Membaca Peta Pergerakan Politik Para Jenderal

Buku JenderalJudul Buku     : Derap Politik Para Jenderal
Penulis           : Andi Setiadi
Penerbit         :  Penerbit Palapa
Cetakan         :  Pertama, Mei 2016
Tebal              :  288 halaman
ISBN               :  978-602-279-214-7
Peresensi     : Nur Hadi

Di Indonesia, sejak era Orde lama hingga pasca-Reformasi, peran para jenderal hampir selalu tak bisa dimungkiri pengaruhnya dalam panggung politik. Ada banyak perselingkuhan kekuasaan dan konspirasi politik yang kejam, meski di sisi lain penuh dengan spirit nasionalisme, nilai-nilai demokrasi, serta kejujuran yang ditonjolkan. Kehadiran buku ini berniat merekam potongan-potongan sejarah tersebut, hingga kemudian kita bisa melihat pertaruhan-pertaruhan antara kepentingan bangsa yang bersifat jangka panjang dengan kepentingan politik pragmatis.
Kita bisa memulainya dari sosok Jenderal A.H. Nasution yang dikenal sebagai peletak dasar strategi perang gerilya. Sosok yang semula menaruh kekaguman besar atas pemikiran-pemikiran politik Soekarno, justru kemudian menjadi salah seorang yang berseberangan ketika mereka berdua sama-sama duduk di kursi atas pemerintahan. Sejarah telah mencatat polemik antara Pak Nas dengan Presiden Soekarno, misalnya ketika terjadi pergolakan internal dalam Angkatan Darat di tahun 1952. Pak Nas menganggap bahwa Soekarno telah ikut campur tangan dalam konflik itu, dan terang-terangan mengatakan bahwa presiden seharusnya tidak berpihak kepada siapa pun. Lantaran berada di balik ‘Peristiwa 17 Oktober’, yang menuntut pembubaran DPRS dan pembentukan DPR baru, Pak Nas pun kemudian diberhentikan sebagai KSAD oleh Soekarno. Namun silang pendapat kedua orang ini hanyalah sebatas dinamika politik yang sehat dan terbuka. Hal itu dibuktikan ketika Presiden Soekarno kemudian mengembalikan jabatan Pak Nas dalam rangka menangani pemberontakan PRRI/Permesta 1955 (hal.24). Kevokalan Pak Nas bahkan masih terus berlanjut pada era Orde Baru, yang notabene pernah digadang-gadang sebagai pemerintahan bersih dan jauh lebih baik dari Orde Lama. Ujungnya, beliau bahkan harus mengalami tekanan politik yang luar biasa.
Membicarakan sosok militer jujur, nama Hoegeng Imam Santoso sungguh tak boleh dilupakan. Gus Dur bahkan mengabadikannya dalam sebuah anekdot, bahwa di Indonesia hanya ada tiga polisi jujur; yakni patung polisi, polisi tidur, dan Hoegeng, lantaran ketegasannya dalam menolak suap. Saat sudah menjadi Kapolri dengan pangkat jenderal berbintang empat, sosok ini tak segan turun tangan mangatur lalu lintas di perempatan. Hoegeng pulalah yang meniupkan agenda reformasi dalam tubuh Polri agar kebal dari serangan penyakit suap dan memiliki kemandirian dalam menjalankan fungsi dan tugasnya. Dan tanpa jasa Hoegeng pula, pemakaian helm sebagai pengaman pengendara sepeda motor takkan pernah ada.
Menariknya, buku ini tak hanya menyajikan deretan jenderal yang lurus. Beberapa sosok terdeskripsikan telah diperalat oleh penguasa. Sebut saja tiga jenderal yang mengemban tugas menjemput Supersemar; Amir Machmud, Basoeki Rachmat, dan M. Yusuf. Surat yang sampai detik ini masih diselimuti kontroversi itu menggambarkan betapa militer juga bisa seperti bidak yang dikendalikan oleh pecatur ulung. Belum lagi dengan lahirnya Korps Pegawai Republik Indonesia yang tak lepas dari peran Jenderal Amir. Korpri inilah yang menjadi garda depan Golkar dalam memenangkan Pemilu. Begitu juga dengan Peraturan Pemerintah yang melarang pegawai negeri aktif dalam partai politik. Lahirnya peraturan ini tak pelak mendapatkan respon positif dari penguasa Orba (hal. 60). Meski percaturan politik yang sukar diduga itu pada akhirnya melemparkan M. Jusuf dari lingkaran Istana lantaran kepopulerannya di mata masyarakat (hal. 151). Seolah-olah politik hanyalah semacam alat untuk membangun citraan semu di hadapan rakyat.
Hal senada pun bisa kita endus dari paparan biografi Ali Moertopo; sosok intelijen dengan sejuta kontroversi. Ia memiliki banyak peran dalam dinamika pemerintahan Orba dan bahkan menjadi nyawa dari berlangsungnya sistem otoriter saat itu. Ia terlibat dalam operasi-operasi intelijen Operasi Khusus untuk memberangus lawan-lawan politik Orba. Dia pulalah yang menggabungkan partai-partai hanya dalam beberapa partai saja agar lebih mudah dalam pengontrolan. Karirnya mencapai puncak ketika ia dilantik menjadi Menteri Penerangan dan semakin menabalkan kuku-kuku pengawasan Orba. Seperti sekeping uang logam yang bermata dua.

                                                                                                                ———— *** ————

Tags: