Membaca Fenomena ‘Transfer Caleg’

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Bhayangkara (Ubhara), Surabaya 

Partai politik (parpol) punya peran besar dalam menentukan tersedianya calon legislatif (caleg) yang mumpuni dalam Pemilu Legislatif (Pileg) 2019 mendatang. Rekrutmen caleg yang dilakukan parpol adalah langkah awal yang menentukan kualitas caleg dalam Pileg mendatang. UU Pemilu yang baru yakni UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memastikan bahwa Pemilu 2019 nanti menggunakan sistem terbuka.
Dalam sistem terbuka, pertarungan bukan saja terjadi antara caleg dari suatu partai dengan caleg dari partai lain. Bahkan caleg yang berasal dari partai yang sama pun saling bersaing. Biaya politik menjadi sangat mahal. Dalam Pemilu dengan sistem terbuka, caleg yang lolos menjadi legislator adalah mereka yang mendapatkan suara banyak dari pemilih. Suka tidak suka, caleg yang memiliki popularitas tinggi lebih berpeluang lolos menjadi legislator. Implikasinya, caleg dari kalangan artis pun laris dimana-mana. Selain artis, caleg yang lebih berpeluang terpilih adalah mereka yang memiliki modal yang besar. Dengan modal besar itu, para caleg lebih leluasa untuk menyusun strategi kampanyenya -termasuk menggelontorkan uang yang banyak kepada calon pemilihnya. Itu sebabnya dalam penyusunan caleg, parpol cenderung melirik figur yang punya popularitas atau caleg yang bermodal besar.
Fenomena Transfer Caleg
Beramai-ramai para pesohor utamanya para artis untuk menjadi caleg tentu bukan hal baru. Menguatnya fenomena tersebut mengindikasikan pragmatisme partai politik yang kian nyata. Bagaimanapun, merekrut para pesohor merupakan langkah instan yang dilakukan partai demi untuk memudahkan dalam mendulang suara. Semakin kentalnya pola pikir instan parpol semakin menjadi-jadi dengan menyimak fenomena baru yang hari ini banyak diperbincangkan yakni transfer caleg antar partai politik. Artinya, seorang caleg yang sudah punya basis massa jelas dan punya potensi menjadi caleg, hijrah menjadi caleg partai lain dengan iming-iming mahar yang menggiurkan. etua Umum PAN, Zulkifli Hasan misalnya menyebutkan banyak kader dan caleg PAN ditransfer ke partai lain. Bursa transfer caleg saat ini sudah seperti bursa transfer pemain sepak bola. Bahkan partai yang mengambil kadernya menawarkan nilai Rp 2 – Rp 5 miliar. Salah satunya Lucky Hakim yang pindah ke Partai Nasdem, Jawa Pos (19/7).
Hemat penulis, mudahnya Lucky pindah dari PAN ke NasDem menggambarkan gagalnya kaderisasi partai. Melalui praktik tersebut, partai sesungguhnya memproklamirkan matinya ideologi partai, terabaikannya fungsi parpol melakukan pendidikan politik. Kegagalan kerja partai dalam menyiapkan kader, dan juga selera partai untuk bekerja instan demi meraup keuntungan fantastis. Fenomena mengambil figur yang sudah besar di partai lain adalah langkah pragmatis untuk meraup suara jelang pemilihan. Parpol memilih mengambil langkah instan untuk mengamankan suara dibandingkan mencalonkan kader terbaiknya.
Yah, layaknya klub-klub sepakbola di Liga Premier Inggris, setiap akan bergulir musim kompetisi selalu diwarnai dengan bursa transfer pemain antar klub. Pemain yang dinilai bermain baik di klub, biasanya pada musim berikutnya akan menjadi rebutan klub-klub lain yang ingin mendapatkannya. Berlombalah klub-klub tersebut mengajukan penawaran setinggi-tingginya agar dapat menggaet pemain tersebut. Praktis kekuatan dana menjadi fakrtor paling dominan dalam ajang transfer pemain ini. Dan kini industrialisasi bukan hanya terjadi di dunia olahraga, di dunia politikpun nampaknya juga akan segera menjadi industri.
Membunuh Demokrasi
Kentalnya perilaku instan yang cenderung pragmatis menegakanbahwa parpol-parpol yang abai dengan proses kaderisasi. Andai saja parpol serius untuk mempersiapkan caleg masing-masing hampir pasti akan melakukan perekrutan instan atas figur-figur potensial demi menutupi tuntutan keterpenuhan jumlah caleg dan terlebih lagi untuk memastikan peluang kemenangan partai di pileg. Jika dugaan mengenai pemberian uang untuk pindah ke partai itu benar. Penulis khawatir caleg yang mudah berpindah karena iming-iming uang tidak akan dapat menjalankan tugasnya sebagai wakil rakyat secara maksimal. Kehadiran kader dengan modal nyaleg dari proses transaksional tentu menjadi modal negatif untuk parlemen yang akan datang. Dia hanya akan menjalani tugasnya sebagai wakil rakyat tak lebih dari memerankan akting skenario tertentu.
Transfer caleg sudah pasti tidak memberikan basis ideologi kepada caleg. Padahal pemahaman dan basis ideologi merupakan dasar seseorang terlibat dalam sebuah parpol. Figur populer, incumbent dan bermodal besar menjadi sasaran pasar caleg ini. Untuk figur populer dan incumbent, tawaran dana kampanye menjadi godaan ampuh. Sementara untuk figur berkantong tebal ditawari nomor urut kecil. Dari semua itu, yang paling “sadis” adalah transfer caleg. Seorang kader parpol yang sudah setengah mati dibina parpol lama, berpindah ke parpol baru dengan iming-iming dana kampanye.
Tingginya Parlementary Threshold yang secara nasional dimana parpol harus mencapai raihan minimal 4 persen suara dari total suara sah dan belum pastinya apakah PT akan berlaku hingga ke level daerah, membuat parpol memilih jalan pintas. Membajak figur dari parpol lain demi menggaet lebih banyak suara rakyat. Tak bisa dipungkiri inilah pragmatisme politik Indonesia yang bakal menjadi bom waktu demokrasi kita. Gelembung balon pragmatisme itu akan meledak suatu saat menjadi racun pembunuh sendi demokrasi yang telah kita bangun susah payah. Hukum ekonomi pasar berlaku dimana modal yang dikeluarkan harus kembali dan kemudian setelah itu mencari untung. Bahwa fenomena yang terjadi di atas seolah semakin menegaskan bahwa hiruk pikuk di panggung politik tidak jauh dari proses transaksional yang ujung-ujungnya bermuara pada uang. Selamat datang Industrialisasi di gedung parlemen.
Wallahu’alam Bhis-shawwab

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: