Memantik Kesadaran Masyarakat dalam Perlindungan Perempuan dan Anak

Kepala Desa Loceret, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Hj Witri Januarista SPt MAgr, saat memberikan pengarahan dalam acara Bimbingan Keluarga Rempah (Keluarga Remaja Paling Amanah dan Harmonis).

Perlindungan terhadap perempuan dan anak kembali menjadi perhatian beberapa tahun terakhir. Sejumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual mencuat, menjadi bukti pentingnya upaya perlindungan yang maksimal.

Sebagai seorang ibu, Hj Witri Januarista SPt MAgr tak bisa menutupi kesedihan saat mendengar, salah satu warganya ada yang menjadi korban pelecehan seksual. Apalagi korban merupakan anak yang masih di bawah umur, berinisial M berusia 15 tahun.

Witri yang sehari-hari menjabat Kepala Desa Loceret, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk ini pun mengambil tindakan cepat dengan memanggil ibu korban. Namun betapa kagetnya dia, saat melihat ekspresi ibu korban yang tidak ada rasa sedih, dan masih bisa tersenyum melihat putrinya menjadi korban kekerasan seksual. Padahal M terlihat mengalami trauma.

“Saya dengar ada warga yang menjadi korban pelecehan seksual dari orang lain. Saat pertama kali dengar itu perasaan saya campur aduk. Sedih, marah, jengkel melebur jadi satu. Akhirnya ibunya saya panggil ke rumah untuk mendengar ceritanya seperti apa. Namun saya keget karena ekspresi ibunya biasa-biasa saja,” ujar Witri, saat dikonfirmasi, Kamis (23/6/2022).

Begitu pula saat Witri menyarankan agar melapor ke kepolisian atau ke Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos dan PPPA) Nganjuk, ibu korban tidak berkenan meski sudah dibujuk. Witri tidak tahu kenapa ibu korban begitu tidak peduli. Apakah karena ada tekanan atau tidak, Witri tidak bisa memastikannya.

“Akhirnya saya konsultasi ke suami, yang kebetulan seorang polisi yang paham undang-udang dan pasal-pasalnya. Setelah melakukan pertimbangan, akhirnya saya mengikuti keputusan ibu korban yang tidak melapor ke kepolisian,” katanya.

Meski tidak melapor ke pihak berwajib, bukan berarti Witri tinggal diam. Dia mendatangi salah satu perguruan silat di Nganjuk, dimana terduga pelaku berada di bawah naungannya. Dalam pertemuan itu, ketua dari perguruan silat tersebut berjanji akan mengeluarkan keanggotaan terduga pelaku dari perguruan silat tersebut.

“Terduga pelaku dan korban memang dalam satu wadah perguruan silat. Keduanya juga warga Desa Loceret. Terduga pelaku adalah pelatih silat korban. Saat kami koordinasi dengan ketua perguruan silat itu, sempat ada pembelaan jika korban dikenal anak yang nakal. Namun saya jelaskan, bagaimanapun anak tetaplah anak yang dilindungi undang-undang. Apalagi terduga pelaku adalah orang dewasa,” papar suami Aipda Veddy Hari Kurniawan SH ini.

Kepala Desa Loceret , Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, Hj Witri Januarista SPt MAgr juga menggelar sosialisasi dan deteksi dini kanker serviks secara gratis bagi ibu-ibu Desa Loceret.

Berikan Efek Jera
Kasus itu, kata ibu dua orang anak perempuan ini, belum lama kejadiannya. Yakni pada Maret 2022 lalu. Dalam waktu dekat, lanjut Witri, akan ada pertemuan bersama antara korban, ibu korban, terduga pelaku, orang tua terduga pelaku dan penanggung jawab perguruan silat.

“Saya inginnya ada efek jera dengan menekan pihak perguruan silat agar memberikan sanksi pencopotan dari keanggotaan. Dan dari pihak desa akan membuat surat pernyataan tidak mengulanginya lagi. Jika terulang, terduga pelaku harus pergi dari Desa Loceret selamanya,” tegas kepala desa yang sudah menjabat dua periode ini.

Di Desa Loceret, jelas perempuan 34 tahun ini, pada periode pertama dia menjabat kepala desa, juga pernah ada kasus kekerasan yang menimpa salah satu perempuan. Kasus ini masuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Sang suami sering melakukan pemukulan terhadap istrinya jika sedang marah. Pertengkaran dipicu karena si suami diduga melakukan perselingkuhan. Karena masalah itu, sering terjadi percekcokan yang dibarengi dengan kekerasan fisik seperti menampar.

“Namun alhamdulillah, setelah kita lakukan mediasi, kita damaikan akhirnya tidak jadi bercerai. Sampai sekarang keluarga tersebut hidup rukun dan tidak pernah ada KDRT lagi,” ungkapnya.

Agar kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak terjadi di Desa Loceret, sebenarnya Witri telah melakukan berbagai hal. Seperti memantik kesadaran masyarakat dengan menggencarkan sosialiasi. Bahwa perempuan dan anak itu keberadaannya dilindungi undang-undang. Barang siapa yang melihat dan mengetahui ada tindak kekerasan harus melaporkan, karena jika tidak bisa dipidanakan karena dianggap mengetahui.

“Selama saya menjabat sudah tidak ada diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Terbukti jika ada kegiatan selalu melibatkan perempuan. Kami juga ada program khusus perempuan seperti pemeriksaan pap smear atau deteksi dini kanker serviks, USG untuk ibu hamil guna mencegah stunting. Itu semua gratis menggunakan dana desa,” jelas kepala desa yang menjabat sejak 2013 lalu ini.

Tak hanya itu, Witri juga melibatkan bapak-bapak dalam mendukung program pemerintah desa. Seperti dengan melibatkan laki-laki ke Kader Kesehatan dan Pokja di PKK.

“Dulu di desa saya, anak perempuan usia 15 tahun sudah dinikahkan. Kemudian saya lakukan sosialisasi disetiap momen seperti pengajian, arisan atau acara PKK. Memberikan penjelasan bahwa menikahkan anak di bawah umur itu bahaya untuk kesehatan dan rentan terjadi konflik. Alhamdulillah sekarang masyarakat sudah sadar dan tidak ada yang menikahkan anak putrinya di bawah umur,” tandasnya.

Luput dari Perhatian
Bisa jadi, kasus kekerasan seksual pada M di Desa Loceret luput dari perhatian Pemkab Nganjuk. Sebab menurut pengakuan Witri, kasus tersebut tidak banyak yang tahu, bahkan perangkat desa pun tak semua mengetahui dan juga tidak terendus media.

Seandainya ibu korban mau melapor ke kepolisian atau Dinas Sosial, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Dinsos PPPA) Kabupaten Nganjuk, pasti akan menambah deretan jumlah kekerasan perempuan dan anak di Nganjuk, yang jumlahnya mencapai ratusan kasus per tahun.

Menurut Kepala Dinsos PPPA Nganjuk, Nafhan Tohawi SH MH, jumlah kekerasan perempuan dan anak mencapai 113 kasus pada 2020. Jumlah ini mengalami kenaikan pada 2021 dengan jumlah 156 kasus. Sedangkan hingga Mei 2022, jumlahnya sebanyak 23 kasus.

“Kasusnya seperti kekerasan seksual, KDRT, perundungan, kekerasan psikis dan fisik, penelantaran dan pornografi,” jelas Nafhan.

Jika mengetahui ada kekerasan perempuan dan anak, kata Nafhan, Pemkab Nganjuk langsung melakukan tindakan. Seperti memberikan pelayanan baik secara hukum, mediasi bila diperlukan dan pendampingan melalui peran P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak) dan PKSAI (Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif ), dengan memberikan layanan melalui rumah aman/shelter, layanan konseling, pendampingan melalui WCC (Woman Crisis Centre), PUSPAGA (Pedoman Pusat Pembelajaran Keluarga) dan layanan pekerja sosial (peksos).

“Kami memang mengajak stakeholder untuk melakukan pencegahan kasus perempuan dan anak. Seperti dengan Tim P2TP2A, WCC, Puspaga, Sakti Peksos, PPA Polres, LPA Kabupaten Nganjuk dan RS Bhayangkara,” ujar Nafhan.

Nafhan mengatakan, Pemkab Nganjuk dalam hal ini Dinsos PPPA telah melakukan berbagai tindakan untuk mencegah terjadinya kekerasan perempuan dan anak. Seperti membuat kebijakan berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Perlindungan Perempuan dan Anak, Perda Nomor 1 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kabupaten Layak Anak, dan membentuk P2TP2A dengan SK Bupati.

Selain itu, juga melaksanakan kegiatan pencegahan antara lain melakukan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak (KTPA) di tingkat kecamatan. Roadshow perlindungan perempuan dan anak di lembaga pendidikan, bekerja sama dengan lembaga masyarakat dan organisasi perempuan agar kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak terjadi di Nganjuk

“Kami juga menginisiasi pelayanan terpadu PPA di tingkat desa/kelurahan antara lain; Pojok Pengaduan PPA bekerja sama dengan TP PKK dan PATBM lainnya. Publikasi di media massa, melalui radio, surat kabar, baliho, dan media osial Instagram,” katanya.

PPRG Desa dan DRPPA
Di Jawa Timur, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak pada 2021 yang terlapor dalam Simfoni, aplikasi yang dimiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), jumlahnya mencapai 668 kasus. Kejadiannya menyebar di 38 kabupaten/kota.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan (DP3AK) Provinsi Jatim, Restu Novi Widiani mengatakan, sebagian besar kasus tersebut berupa kekerasan seksual secara fisik, seperti pemerkosaan atau sentuhan. Selain itu juga ada verbal atau ucapan.

“Pemprov Jatim akan terus melakukan sosialisasi dan edukasi untuk pencegahan kekerasan seksual, baik kepada perempuan maupun anak. Selain itu, menyediakan selter khusus perlindungan bagi para korban. Kita melakukan penanganannya secara terpadu,” tegasnya.

Pemprov Jatim, lanjut Novi, juga telah berkomitmen untuk mengembangkan Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA). Terlebih lagi DRPPA merupakan penguatan terhadap pelaksanaan Perencanaan dan Penganggaran Responsif Gender (PPRG) Desa. Baik PPRG Desa maupun DRPPA merupakan bagian perwujudan dari Perda Jawa Timur Nomor 9 Tahun 2019 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan.

Menindaklanjuti perwujudan tersebut, Bidang Kesetaraan Gender DP3AK Jatim telah melaksanakan Pertemuan Pengembangan Pelaksanaann PPRG Desa dan DRPPA di Kabupaten Nganjuk pada 25 Mei 2022 lalu.

“Nganjuk merupakan salah satu dari empat kabupaten lainnya di Jawa Timur yang telah berkomitmen mewujudkan DRPPA, yang di launching bersamaan dengan acara SAPA MAMA (Sekolah Perempuan Masyarakat Marginal) yang dilaksanakan pada akhir Maret 2022 lalu,” ujar Novi.

Dengan adanya Pertemuan Pengembangan Pelaksanaann PPRG Desa dan DRPPA di Nganjuk itu, jelas Novi, diharapkan para peserta dapat memahami tentang kebijakan dan strategi, pengarusutamaan gender dan perlindungan anak melalui PPRG Desa dan DRPPA.

“Telah terpilih enam desa yang menjadi daerah uji coba di Nganjuk. Yaitu Desa Loceret dan Desa Candirejo di Kecamatan Loceret; Desa Bareng dan Desa Margo Patut di Kecamatan Sawahan serta Desa Rejoso dan Desa Klagen di Kecamnatan Rejoso,” jelasnya.

Menurut Novi, dalam pertemuan itu menghadirkan peserta terdiri dari berbagai unsur di desa, kecamatan dan kabupaten untuk mendukung dan merencanakan, guna mencapai 10 indikator DRPPA secara sinergis.

Indikator tersebut yakni; adanya pengorganisasian perempuan dan anak di desa, tersedianya data desa yang memuat data pilah tentang perempuan dan anak, tersedianya Perdes/SK Kades tentang DRPPA, tersedianya pembiayaan dari keuangan desa dan asset desa yang digunakan untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, prosentase keterwakilan perempuan di pemerintah desa, badan permusyawaratan desa, lembaga kemasyarakatan desa dan lembaga adat desa.

Kemudian; adanya perempuan wirausaha/pelaku usaha di desa, semua anak mendapat pengasuhan berbasis hak anak, tidak ada kekerasan terhadap perempuan dan anak serta korban tindak pidana perdagangan orang, jumlah anak yang bekerja dan jumlah anak yang kawin/pernah kawin di bawah usia 18 tahun (pekawinan usia anak).

Sementara itu, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Partisipasi Masyarakat KemenPPPA, Indra Gunawan, saat acara webinar yang diselenggarakan Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) bekerjasama dengan KemenPPPA, yang membahas UU TPKS dan DRPPA pada akhir April 2022 lalu mengatakan, saat ini kementeriannya tengah sibuk mengembangkan DRPPA.

“Pengembangan DRPPA ini kita berkolaborasi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Sebab Pak Menteri Desa sangat konsen bagaimana meningkatkan Sustainable Development Goals (SDGs) di tingkat desa,” ujar Indra.

Dalam DRPPA, kata Indra, ada banyak indikatornya. Salah satunya adalah mendorong implementasi lima arahan Presiden RI, seperti penghapusan kekerasan pada perempuan dan anak. “Arahan ini tentu sejalan dengan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang baru saja disahkan DPR RI,” tandasnya. [iib]

Tags: