Memangkas “Meja” Perizinan

karikaturPresiden Jokowi memerintahkan penghapusan beberapa jenis perizinan. Lima jenis izin yang akan ditiadakan, dianggap sebagai hambatan investasi selama ini. Sekaligus sebagai sumber pungli (pungutan liar), berujung ekonomi biaya tinggi. Tetapi kelima perizinan terlanjur menjadi salahsatu “tambang” uang daerah, sebagiannya masuk dalam PAD (Penghasilan Asli Daerah). Dus, PAD kabupaten dan kota (serta pemerintah Propinsi) akan berkurang.
Lima jenis perizinan yang akan dihapus, adalah HO (Hinder Ordonantie, izin gangguan), serta izin tempat usaha, izin lokasi, izin prinsip, dan izin amdal. Tidak mudah memperoleh kelima izin itu. Izin HO misalnya, diperlukan tandatangan warga masyarakat sekitar tempat usaha. Tak jarang pengurus kampung tingkat RT (rukun tetangga), turut “bermain.” Begitu pula izin tempat usaha, urusannya di kelurahan. Sedangkan izin lokasi urusannya pada Pemerintah Kabupaten dan Kota.
Dalam hal perizinan, Pemerintah Propinsi juga memiliki kewenangan berdasar UU. Yakni, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Antaralain izin pertambangan. Sedangkan amdal, juga tidak mudah, sebagiannya menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten dan Kota. Seluruh jenis perizinan itu, harus diakui, menyuburkan percalon. Karena investor tak ingin ribet. Namun sering menjadi masalah, ketika suatu usaha mulai beroperasi.
Paket kebijakan untuk menggairahkan roda perekonomian, terus digagas oleh pemerintah. Sebenarnya, tekad memperpendek birokratisasi perizinan merupakan bagian dari paket kedua. Sudah diumumkan pada bulan September 2015 lalu, tentang kemudahan izin investasi. Konon, izin penanaman modal (akan) bisa selesai hanya dalam tiga jam. Bisa ditunggu bagai membuat pas-photo. Ini janji pemerintah untuk menggairahkan iklim investasi.
Berbagai usaha yang di-modali investasi dalam negeri maupun modal asing, langsung bisa realisasi. Walau disadari janji ini tidak mudah. Harus diakui, masih banyak suap dan pungutan di bawah meja, menjadi kelaziman. Bukan hanya ketika berhadapan dengan birokrasi. Melainkan juga pemburu rente (commitment fee) kalangan rezim. Juga “serbuan” jajaran legislatif, sampai pensiunan pejabat tinggi. Sudah menjadi pembicaraan publik, bahwa perusahaan BUMN pun, harus menyetor “upeti” untuk memenangkan tender proyek pemerintah.
Melalui berbagai sidang pengadilan Tipikor (tindak pidana korupsi), “upeti” terungkap, dan nyata-nyata telah menjadi penghambat realisasi usaha. Seluruh pengusaha, termasuk BMUN, mesti meng-ancang-ancang ongkos suap sebagai biaya produksi. Nilai pungutan liar ditaksir berkisar antara 14% hingga 23% dari total biaya produksi.
Akibatnya, harga jual produk (barang maupun jasa) lebih mahal. Itu yang menyebabkan produk dalam negeri tidak kompetitif. Hambatan gerak perekonomian, bukan hanya pada banyaknya “meja” yang harus dilalui. Tetapi berlanjut pada saat realisasi usaha, termasuk pada sekto distribusi. Misalnya, proses ekspor dan impor masih harus melalui perizinan berbagai Direktorat Kementerian. Tidak gratis pula (selain retribusi dan pajak).
Pemangkasan lima perizinan oleh presiden, masih dalam tataran wacana. Belum tertuang dalam Peraturan Presiden maupun Inpres. Pada masa lalu, banyak Inpres tidak digubris oleh Kementerian. Diperlukan pengawasan sistemik oleh tim yang dibawahkan oleh Menko Perekonomian. Boleh jadi, secara rahasia, daerah tetap men-syarat-kan kelima izin yang dicabut. Misalnya diselipkan sebagai syarat tambahan, sesuai kewenangan Pemda.
Berbagai perizinan tersebut tidak menyokong PAD cukup signifikan di daerah. Sehingga tidak mempengaruhi pendapatan asli daerah. Sebaliknya, pemangkasan “meja” berbagai izin usaha, sangat strategis untuk menekan biaya produksi. Kelima perizinan yang bakal dipangkas, bisa menghemat ongkos ongkos produksi sampai 30%.
Hasil penghematan bisa dikonversi pada upah buruh (yang masih sekitar 12% ongkos produksi). Bisa pula untuk menggiatkan CSR (Corporate Social Responsibility, tanggungjawab sosial perusahaan) yang juga diamanatkan oleh UU.

                                                                                                                            ——– 000 ——–

Rate this article!
Tags: