Membaca Dawuk, Membaca Problem Sosial di Tanah Pantura

Judul    : Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu
Penulis    : Mahfud Ikhwan
Cetakan  : Juni 2017
Penerbit  : Marjin Kiri
Halaman  : vi + 182 halaman
ISBN    : 978-979-1260-69-5
Peresensi  : Achmad San
Editor bahasa, mahasiswa S-2 Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unmuh Surabaya)

Sastrawan terkemuka Andrea Hirata pernah mengatakan, fiksi adalah cara terbaik menceritakan fakta. Ada penulis yang lebih kuat memainkan imajinasi dalam karakter novelnya. Namun, ada pula pengarang yang membuat narasinya berdasar penelitian dahulu, kemudian dituangkan dalam karya. Bahkan, banyak penulis yang sampai melakukan riset berbulan-bulan, atau bisa bertahun-tahun, padahal bisa jadi menulis ceritanya cuma satu minggu. Yang jelas, fakta-fakta di masyarakat tidak bisa ditulis serampangan begitu saja dalam karya fiksi.
Penulis yang sedang naik daun, Mahfud Ikhwan, menyadari betul betapa menariknya sejarah dan kehidupan masyarakat untuk dijadikan pijakan menyusun karya. Novel Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu, yang berlatar kultur masyarakat pinggir hutan di kawasan pantura, meraih penghargaan sebagai pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa 2017 kategori prosa.
Tidak seperti karya sebelumnya yang cukup tebal, yakni Ulid Tak Ingin ke Malaysia (2009) serta Kambing dan Hujan (2015), Dawuk ditulis tak sampai 200 halaman. Dengan cerita yang tidak bertele-tele, namun tetap membuat orang tidak berhenti bermain imajinasi, novel tersebut menyuguhkan cerita kompleks dengan narasi yang kuat. Kecakapan Mahfud merangkai cerita utuh dengan halaman yang tidak terlalu tebal itulah barangkali yang membuat novel ini layak mendapat apresiasi lebih. Bagaimanapun, novel yang bagus adalah novel yang tidak terlampau tebal, namun efektif.
Mahfud mengisahkan Dawuk melalui Warto Kemplung sebagai narator utama. Dengan latar cerita khas warung kopi, gaya penuturan Mahfud begitu autentik. Mahfud, pria kelahiran Lamongan itu, memang tipe pengarang yang membawa roh kedesaan dalam tulisannya.
Lihat saja cara berpakaian Warto Kemplung dengan mengenakan sarung sebagai kerudung. Khas banget dengan orang desa yang biasanya cangkruk, ngopi. Kopi hitam pekat muncrat lewat bibir cangkir putih mengusam yang tutupnya tak diletakkan dengan rapat, meleleh melewati gagangnya yang sudah patah, lalu pelan-pelan menggenang di lepeknya yang kelihatan tidak dicuci dengan sempurna (hal 2). Itulah kelihaian Mahfud dalam menggambarkan seorang penjual yang setengah hati menyuguhkan kopi kepada pembeli.
Dawuk merupakan sebuah roman kehidupan dan percintaan dua manusia ganjil yang dipandang buruk bernama Mat Dawuk dan Inayatun. Sejak kelahirannya, Dawuk, yang nama aslinya Muhammad Dawud, sudah dihadapkan pada masalah besar. Ibunya meninggal ketika melahirkannya. Bapaknya yang punya perangai buruk tak lama kemudian juga tewas karena kecelakaan. Dawuk kecil yang buruk rupa dan penuh dengan hinaan serta ejekan pun tumbuh menjadi pribadi yang pendiam nan misterius. Dia tidak suka dan tidak bisa bergaul dengan orang-orang. Lahir di Sumur Jeru, sehari-hari sering berkeliaran di Rumbuk Randu.
Lawan mainnya, Inayatun, adalah perempuan cantik anak seorang tokoh desa di Rumbuk Randu. Namun, Inayatun tumbuh sebagai perempuan badung yang sukar diatur. Dia sering terlibat hubungan dengan banyak laki-laki. Dia kembang desa yang kemayu.
Ada beberapa kultur yang sukar dihilangkan sebagai ciri khas masyarakat pinggir hutan di kawasan pantura Jawa. Tentang hubungan belandong dengan mandor yang sarat konflik, tentang perkawinan siri, juga tentang pesanggem/penggarap lahan hutan sebagai pekerjaan turun-temurun yang belakangan mulai ditinggalkan karena memilih merantau ke Malaysia. Kultur-kultur itulah yang diangkat pengarang sebagai pijakan cerita dan menjadi kritik sosial, dibalut dengan kisah silat, humor, roman, dan (sekali lagi) musik India.
Mat Dawuk dan Inayatun pun demikian. Mereka mencari pelampiasan dengan merantau ke Malaysia. Kisah kelabu sesungguhnya dimulai ketika Dawuk dan Inayatun dipertemukan oleh sebuah takdir di Malaysia. Hingga kemudian, keduanya mulai menjalin asmara dan berujung pada tradisi khas perantau: nikah siri. Dua pasangan ganjil itu memutuskan pulang dan menjalani biduk rumah tangga di rumah sederhana bekas kandang yang terletak di dekat hutan. Rumah itu jualah yang kelak menjadi saksi kematian Inayatun, mandor Har, serta penghakiman terhadap Mat Dawuk.
Membaca Dawuk serasa larut dalam cerita. Selain menghibur dengan kata-kata khas daerah Jawa, narasi yang kuat, serta alur yang tidak monoton, tak lupa muncul nilai pendidikan atau moralnya. Itu sudah memenuhi dua syarat karya sastra dikatakan bagus menurut Horatius, yakni dulce et utile, menghibur dan mendidik.
Lewat Warto Kemplung, Mahfud menceritakan kehidupan orang-orang di kawasan perhutani secara utuh beserta problem sosialnya. Misalnya dendam turun-temurun antara belandong (penebang kayu di hutan) dan mandor atau sinder (pengawas pekerja di kawasan hutan). Novel ini juga kaya wawasan. Membacanya mampu menambah perbendaharaan kosakata. Ambil contoh kata gemblak yang bermakna ronggeng laki-laki yang menjadi piaraan laki-laki lain. Seperti dalam kalimat ini: berkomplot dengan seorang gemblak sang kontraktor, seorang pemuda piaraan yang bahkan lebih muda darinya, Inayatun melarikan diri (hal 27). Mahfud rupanya juga ingin melestarikan bahasa Sanskerta dengan menggunakan kata wadiabala untuk menggantikan kata bala tentara (hal 41). Masih terserak istilah lain semacam berkelojotan, pitak, pesanggem, kesiur, gedibal, dan dibelasah.
Salah satu keasyikan lain novel ini adalah pergantian antarbabak yang tidak terlalu lama. Ada yang 10 halaman, 5 halaman, bahkan 3 halaman. Biasanya orang akan jemu jika menemui babak yang sampai berhalaman-halaman. Novel ini berhasil mengatasi persoalan itu. Di luar bangun cerita, ada beberapa ketidakakuratan kata dalam subjudul/babak yang seyogianya ditulis kecil karena berfungsi sebagai partikel, yakni kata bagai, karena, dan kecuali. Ada pula kata mikropon yang semestinya ditulis mikrofon, separoh (separuh), dan Sa’ban (Syakban), setidaknya jika mengacu ke KBBI.
Lantas, sejauh mana cerita Warto Kemplung si pembual tadi sungguh-sungguh terjadi dan apakah orang-orang di warung kopi akan memercayainya?
———- *** ———–

Tags: