Membaca Ancaman Keberadaan ISIS di Indonesia

Judul Buku : Ancaman ISIS di Indonesia
Penulis : Poltak Partogi Nainggolan
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia (YOI)
Tebal Buku : xv+237 halaman
Tahun Terbit : 2018 (Cetakan Kedua)
ISBN : 978-602-433-576-2
Peresensi : Reza Maulana Hikam
Mahasiswa S1 Ilmu Administrasi Negara, Unair

Bagi para pembaca yang sering membaca buku-buku ilmiah di lingkup Sosial dan Politik atau membaca karya sastra dunia maupun dalam negeri seperti Dostoevsky atau Mochtar Lubis pasti pernah mendengar Yayasan Obor Indonesia (YOI) atau kerap juga disebut Buku Obor. Salah satu penerbit yang masih tegak berdiri dan memiliki harga terjangkau untuk berbagai lapisan masyarakat, terutama mahasiswa. YOI sendiri awalnya berfokus kepada kebudayaan namun memperluas lingkarannya pada ranah Sosial dan Politik.
Buku ini merupakan hasil dari perluasan lingkup tersebut yang menyentuh pada sektor keamanan. YOI tidak menerbitkan buku dimana kepakaran dari penulisnya tidak sesuai dengan buku yang sedang ia tulis. Paltok merupakan alumnus S2 di Graduate School of Political Science and International Relations di University of Birmingham, Inggris yang mengambil fokus studi keamanan, ia melanjutkan dan menyelesaikan studi S3 nya di Jerman. Secara kepakaran, Paltok merupakan orang yang tepat dalam menulis tentang terorisme. Mari simak ulasan saya sebagai berikut.
ISIS sebagai kelompok teroris baru yang berdiri semenjak 1999 dan digawangi oleh Abu Musab Al-Zarqawi memang menarik perhatian dunia internasional. Banyak negara mengeluarkan kebijakan yang bersifat defensif maupun ofensif dalam menghadang laju ISIS dalam memperluas daerah kekuasaannya. Negara-negara tersebut bisa dibilang berhasil dalam melokalisir ISIS, namun pengaruhnya dapat terasa hingga ke negara lain yang berjauhan dengan Irak maupun Suriah dengan menarget penduduknya guna bergabung dengan kelompok teroris ini.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar adalah ladang bagi ISIS untuk merekrut lebih banyak anggota menurut penulis. Faktor keuangan juga menjadi landasan dimana WNI rela berangkat ke Irak/Suriah bukan perkara keimanan saja, tapi timbal balik berupa gaji yang cukup besar dari ISIS. Di Indonesia, ada sejajaran organisasi seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Jamaah Tauhid wal Jihad (JTJ), Mujahidin Indonesia Barat (MIB) dan Mujahidin Indonesia Timur (MIB) yang menjadi kaki tangan ISIS, urai penulis.
Kemunculan kelompok-kelompok ini kerap bertentangan dengan kelompok “ekstrim” maupun “ultra-konservatif” lainnya yang telah lebih dulu ada, seperti Jamaah Islamiyah. Pasca berita bahwa Ba’asyir bersumpah setia kepada ISIS, kedua anaknya membentuk wadah tersendiri: Jamaah Ansharusy Syariah (JAS) yang bukan merupakan organisasi teroris dan berusaha menjauhkan anggota-anggota JI (Jamaah Islamiyah) maupun JAT dari kendali Aman Abdurrahman yang mempengaruhi Ba’asyir. Abu Tholut pun berpendapat bahwa JAD sendiri (sebagai underbouw dari ISIS) merupakan organisasi yang mengikuti aliran khawarij karena tidak mempermasalahkan adanya nyawa umat Islam yang melayang saat melaksanakan operasinya.
Selain kelompok-kelompok yang memang sudah dikategorikan sebagai kelompok teroris, baik oleh dunia internasional maupun Pemerintah Indonesia, penulis juga membeberkan beberapa nama yang berasal dari masyarakat sipil. Poltak membeberkan data dari The Soufan Group bahwa ada 700 orang dari Indonesia yang bergabung dengan milisi ISIS. Para pendukung ISIS ini rela berangkat ke Suriah untuk menjadi petarung, akan tetapi Paltok sendiri menyuguhkan banyak angka-angka yang berbeda-beda sehingga membuat bingung pembaca mengenai angka pasti pendukung ISIS di Indonesia maupun mereka yang berangkat ke Timur Tengah.
Salah satu penyalur sumberdaya manusia dari Indonesia ke Suriah menurut Poltak adalah Bahrun Naim dan Abdul Karim yang dikenal pula dengan nama Abu Jundi. Perekrutan anggota ISIS dilakukan melalui media internet, yakni Facebook atau Twitter. Penyebaran propaganda dilakukan melalui video yang diunggah di YouTube. Dalam hal perekrutan, tidak ada hal baru yang disampaikan oleh penulis, hanya seperti pengumpulan fakta-fakta yang ada di media. Hanya saja membeberkan beberapa nama-nama yang terafiliasi dan tergabung dengan ISIS.
Kebanyakan simpatisan ISIS yang dijelaskan dalam buku ini memang berasal dari mantan narapidana dengan kasus selain terorisme, hal tersebut terjadi, menurut Poltak, karena kegagalan program deradikalisasi. Penulis menekankan kepada kuatnya penanaman ideologis yang dilakukan oleh kelompok teroris tanpa mengutarakan kelemahan-kelemahan yang ada dalam program deradikalisasi itu sendiri. Asumsi semacam ini tidak memberi dampak terhadap masyarakat maupun pemerintah karena tidak akan memberikan rekomendasi kebijakan dalam bukunya terkait program deradikalisasi itu sendiri.
Secara keseluruhan, buku ini hanya mengulas mengenai berita-berita seputar ISIS yang berkaitan dengan Indonesia, memuat nama-nama dan kelompok-kelompok yang terafiliasi dengan kelompok teroris di Irak dan Suriah tersebut. Namun yang membedakan dari sekedar kumpulan berita adalah teori-teori dan istilah-istilah dari Studi Keamanan yang disisipkan guna menjelaskan pola rekrutmen ataupun para pendukung ISIS di Indonesia. Wawancara yang dilakukan oleh penulis juga hanya berkutat disekitar Pemerintah Indonesia, bukan kelompok terorisnya langsung, sehingga sudut pandang yang dipakai bukan untuk memahami kelompok teroris, namun sekedar membeberkan aktivitas kelompok ISIS di Indonesia dan bagaimana pemerintah bereaksi terhadapnya.
Bagi pengantar untuk mengetahui keberadaan ISIS di Indonesia dan pembuka untuk mempelajari penanggulangan terorisme, buku ini sangat saya sarankan. Namun bagi mereka yang ingin mempelajari kasus, peristiwa, individu maupun kelompok yang berkaitan dengan terorisme di Indonesia, saya lebih menyarankan membaca Misi Walet Hitam karya Arif Wachjunandi, Explaining Islamist Insurgencies karya Tito Karnavian atau NII Sampai JI karya Solahudin.

———– *** ———–

Tags: