Membaca Pesan Pilu dari Asmat

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Wartawan Harian Bhirawa 

Di tengah hiruk pikuk dan gegap gempita memperbincangakan Pilkada serentak yang akan dihelat tahun ini, jauh dari wilayah di Kabupaten Asmat, Papua mengirimkan pesan pilu kepada kita semua. Bagaimana tidak, ketika sebagian besar masyarakat di negeri ini bercerita tentang Anak Zaman Now, ternyata ada sebagian anak-anak kita masih harus bergulat melepaskan diri dari jerat penyakit campak dan gizi buruk. Dalam empat bulan terakhir tercatat 61 anak meninggal karena KLB Campak dan gizi buruk, Kompas (15/1).
Episode tentang gizi buruk rasanya sudah tidak pantas lagi terjadi di negeri ini. Gizi buruk hanya pantas untuk sekadar cerita masa lalu yang lebih layak terjadi pada satu atau decade lalu. Namun sayangnya, cerita tentang kemiskinan dan gizi buruk itu masih nyata adanya, dan itu terjadi pada anak-anak kita, yang sejatinya punya hak menikmati negeri yang kaya akan sumber ala mini. Ironisnya lagi, kisah itu terjadi di Kabupaten yang berada di provinsi yang begitu kesohor karena kekayaan alamnya berupa kandungan tambanga emasnya.
Melimpahnya kekayaan akan tambang emas sudah menjadi cerita indah bagi orang-orang yang mungkin berada jauh dari Papua. Tetapi justru wilayah yang berada di dekat sumber emas tersebut (baca : Kabupaten Asmat) tidak tersentuh kemakmuran dan terasa terasing dari cerita tentang kekayaan di tanah papua. Masyarakat suku Asmat sebenarnya telah terbebas dari Kejadian Luar Biasa (KLB) campak pada 2006. Setelah 12 tahun berlalu, wabah penyakit infeksi virus yang menyerang anak-anak itu kembali menghantui pada awal 2018.
Kegagalan Pembangunan
Menarik ungkapan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo yang meminta pemerintah daerah Asmat perlu segera berkoordinasi serta tidak menutupi kasus gizi buruk dan campak. Apa yang disampaikan Mendagri tersebut memang bukan hal yang baru terkait perilaku daerah yang acap menutup-nutupi aib pembangunan yang terjadi di daerahnya. Kemiskinan dan gizi buruk adalah imbas paling nyata kegagalan pembangunan.
Itulah bencana sosial yang terjadi karena ketidakmampuan pemerintah daerah menjalankan pembangunan. Kalau bencana akibat alam seperti tanah longsor, banjir atau gunung berapi bisa jadi pemerintah daerah segera menyampaikan kepusat karena hampir pasti aka nada gelontoiran dana dari pusat yang mengalir deras ke daerah. Namun kalau bencana itu berupa kemiskinan, gizi buruk bisa jadi pemerintah daerah akan menyembunyikan karena itu menyangkut martabat pejabat daerah.
Guna menekan angka kemiskinan dan kesenjangan, pemerintah pusat memberikan sejumlah program kepada masyarakat yang diwujudkan dengan pemberian dana desa.
Dana desa itu dialokasikan sebagai transfer ke daerah dan untuk sejumlah program peningkatan desa, seperti pelatihan keterampilan, penciptaan lapangan kerja, hingga pemberian fasilitas bagi penduduk di desa, termasuk pembangunan infrastruktur. Namun, hal itu belum berdampak signifikan, sehingga pemerintah perlu memetakan kembali strategi baru.
Beberapa temuan menunjukkan adanya ketidaktepatan penggunaan dana desa itu diketahui setelah ditemukan beberapa kabupaten di Papua yang membeli mobil dan sepeda motor dari anggaran tersebut.
Cerita tentang kemiskinan dan keterbelakangan memang selalu identik dengan Papua. Kemiskinan yang sudah sekian lama berlangsung ini seolah membenarkan asumsi bahwa kemiskinan sengaja dipelihara di papua. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), dari sekitar 3,2 juta penduduk Papua, persentase penduduk miskin selama enam bulan terakhir menurun dari 28,40 persen pada September 2016 menjadi 27,62 persen pada Maret 2017. Bila dibandingkan selama 18 tahun terakhir, yakni 1999 hingga 2017, kondisi kesejahteraan masyarakat Papua juga kian membaik. Tercatat, persentase penduduk miskin pada periode tersebut menurun secara signifikan sebesar 27,13 persen, yaitu dari 54,75 persen pada Maret 1999 menjadi 27,62 persen pada Maret 2017.
Data BPS juga menunjukkan bahwa selama periode 2010 hingga Maret 2017, Indeks Kedalaman Kemiskinan dan Indeks Keparahan Kemiskinan di Papua umumnya memiliki kecenderungan menurun. Indeks Kedalaman Kemiskinan turun dari 9,36 pada 2010 menjadi 7,49 pada Maret 2017. Demikian pula Indeks Keparahan Kemiskinan, turun dari 3,37 menjadi 2,82 pada periode yang sama.
Kondisi yang berbeda terjadi di Papua Barat. Dari sekitar 1,1 juta jiwa penduduk di sana, jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada September 2016 sebesar 223.600 jiwa (24,88 persen). Angka itu naik pada Maret 2017 menjadi 228.380 jiwa (25,10 persen). Meski ada sedikit perbaikan di Papua, data statistik tersebut menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Papua masih cukup tinggi. Kemiskinan itu bermuara pada kualitas sumber daya manusia (SDM). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua juga menjadi yang terendah di Indonesia. Pada 2016, IPM Papua sebesar 58,05 dan Papua Barat 62,21, jauh di bawah IPM nasional sebesar 70,18.
Harus kita akui bahwa pemerintahan Presiden Jokowi saat ini terus berupaya agar Papua dan Papua Barat bisa mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lain di Indonesia. Berbagai upaya percepatan pembangunan di sana terus dilakukan pemerintah agar jumlah penduduk miskin berkurang, antara lain dengan menggenjot pembangunan infrastruktur jalan dan menjadikan harga bahan bakar minyak (BBM) sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
Namun, dengan melihat karakteristik geografi Papua, pembangunan infrastruktur jalan bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan persoalan di sana. Masih banyak warga yang kesulitan mengakses jalan baru yang dibangun pemerintah, karena tinggal di pendalaman dan tempat tinggal mereka tersebar jauh. Hal itu bisa dilihat dari data kepadatan penduduk di Papua pada 2016 sebesar 10,13 orang per kilometer persegi. Artinya, dalam radius 1 kilometer hanya ada 10 orang Papua.
Untuk itu, pemerintah perlu juga memikirkan program pembangunan kawasan pemukiman untuk warga yang tinggal berjauhan. Pemerintah membangun satu kawasan yang bisa menampung sekitar 1.000 kepala keluarga di sejumlah lokasi. Di lokasi baru itu dibangun sarana dan prasarana sosial-ekonomi, seperti pasar, rumah sakit, dan sekolah. Warga dipindahkan ke lokasi baru tersebut, namun tetap dengan jaminan tanah tempat tinggal asal tetap menjadi milik mereka. Tanah asal mereka bisa dijadikan lahan perkebunan. Dengan adanya lokasi pemukiman baru itu, berbagai program pemerintah, terutama program bantuan sosial, bisa tersalurkan dengan mudah. Warga juga akan lebih mudah beraktivitas karena lokasi pemukiman baru yang dekat dengan infrastruktur jalan yang dibangun pemerintah.
Di sisi lain, kita juga berharap agar para elite politik dan pemerintahan di Papua tidak memanfaatkan dana-dana masyarakat itu untuk kepentingan pribadi. Dalam hal ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Polri, dan Kejaksaan harus benar-benar mengawasi penggunaan anggaran di Papua untuk mencegah dan memberantas praktik korupsi di sana. Hal ini perlu ditegaskan mengingat bukan rahasia lagi kalau minimnya control terhadap pengelolaan anggaran di Papua, membuat wilayah-wilayah di Papua nyaris tidak tersentuh dari upaya penegakan hukum terkait pengelolaan anggaran. Alih-alih mengawasi kasus korupsi di Papua, menyentuh korupsi yang di dekat-dekat pusat kekuasaan aparat hukum kita sudah kewalahan. Namun, upaya untuk memastikan agar pembangunan di Papua bisa berjalan sewajarnya tentu harus menjadi perhatian pemerintah pusat. Jika semua itu dijalankan, maka Papua akan bisa berlari cepat untuk mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lain di Indonesia. Semoga.

———– *** ————-

Rate this article!
Tags: