situasi sistem internasional yang anarki, di mana tidak ada kekuasaan tunggal. Karena itu, negara-negara memiliki kesadaran untuk membangun tata dunia yang aman dan damai dengan memandang perlunya institusi internasional yang “mengatur” masyarakat internasional. Pada titik inilah, keberadaan PBB merupakan sebuah kesadaran kolektif atas perlunya mekanisme, norma, aturan, dan manajemen hubungan antara negara dan aktor-aktor lain.
PBB dibentuk untuk menciptakan perdamaian dunia dan keamanan internasional sebagaimana tertuang dalam UN Charter. Hakikat dasar dari keberadaannya adalah menjadi institusi global di mana negara-negara membicarakan dan menyelesaikan konflik dan masalah yang terjadi. Akan tetapi, patut ditegaskan, sebagai global governance PBB bukanlah pemerintahan dunia (world atau global government). PBB tidak memiliki kekuatan memaksa dan mengikat secara hierarkis sehingga setiap negara harus tunduk dan patuh pada segala aturan dan keputusannya. Governance is not government.
Dalam posisinya yang demikian, PBB jelas memiliki kekuatan dan kelemahan tersendiri. Untuk memahami tugas dan fungsinya serta bagaimana efektivitas peran dan relevansi keberadaannya, PBB perlu dipandang tidak semata-mata sebagai organisasi internasional (formal organization) per se. PBB bukan sekadar aktor yang harus terlibat langsung dalam setiap potensi ancaman bagi perdamaian dan keamanan internasional.
Jika PBB dikritik akibat ketidakmampuan perannya dalam mencegah atau mengantisipasi beragam konflik dan kekerasan, maka hal itu menjadi dilematis. Sebab, masyarakat internasional memegang adanya prinsip nonintervensi (non-intervention) yang tidak memungkinkan institusi atau aktor manapun melakukan intervensi atas apa yang terjadi dalam domestik suatu negara. Prinsip nonintervensi ini dalam perkembangannya juga menciptakan posisi dilematis, apakah perlu melakukan intervensi atas nama kemanusiaan (humanitarian intervention) atau tidak. Dalam posisinya sebagai aktor, maka sangat terbuka memang bagi PBB untuk dikritik.
Namun, PBB juga perlu dipandang rezim internasional. Keberadaan rezim diperlukan dalam mengelola hubungan antar aktor-aktor internasional terkait persoalan-persoalan yang tidak bisa diselesaikan hanya oleh satu atau beberapa negara. Rezim internasional adalah sebuah instrumen yang memfasilitasi kesepakatan melalui penyediaan norma, prinsip, aturan, dan prosedur yang mengatur perilaku aktor-aktor internasional terkait isu-isu tertentu.
Dalam posisinya sebagai rezim, PBB memiliki legal standing untuk menetapkan prinsip-prinsip (ordering principle) hubungan internasional serta mengatur mekanisme, norma, prinsip, kaidah, aturan, komitmen, manajemen atau apapun mengenai apa yang perlu dilakukan dan tidak boleh dilakukan masyarakat internasional guna menciptakan kehidupan dunia yang lebih baik. Sebagai ordering principles, PBB merupakan identitas global serta simbol kesadaran masyarakat internasional untuk bekerja sama, goes hand by hand. Oleh sebab itu, PBB perlu dipandang secara proporsional. Tidak seolah-olah tugas untuk menciptakan perdamaian dan keamanan dunia sepenuhnya ada pada organisasi itu. Apalagi karena posisinya yang memang bukan global government, melainkan global governance. Kelahirannya memang bukan untuk diberi otoritas sebagai pemerintah dunia dan karena itu kekuasaannya tidak hierarkis.

                                                                                                                          –———- *** ————

Rate this article!
Tags: