Membaca Laju Inflasi Saat Ramadhan

Novi Puji Lestari.jpg [1]Oleh :
Novi Puji Lestari
Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Malang

Mengamati berita yang beredar tren harga daging yang tinggi merata di hampir seluruh negeri. Bukan hanya konsumen rumah tangga yang berteriak, para pedagang bakso, soto, rendang, dan lain-lain tak kalah menjerit.  Kendati beragam upaya telah dilakukan, harga daging sapi hingga hari ini masih tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa indikasi adanya tangan-tangan tersembunyi di balik soal itu bukan isapan jempol. Masyarakat pun kian menjerit mendapati harga daging yang tak terjangkau.
Kenaikan harga-harga kebutuhan pokok saat Ramadhan sekarang ini, merupakan sebuah anomali. Hukum pasar menjelaskan, harga ditentukan oleh kebutuhan (demand) dan pengadaan (suplay). Jika kebutuhan meningkat sementara pengadaan tidak bertambah maka naiklah harga. Begitu pula sebaliknya, bila barang melimpah sementara kebutuhan tidak bertambah, niscaya harga-harga pun akan turun, terutama untuk kebutuhan pokok yang cepat busuk/rusak. Pemicu harga-harga pangan saat ini naik sebenarnya dalam kamus ilmu ekonomi, dikenal dengan konsep inflasi musiman, yakni bisa kita rasakan saat Ramadan dan Lebaran.
Inflasi musiman
Konsep inflasi musiman sering disebut demand pull inflation, yaitu jenis inflasi yang disebabkan oleh peningkatan permintaan dalam waktu tertentu tanpa disertai peningkatan penawaran yang memadai. Ini dimaklumi karena permintaan barang dan jasa meningkat sejak menjelang Ramadan hingga Lebaran.
Peningkatan permintaan sebenarnya bisa memicu harga naik yang sejatinya didorong oleh kecenderungan budaya konsumtif sesaat sebagai bagian dari semangat perayaan. Dengan psikologi unik pasar di Indonesia setiap menjelang, memasuki Ramadan dan rangkaian menuju Lebaran memang sulit mengharapkan harga daging dan harga bahan-bahan kebutuhan pokok lain turun.
Analisisnya pun klise, orang biasa tidak makan daging, pas puasa makan daging. Harga daging Rp120 ribu-Rp135 ribu per kilogram pada dua hari menjelang puasa bisa mencapai Rp150 ribu per kilogram mendekati Lebaran.  Ada yang menganggap gejala itu wajar sebagai konsekuensi hukum pasar, yakni ketika permintaan melonjak dan pasokan tetap, harga melambung. Akan tetapi, benarkah persoalannya melulu bersumbu dari masalah supply and demand? Apakah ketika pasokan daging digelontor ke pasar, otomatis harga turun? Faktanya tidak. Indikasi ada yang ‘bermain’ di ruang remang-remang pun kian menemukan kebenaran. Seperti yang terjadi di Pasar Porong Sidoarjo, Jawa Timur, pasokan daging sengaja dikurangi sehingga harga melambung.
Persoalannya sekarang, kalau harga bergejolak, bukan saja konsumen yang dirugikan, pemerintah juga akan kena getahnya. Karena itu, terlalu berisiko bagi pemerintah untuk bermain-main dengan data dan kuota impor, jika ini menjadi pilihan pemerintah.
Dari sisi permintaan, saat ini tidak ada tekanan atau gejolak. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setelah Idul Fitri dan Idul Adha harga daging bakal menurun. Karena itu, kemungkinan penyebab kenaikan harga daging kali ini ada dua: distribusi tidak lancar atau ada permainan harga. Seperti bisnis lain dalam pangan dan pertanian, distribusi daging belum efisien. Distribusi melibatkan mata rantai yang panjang. Ketika terjadi gangguan di satu titik, dampaknya bakal panjang. Pemerintah tidak boleh surut langkah untuk mengendalikan semua itu.
Lagi-lagi impor
Secara ekonomi impor tak hanya menguras devisa, tetapi juga disinsentif bagi usaha ternak sapi domestik.Menurut perhitungan kasar, setiap impor satu ton daging dan daging itu masuk ke pasar tradisional,kita akan kehilangan 12 orang pekerja atau buruh. Secara politik, ketergantungan yang tinggi pada produk impor akan membuat posisi kita lemah.
Dengan posisi negara pengekspor sebagai price taker, Indonesia akan mudah didikte negara-negara pengekspor. Lagipula,harga daging sapi di pasar amat fluktuatif. Struktur pasar daging sapi makin terkonsentrasi.Artinya makin mendekati pasar dalam struktur monopoli. Di tingkat lokal derajat konsentrasi perusahaan bisa lebih besar, terutama yang terintegrasi secara vertikal atau horizontal.
Indonesia memiliki peluang besar untuk swasembada daging sapi. Indonesia memiliki potensi sumber daya lokal dalam bentuk berbagai jenis bangsa sapi,sumber daya pakan melimpah, dan teknologi budi daya yang memadai. Market size perdagangan daging sapi di Indonesia amat tinggi,di atas Rp20 triliun. (Republika, 4/6). Apabila semua nilai ini bisa dipenuhi dari daging sapi domestik,dampak penggandanya akan amat besar, maka kondisi ini akan bisa menggerakkan perekonomian regional.
Ultimatum Presiden Joko Widodo kepada para menteri untuk menstabilkan harga daging di kisaran Rp80 ribu per kilogram jelas membuat para pembantunya itu memutar otak. Namun, seperti yang sudah-sudah, solusi paling cepat ialah menambah impor daging. Pola yang sama setiap tahunnya pun berulang, tanpa kita tahu hingga kapan negeri ini akan bergantung pada impor.
Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan sejak tahun lalu. Di antaranya dengan mengadakan kapal khusus pengangkut sapi yang diharapkan mampu menurunkan biaya transportasi dari sentra-sentra produksi sapi. Namun, upaya itu nihil hasil. Apa boleh buat, impor memang menjadi satu-satunya cara tercepat.
Badan Pusat Statistik mencatat kebutuhan daging sapi nasional pada 2016 ialah 674 ribu ton lebih. Dengan hanya 440 ribu ton yang dipenuhi dari dalam negeri, sisa kebutuhan 233 ribu ton mau tidak mau harus diimpor. Itulah risiko karena negeri ini belum swasembada daging. Meskipun demikian, kondisi klise seperti itu sudah saatnya diakhiri. Apalagi, Pesiden sudah mencanangkan untuk mewujudkan Nawa Cita, termasuk di dalamnya swasembada pangan.
Langkah mula yang harus dilakukan ialah sinkronisasi data kebutuhan konsumsi daging per orang per tahun secara nasional. Hingga kini, data ihwal hal itu masih berbeda antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Sulit berbenah jika data saja simpang siur. Selain itu, kartel daging sapi yang diduga menguasai rantai distribusi dari hulu hingga hilir juga harus dibersihkan.
Selain itu juga, pihak-pihak yang mendestruksi pasar dengan cara menciptakan ‘permintaan semu’ sehingga seolah-olah kebutuhan meningkat dan pasokan tidak pernah mencukupi harus ditindak keras. Teramat lama negeri ini membiarkan tangan-tangan tersembunyi pemburu rente menguasai hajat hidup orang banyak. Kini saatnya mengakhiri.

                                                                                                     —————— *** ——————

Rate this article!
Tags: