Memangkas Peraturan Penghambat Laju Perekonomian

(Regulasi Berguguran Efek Omnibus Law)

Oleh :
Yunus Supanto
Wartawan Senior Pengiat Dakwah Sosia Politik

Pemerintah telah menyelesaikan naskah akademik (NA) omnibus law (penyederhanaan undang-undang). Konsep omnibus law akan memangkas 74 undang-undang (UU) menjadi hanya dua regulasi “induk.” Yakni, UU bidang penciptaan lapangan kerja (investasi), dan Pemberdayaan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah). Omnibus law, niscaya akan berimbas pada Peraturan Daerah (Perda) Propinsi serta Perda Kabupaten dan Kota.
Akan terjadi perubahan besar pada prolegda (Program Legislasi Daerah). Karena seluruh Perda, selalu ber-induk pada UU. Setiap Perda dalam klausul “mengingat” selalu berpijak pada UU. Bahkan setiap Perda bagai selalu berdasar “perintah” UU, dengan menunjuk Nomor UU secara spesifik. Sehingga dengan me-niadakan 74 UU, akan banyak Perda kehilangan pijakan hukum yang lebih tinggi. Kehilangan pijakan hukum, berarti tidak sah. Harus dibuat Perda baru dengan menunjuk Nomor UU yang baru pula.
Dua Rancangan UU “induk” segera didaftarkan ke Sekretariat Jenderal DPR-RI, masuk dalam prolegnas (Program Legislasi Nasional) tahun 2020. Sehingga pada awal tahun 2020, sudah bisa dibahas komisi-komisi di DPR. Bisa jadi DPR akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) lintas komisi. Karena Rancangan UU “induk” bersifat lintas sektoral. Misalnya, RUU Penciptaan Lapangan Kerja, akan melibatkan Komisi IX, bersinergi dengan Komisi VI yang mengurusi sektor industri dan investasi. Serta Komisi X yang mengawasi Kementerian Pariwisata.
“Sedikit-sedikit diatur, itu bisa mempersulit kita sendiri,” kata Presiden. Terasa sudah semakin banyak peraturan “tidak ramah” investasi. Berpotensi menjadi penghalang percepatan pertumbuhan ekonomi. Sekaligus menghambat masuknya investasi asing, dan pembukaan usaha kerakyatan. Berujung menghambat upaya penciptaan lapangan kerja. Termasuk UU (undang-undang) yang mempersulit iklim usaha, karena banyak “meja” perizinan yang harus dilalui.
Bahkan tak jarang, regulasi menjadi ladang transaksi kolusi, korupsi, dan nepotisme KKN). Berbagai peraturan, terutama Perda (Peraturan Daerah) propinsi maupun kabupaten dan kota, juga menjadi faktor pelambatan perekonomian. Antara lain perizinan tambang skala kecil (galian C), sampai skala besar (mineral, minyak dan gas bumi, serta logam). Seluruhnya sangat sulit (berbelit-belit), sangat lama, dan mahal.
Terdapat kluster sektor yang akan diatur dalam omnibus law. Terutama penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, kepastian hukum, pengadaan lahan, dan transparansi administrasi pemerintahan. Juga tentang kawasan ekonomi. Izin penanaman modal (akan) bisa selesai hanya dalam tiga jam. Bisa ditunggu bagai membuat pas-photo. Ini janji pemerintah untuk menggairahkan iklim investasi. Termasuk “sokongan” investasi pada sektor UMKM (Usaha Mikro Kecil dan Menengah).
Gurem VS Korporasi
Ekonomi kreatif telah tumbuh pesat seiring informasi global. Namun UMKM masih terbelenggu akses (persyaratan) kredit permodalan yang tidak bank-able. Bahkan perkembangan kredit usaha rakyat (KUR) masih jauh tertinggal dibanding kredit korporasi. Padahal UMKM merupakan pilar utama perekonomian. Memberi kontribusi sebesar 61%, dan menyerap tenaga kerja sebesar 96,99%. Juga menyumbang ekspor non-migas sampai 15,68%.
Pada tahun 2019 (sampai bulan Mei), realisasi KUR mencapai Rp 65,5 trilyun, hanya terealisasi 46,8% dari total Rp 140 trilyun. Ironisnya, KUR hanya terasa di Jawa. Yakni, Jawa Tengah (tersalur Rp 11,938 trilyun), Jawa Timur (Rp 11,777 trilyun), dan Jawa Barat (Rp 8,155 trilyun). Selebihnya, KUR tersalur di Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Pada triwulan terakhir (Oktober – Desember 2019), realisasi KUR akan mencapai lebih dari 90%.
Pada tahun 2020, pemerintah berkeinginan menambah pagu KUR sampai sebesar Rp 190 trilyun. Sehingga perlu percepatan “perburuan” debitur, sejak awal tahun. Berdasar psikologi debitur kerakyatan, KUR mulai dibutuhkan pada musim tanam pertama (pada pertengahan November). Serta dua bulan menjelang hari raya Idul Fitri (April 2020), sekaligus musim tanam kedua. Sulitnya akses permodalan UMKM juga disebabkan definisi skala usaha kecil.
Maka penguatan skala usaha mikro (gurem) dan kecil, perlu merevisi UU Nomor 20 tahun 2008 tentang UMKM. Misalnya, pada pasal 6 ayat (2), kriteria “usaha kecil,” memiliki kekayaan bersih Rp 50 juta hingga Rp 500 juta (tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha). Serta omzet setahun sebesar Rp 300 juta sampai Rp 2,5 milyar. Menurut pemahaman masyarakat, modal (minimal Rp 50 juta) itu sudah tergolong usaha menengah.
Begitu pula usaha mikro (gurem) dengan kriteria permodalan “paling banyak” sebesar Rp 50 juta, sering digunakan sebagai plafon bawah. Sehingga permodalan kurang dari Rp 50 juta, tidak dapat meng-akses kredit permodalan. Banyak usaha mikro dimulai dengan modal Rp 10 juta (sudah termasuk gerobak dorong). Bahkan banyak usaha online dimulai dengan bekal smart-phone (murahan), ditambah “kepercayaan” rekanan sesama usaha gurem.
Per-bank-an nasional (BUMN), dan BUMD yang di-amanati permodalan dam pertanggungan (asuransi), seyogianya juga menjadikan “kepercayaan” sebagai kriteria utama. Kebangkitan usaha gurem (mikro) akan menjadi pengharapan keluarga dengan pendidikan rendah (sekaligus miskin). Seluruh anggota keluarga bahu membahu menjalankan usaha, dengan permodalan yang disokong pemerintah (dan daerah). Sektor UMKM akan menjadi primadona regulasi “induk.”
Konsep usaha trickle down effect, korporasi besar yang diharapkan dapat meneteskan efek perekonomian pada usaha gurem, ternyata tak terealisasi. Tidak merembes. Bahkan usaha gurem dan kecil, harus bersaing sengit dengan korporasi. Ke-gagal-an trickle down effect, pernah dinyatakan dalam debat Cawapres (2018) oleh KH Ma’ruf Amin.
Kewenangan Pembatalan
Maka wajar pucuk pemerintahan bertekad membuat dua UU yang akan menjadi “induk.” Puluhan regulasi, termasuk Peraturan Pemerintah (PP), Perpres (Peraturan Presiden), dan Permen (Peraturan Menteri) akan terhapus, menyesuaikan dengan paradigma UU “induk.” Ratusan regulasi dibawah UU akan terlikuidasi tahap kedua. Sebelumnya, pemerintah (pusat) telah pernah membatalkan 30-an ribu peraturan tingkat daerah dan tingkat pusat.
Diperkirakan masih sebanyak 42 ribu peraturan di daerah menghambat laju investasi. Pemangkasan regulasi menjadi keniscayaan, disesuaikan kebutuhan zaman. Namun tidak mudah. Antaralain, penetapan MK (Mahkamah Konstitusi) Nomor 56/PUU-XIV/2016, yang mencabut kewenangan Kementerian Dalam Negeri membatalkan Perda. Sehingga presiden sampai perlu meng-gagas kompetisi memangkas peraturan.
Berdasar UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, setiap daerah memiliki “pabrik” regulasi. Pasal 96 ayat (1) huruf a, dinyatakan DPRD Propinsi memiliki fungsi pembentukan Perda. Dipertegas lagi dalam pasal 97. Bahkan dalam pasal 98 ayat (1), tentang “pabrik” Perda, dinyatakan, “Program pembentukan Perda provinsi memuat daftar urutan dan prioritas rancangan Perda Provinsi yang akan dibuat dalam 1 (satu) tahun anggaran.”
Rata-rata setiap pemerintahan propinsi menghasilan (setidaknya) sebanyak 5 Perda. Sedangkan di tingkat kabupaten dan kota, menghasilkan 4 Perda. Seluruh Perda, wajib pula memiliki regulasi turunan, berupa Perkada (Peraturan Kepala Daerah). Perkada, diperlukan sebagai detail teknis dan penjabaran Perda. Harus diakui pula, pembahasan Rancangan Perda menjadi salahsatu pundi-pundi penghasilan anggota DPRD.
“Saya tahu, di dalam kunker itu ada apanya, di dalam studi banding itu ada apanya, saya ngerti,” begitu sindir Presiden. Karena setiap Rancangan Perda selalu ber-implikasi pada kunker kalangan eksekutif (Pemerintah Daerah), dan DPRD. Tiada Raperda tanpa kunker. Setidaknya berupa kunker studi banding ke daerah lain. Beberapa kali dilakukan kunker (Kunjungan kerja) pada setiap penerbitan Perda. Termasuk konsultasi ke pemerintah pusat (Kementerian terkait).
Bahkan banyak kunker ke luar negeri dilakukan kalangan DPRD. Bagai pepatah, “banyak Perda banyak rezeki.” Tiada yang dapat meng-halangi pula, karena menjadi hak dasar DPRD. Pada pemerintahan pusat, pembuatan UU merupakan amanat UUD pasal 20A ayat (1). Amanat ini diperkuat lagi pada UUD pasal 18 ayat (6), bahwa DPRD berhak menetapkan Perda dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
Maka, memangkas UU, PP, Permen, Perda dan Perkada, tidak mudah. Karena berkait dengan amanat konstitusi. Sekaligus penghasilan eksekutif, dan anggota legislatif. Boleh jadi, diperlukan tambahan penghasilan anggota DPR dan DPRD. Memangkas regulasi dilakukan kemudian.

——— 000 ———

Tags: