Membaca Ancaman Black Campaign dalam Pilpres

Oleh :
Bagis Syarof
Mahasiswa hukum tata negara UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Penghuni gubuk penulis Garawiksa Institute) 

Fase ampanye pemilihan Presiden (Pilpres) sudah berlangsung. Tim sukses dari kelompok koalisi, Jokowi-Ma’ruf (JAMIN) dan kelompok oposisi, Prabowo-Sandi (PAS), sudah melakukan berbagai persiapan (preparation) untuk berkampanye. Para pendukung kedua kubu sudah menyuarakan pilihannya. Hal itu dibuktikan dengan munculnya akun-akun media sosial (sosial network) dan blog yang menyatakan dukungan. Namun, sebagian dari media tersebut berisi konten tentang kejelekan calon presiden atau wakil presiden (black campaign).
Sandiaga Uno menjadi korban (victim) perdana black campaign yang nampak jelas ke permukaan. Mantan wakil gubernur Jakarta tersebut dituding melakukan skandal perselingkuhan. Konten tersebut dimuat oleh situs yang tidak jelas identitasnya. Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) menanggapi kasus ini dengan tegas. Akun palsu (false account) tersebut langsung diblokir demi kampanye sehat dan pemilu sehat.
Peranan hukum sangatlah vital dalam mengatasi black campaign ini. Pasal yang siap memenjarakan cukup banyak bagi pelaku campanye tidak sehat ini; pasal tentang penghinaan terhadap golongan penduduk atau kelompok atau organisasi tertulis dalam pasal 156 KUH Pidana, penghinaan terhadap penguasa dalam tertera dalam pasal 207 dan 208 KUH Pidana, dan UU ITE pasal 27 tentang pencemaran nama baik.
Kita akan mencoba menganalisis perpasal terkait relevansi penerapan terhadap kasus kampanye hitam atau black campaign. Isi pasal 156, “Barang siapa di depan umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau merendahkan satu atau beberapa golongan penduduk Indonesia dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya empat tahun atau dengan pidana denda sebanyak-banyaknya 4500 rupiah”. Seorang pelaku kampanye hitam biasanya menggunakan media sosial, blog atau website untuk melancarkan aksinya. Media yang bersifat publik postingannya akan ditengarai oleh khalayak umum (public). Jadi, pasal ini bisa diterapkan untuk menjerat pelaku kampanye hitam (black campaign) terkait perendahan martabat seseorang atau kelompok di depan public.
Pasal 207 dan 208 juga bisa memenjarakan pelaku kampanye hitam. Pasal ini memuat konten tentang penghinaan terhadap penguasa, dalam konteks hari ini adalah presiden. Orang yang menghina presiden akan dikenakan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda 450 rupiah.
Menurut pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 2 tahun 2012 tentang penyesuaian batasan tindak pidana ringan atau jumlah denda dalam KUH Pidana, “tiap tindak pidana denda yang diancamkan dalam KUHP kecuali pasal 303 ayat 1 dan ayat 2, 303 bis ayat 1 dan ayat 3, dilipatgandakan menjadi 1000 kali”. Jadi denda yang berlaku pada pasal 156, 207, dan 208, dikalikan seribu.
Pasal 27 UU ITE menjadi hal solutif untuk memberantas adanya kampanye politik yang menjelek-jelekkan salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Meskipun pasal ini sempat menuai polemik di kalangan petinggi negara dan juga masyarat, Menkominfo menjadi institusi yang memoderatori perseteruan diberbagai kalangan dengan membuat pernyataan bahwa, pasal 27 UU ITE tidak mungkin dihapuskan. Atas dasar asas hukum pidana lex specialis derogat legi generalis (hukum yang khusus bisa mengesampingkan hukum yang umum) pasal ini lebih bagus dan pantas untuk diterapkan bagi pelaku kampanye hitam, agar terlaksananya kampanye sehat dan pilpres sehat.
Keputusan Kapolri No. Pol. : KEEP/54/X/2002 tanggal 17 Oktober 2002, unsur pelaksanaan pada Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, adalah melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus, terutama di bagian sidik-menyidik yang berhubungan dengan teknologi informasi, telekomunikasi, serta transaksi elektronik. Namun, kenapa tidak ada tindakan polisi cyber crime terhadap black campaign? Apa mereka selalu butuh laporan? Atau kurang responsif dalam menangani kasus kampanye hitam?
Dari keputusan Kapolri diatas yang sangat kurang dari polisi cyber crime, yaitu penyelidikan. Selama saya berselancar di media, saya seringkali menemukan berbagai postingan yang mengandung hal provokatif dan menurunkan marwah calon presiden (mencari-cari kejelekan dan mengumbar ke publik). Namun, postingan tersebut tidak ada yang menggubris dari kepolisian. Apakah polisi cyber crime sedang tidur? Saya sebagai masyarakat biasa bisa merasakan dan menganalisa postingan hoax, provokatif, dan black campaign. Lantas bagaimana dengan Polisi Cyber Crime yang punya segudang pengalaman tentang hal tersebut? Saya hanya bisa berharap kepada aparat keamanan untuk lebih aktif untuk memantau sosial network, website, dan blog, karena ketiga media ini sangat sering menjadi sarana black campaign. Mari wujudkan kampanye sehat dan Pilpres sehat.

———– *** ————–

Tags: