Memasung Kesetaraan Difabel dalam Pendidikan

Oleh : Tuti Haryati, M.Pd
Pemerhati Inklusif dan Literasi sekolah
Kepala Sekolah SMP Islam Al Azhaar Tulungagung.

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menjamin tidak adanya perbedaan bagi setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan di jenjang pendidikan tinggi. Khusus bagi mahasiswa penyandang disabilitas, pasal 32 menyebutkan bahwa program studi dapat dilaksanakan melalui pendidikan khusus atau pendidikan layanan khusus bagi mahasiswa yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran.
Berdasarkan kenyataan yang ada, penulis masih merasakan bahwa diskriminasi bagi kaum difabel disabilitas (cacat fisik atau berkebutuhan khusus) dalam berkesempatan masuk ke Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi perhatian bersama. Pasalnya, banyak aturan yang membuat ketidakadilan hak kaum difabel untuk studi lebih tinggi.
Apalagi dalam Seleksi Nasional Masuk  Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) 2014. Salah satu syarat peserta SNMPTN tidak tunanetra, tidak tunarungu, tidak tunawicara, tidak tunadaksa, tidak buta warna baik keseluruhan maupuan sebagian. Sebuah aturan yang ” memasung “kesempatan kaum difabel, padahal belum di uji kompetensinya.
Oleh karena itu, Direktur Akademik Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Peni Wastutiningsih mengatakan kampusnya tetap berencana memberlakukan syarat khusus bagi pendaftar difabel, yang memilih jurusan tertentu, lewat SNMPTN. Pemberlakuan syarat, yang sempat menuai protes banyak aktivis difabel pada tahun lalu itu, tidak dihapus sepenuhnya (Tempo, 28/1)
Hal ini menunjukkan bahwa banyak sekali peserta didik yang menyandang disabilitas juga mempunyai prestasi. Seperti contoh Leonard Athesltone (siswa SLB/B Pangudi Luhur) Kembangan, Jakarta Barat yang mampu menjadi juara 1 Olimpiade Sains  Nasional (OSN) IPA tingkat Provinsi DKI dan Juara 2 OSN IPA tingkat Nasional tahun 2013. Prestasi tersebut menjadikan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) Serpong, Jakarta memberikan beasiswa belajar di Perguruan Tinggi (PT) tersebut.
Maka, wajar bila sebanyak 35 organisasi yang bergabung dalam Aliansi Masyarakat Difabel mengajukan somasi kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhamman Nuh. Dan, menuntut Mendikbud segera menghapus persyaratan SNMPTN yang mendiskriminasikan kaum difabel.
Berbagai alasan kemanusiaan,tidak tega, humanisasi  namun justru membuat sakit hati.  Banyak contoh kegigihan kaum difabel dalam menata dan berjuang  demi kehidupan seringkali mengalahkan manusia normal (tidak cacat). Meski kenyataanya, penentu kebijakan di PTN, juga sudah menyatakan bahwa kuota pembatasan/larangan  melanjutkan ke PT bagi kaum difabel.
Ibarat digebyah uyah podo asine, kaum difabel merasakan bahwa mereka masih diperlakukan dengan tidak adil. Dianggap kurang mampu untuk mengikuti tuntutan dari pihak PTN, atau merintangi dari proses kegiatan pendidikan di dalamnya. Maka gerakan protes masih muncul, sebab antara idealisme dan kenyataan  dilapangan tidak sepadan.https://joglosemar.co
Saat ini perjuangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) tengah merampungkan peraturan menteri (permen) yang mengatur ketentuan lebih lanjut mengenai program studi yang melaksanakan pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus sesuai amanat UU No.12 Tahun 2012. Kepala Seksi (Kasi) Sistem Pembelajaran Pendidikan Tinggi Kemdikbud, Eva Wani mengatakan Kemdikbud tengah menyusun permen tersebut, dan sedang dalam tahap finalisasi.
“Belum ditandatangani Mendikbud, karena kami masih dalam usaha meng-cover semua kebutuhan yang harus kami muat di situ, sehingga tidak ada yang tertinggal atau terabaikan,” jelas Eva saat audiensi dengan Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) di kantor Kemdikbud, Jakarta, (13/3/2014).
Eva menegaskan, perguruan tinggi tidak melakukan diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas untuk menempuh pendidikan tinggi. Hanya saja, tidak semua perguruan tinggi memiliki fasilitas untuk membantu kesulitan para penyandang disabilitas mengikuti perkuliahan. Karena itu, katanya, saat ini Kemdikbud sedang menghimpun data mengenai fasilitas dan sarana belajar yang dibutuhkan penyandang disabilitas dalam menempuh program studi.
“Perguruan tinggi mempunyai program studi yang bisa menerima para disabilitas karena ada macam-macam disabilitas, dan layanannya tidak sama. Fasilitasnya tidak sama,” ujar Eva.
Penyusunan permen dan pendataan tersebut, katanya, untuk menyukseskan diterapkannya pendidikan inklusi di perguruan tinggi. Direncanakan, pola pendidikan yang akan diterapkan bagi penyandang disabilitas di perguruan tinggi adalah pendidikan inklusi, bukan pendidikan luar biasa, sehingga mereka bergabung di satu kelas dalam mengikuti perkuliahan.
“Dalam penetapan (permen) ini kami tidak bisa segera menurunkan permen ke perguruan tinggi karena masih kami susun, termasuk petunjuk teknis dari masing-masing perguruan tinggi nantinya dalam menerima pendidikan inklusi,” tutur Eva.
Ia menambahkan, pada tahun 2013 Kemdikbud melalui Ditjen Pendidikan Tinggi sudah memfasilitasi empat perguruan tinggi untuk membuka pusat layanan disabilitas, yaitu di Universitas Brawijaya, Universitas Negeri Surabaya, Universitas Pendidikan Indonesia, dan Universitas Negeri Jakarta. Kemdikbud juga akan memberikan dana hibah kepada perguruan tinggi lain untuk membangun pusat layanan disabilitas.
Gambaran permasalahan dalam membenahinya ini, sangat berbeda dengan kenyataan yang ada di PTN/ PTS. Perlunya pengawalan yang berkelanjutan sangat menjunjungi tinggi keilmuan yang akan didapat dan di berikan oleh siapapun. Jangan sampai perbedaan yang selalu meremehkan difabel. Penguatan konsolidasi merupakan perwujudan pemerintah dalam mengawal dishabilitas untuk sama-sama mendapatkan haknya dalam menuntut ilmu. Tidak terkecuali bagi  mereka yang tidak diberikan kekurangan secara fisik.

                                                                                  ————— * * * —————-

Tags: