Memanfaat Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana

Pendongen cerita Smong Agus Nur Amal bersama Yoko Takafuji dari Wako University, Jepang bercerita tentang mitigasi bencana dengan pendekatan kearifan lokal di Unitomo, Senin (9/10) [adit hananta utama/bhirawa]

Surabaya, Bhirawa
Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh memiliki kesenian Nandong berupa seni bernyanyi dan bertutur diiringi gendang tetabuhan. Kesenian itu diajarkan turun-menurun sebagai sikap tanggap bencana masyarakat yang dirawat selama ratusan tahun.
Pada salah satu Nandong terdapat kisah Putra Smong (tsunami). Ceritanya memberi peringatan akan munculnya tsunami setelah gempa bumi. Ciri-ciri yang bisa ditangkap sebelum muncul tsunami, antara lain air laut surut tiba-tiba, air sumur surut, suara burung hilang, hingga hewan sapi dan kerbau lari ke bukit. Dengan demikian, masyarakat diminta segera mencari tempat tinggi.
Kearifan lokal Kabupaten Simeulue itu diajarkan kepada mahasiswa Universitas Dr Soetomo (Unitomo) Surabaya, di sela seminar budaya terkait pengetahuan tentang siaga bencana, Senin (9/1). Tradisi lokal di Indonesia itu lalu dibandingkan dengan cerita bergambar (Kamishibai), budaya khas Jepang.
Agus Nur Amal, pendongeng cerita Putra Smong mengatakan, cerita Smong diambil dari kisah nyata peristiwa tsunami tahun 1907 di Simeulue. Sejak saat itu, kisahnya diajarkan orang tua kepada anak secara turun temurun. “Orang tua bercerita pada saat anak mau tidur, ketika berladang, bahkan melalui seni pertunjukkan,” katanya.
Ketika peristiwa tsunami besar terjadi tahun 2004 lalu, mayoritas warga Simeulue selamat. Hanya tujuh orang yang meninggal dunia dari total 30 ribu penduduk. “Padahal hampir 60 persen warga tinggal di bibir pantai. Mereka tanggap bencana karena cerita Smong,” jelasnya.
Yoko Takafuji dari Wako University, Jepang, mengungkapkan, pasca gempa bumi dan tsunami di Samudera Hindia Tahun 2004, peneliti dari Pusat Kajian Wilayah Asia, Universitas Rikkyo Jepang bekerjasama dengan Universitas Wake Jepang melakukan serangkaian penelitian. Yaitu mengenai tradisi cerita terkait bencana yang hidup di Simeulue, Aceh yang masih berjalan hingga sekarang.
“Kami menyadari lamanya rentang waktu terjadinya bencana alam ke waktu kejadian berikutnya bisa 100 tahun. Karena itu, kami memikirkan metode agar masyarakat dapat melindungi dirinya sendiri tanpa melupakan kemungkinan terjadinya bencana di masa akan datang,” ujarnya.
Dalam penelitian yang mereka lakukan, ditemukan budaya setempat berpotensi besar dalam mengurangi bencana. Banyak kisah atau tradisi lokal yang dapat diangkat secara nasional sebagai bahan pendidikan mengurangi bencana. Salah satunya adalah kisah Putra Smong, nama seorang anak asli Simeulue yang berarti “Putra Tsunami’.
“Hal ini menunjukkan adanya kemauan untuk mewariskan pengetahuan bencana kepada generasi berikutnya. Seminar budaya mengurangi bencana ini akan menumbuhkan kesadaran akan kesiagaan dalam menghadapi bencana agar masyarakat dapat mengambil langkah-langkah yang tepat,” ungkapnya.
Rektor Unitomo Bachrul Amiq menjelaskan, kegiatan ini merupakan tindak lanjut kerjasama yang sudah dijalin dengan Wako University terkait kebencanaan. “Dosen kami sudah ke sana, sekarang giliran Wako University yang paparan,” ungkapnya. Menurut dia, sejak tiga tahun berdirinya Pusat Studi Bencana dan Lingkungan di Unitomo, pihaknya berdiri di garda depan siaga bencana [dit]

Tags: