Membaca Film Propaganda

Oleh:
Sugeng Winarno
Pegiat Literasi Media, Dosen Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang

Jelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila pada 1 Oktober, ramai-ramai digelar Nonton Bareng (Nobar) film penghianatan G30S PKI. Film besutan era Pemerintahan Soeharto ini dulu memang jadi tontotan wajib di setiap penghujung bulan September. Namun semenjak Presiden RI ke dua itu dilengserkan, pemutaran film yang disutradarai Arifin C. Noor itu dilarang tayang. Ada banyak pihak yang menilai film tersebut sarat dengan muatan propaganda Soeharto, hingga pemutaran film harus di stop.
Kini pemerintah menginstruksikan nobar film yang bergenre dokudrama itu. Pemutaran film ini menuai pro kontra di masyarakat. Di satu sisi film ini dinilai bermuatan sejarah yang penting diketahui. Sementara pihak yang kontra menganggap film yang dibuat era Presiden Suharto ini dibuat dengan “selera” penguasa waktu itu. Ada keraguan akan kebenaran informasi yang tersaji. Itu benar realita sejarah atau fakta yang direkayasa oleh mereka yang punya kepentingan dalam pembuatan film ini.
Film penghianatan G30S PKI tayang perdana tahun 1984. Selanjutnya pemerintah Orde Baru (Orba) memberlakukan setiap siswa, pegawai negeri sipil, dan karyawan perusahaan daerah  wajib menonton film ini setiap tanggal 30 September. Warga berkumpul nobar di lapangan atau tempat terbuka lain. Selain nonton di layar tancap atau  misbar, dan gedung bioskop, film ini juga ditayangkan rutin oleh Televisi Republik Indonesia (TVRI) setiap jelang Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober.
Kuasa Kamera
Harold Evans (1999) pernah mengungkapkan bahwa kekuasaan bisa saja berawal dari moncong senjata, selanjutnya ia akan menjadi agung lewat bidikan kamera. Melalui kamera kekuasaan tak hanya punya daya paksa, tetapi sekaligus memiliki daya pukau. Sejatinya kamera tak bisa berdusta, tetapi ia mungkin bisa menjadi aksesoris bagi ketidakbenaran. Karena itu menonton adalah kegiatan mempercayai, tetapi tidak semua yang tampak diperlakukan sama di mata kamera.
Kamera memang punya kuasa. Kuasa untuk memikat dan membangun kesan tertentu. Lewat bidikan kamera tak hanya mengusung fungsi hiburan belaka, tetapi juga menjadi instrumen yang mampu menggerakkan massa. Film telah terbukti mampu menyihir perhatian kebanyakan orang. Hingga cukup beralasan banyak orang menggunakan medium film untuk membentuk opini dan menaikkan citra hingga meraih dan mempertahankan kuasa.
Renald Kasali menyebut era kini adalah masa Camera Branding. Bagaimana kuasa kamera telah mampu mencipta brand atau personal menduduki popularitasnya. Lewat bidikan kamera, seseorang bisa tercipta menjadi sosok yang sempurna seakan tanpa celah. Lewat kamera pula, manipulasi dan tafsir realita dibangun dengan sejumlah rekayasa. Kamera memang punya kuasa membangun pesan jujur sesuai realita ataupun mengikuti pesanan siapa yang sedang berkuasa.
Dalam fotografi, medium kamera memang hanya berwujud dua dimensi, tetapi keampuhan mediun ini juga sangat berarti. Sementara kamera dalam film, gambar tersaji secara audio visual. Tidak sekedar menampilkan unsur gambar seperti dalam fotografi, namun kamera film mampu mengusung pesan gambar dan suara sekaligus. Inilah yang menjadi kekuatan medium pandang dengar ini. Keampuhannya karena pesan semakin kuat karena disampaikan dalam perpaduan gambar dan suara.
Melalui film bisa menjadi medium memengaruhi massa yang perkasa. Untuk itu banyak orang yang menggunakan film untuk tujuan tidak sekedar menghibur, mendidikan, dan memberi informasi, tetapi juga untuk propaganda. Mengutip Budi Irawanto (2004) yang menyatakan bahwa film merupakan “ikonografi” kekuasaan. Ikonografi bersal dari kata “ikon” yang artinya penanda (signifier) yang mempunyai kemiripan dengan yang ditandai (signified). Lewat film bisa menjadi medium untuk membangun kekuasaan dan lewat film pula kekuasaan terukir dengan jelas.
Melalui kekuasaan di luar kamera mampu memperalat kamera untuk menangkap gambar sesuai kehendak sang penguasa. Sejatinya kamera memang hanya sekedar alat yang pasrah, mau dipakai apa saja oleh pemiliknya. Kamera bisa jadi alat perekam fakta sejarah yang orisinil, namun melalui bidikan kamera juga bisa merekam gambar-gambar hasil dari sebuah rekayasa.
Film dan Propaganda
Relasi antara film dan propaganda memang erat. Joseph Goebbels, seorang arsitek propaganda Hitler seperti dikutip Irawanto (2004) mempercayai bahwa film tak hanya berfungsi hiburan semata, tetapi juga bisa menjadi instrumen yang mampu menggerakkan dan menyihir massa. Keunggulan inilah yang menjadikan film mempunyai relasi yang kuat dengan propaganda.
Dalam pengertian sederhana, propaganda bisa diartikan sebagai informasi, baik yang benar maupun palsu yang mengabdi pada tujuan tertentu. Jika informasi itu bermuatan kebenaran, maka ia sering bersifat sepihak dan gagal memberikan gambaran yang menyeluruh. Propaganda juga bisa mengusung informasi yang palsu atau menyesatkan untuk mendukung maksud politik atau kepentingan mereka yang mempunyai kuasa (Irawanto (2004).
Memang tidak semua propaganda lantas bernilai buruk. Propaganda memang tidak selalu berasosiasi dengan praktik-praktik jahat. Kita masih ingat dengan salah satu program Keluarga Berencana (KB) di era Presiden Soeharto. Slogan KB dengan “Dua Anak Cukup” itu salah satu propaganda Soeharto. Itu propaganda baik. Upaya pengurangan jumlah penduduk dan penataan keluarga lewat propaganda yang positif.
Dalam kaitan dengan polemik pemutaran film G30S PKI, yang perlu dipahami adalah medium film itu sarana yang tidak bebas nilai. Media ini, seperti halnya beragam media cetak dan elektronik lain bisa memfasilitasi kreatornya melakukan pembingkaian (framing) terhadap sebuah persoalan tertentu. Pembingkaian inilah yang bisa saja hanya berada pada satu sisi versi pihak yang berkuasa saat film itu dibuat.
Bagi penonton juga sah-sah saja berbeda dalam menafsirkan isi pesan yang disajikan dalam rangkaian shot dan scene dalam sebuah judul film. Seperti layaknya kreator film (komunikator), posisi penonton (komunikan) juga bisa menafsirkan sesuai dengan kemampuan framing masing-masing audien. Tetapi terkadang dominasi penetrasi pesan oleh komunikator serasa lebih perkasa dibanding komunikan.
Dalam situasi seperti ini maka kemampuan literasi media menjadi urgen. Komunikator sebagai produsen pesan disatu sisi dan penonton pada sisi yang lain harus cerdas dan kritis. Sifat tidak gampang menerima terhadap apa saja yang sudah tersaji di media harus dipunya. Para penonton film yang cerdas tentu bisa memilah mana film hasil dari sebuah rekayasa dan mana pula yang benar-benar bersumber fakta. Mari cerdas nonton film.

                                                                                                     ————– *** —————-

Rate this article!
Membaca Film Propaganda,5 / 5 ( 1votes )
Tags: