Membaca Prahara Keamanan Vaksin

Oleh :
Faizin
Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang

“Vaksin berbahaya” begitulah cuitan yang saat ini ramai di pelbagai media sosial sehingga membuat kesimpangsiuaran terkait kemanan vaksin tersebut. Bahkan anggota DPR RI Komisi IX fraksi PDIP Ribka Tjiptaning terang terang-terangan menolak untuk divasin dan bersedia bayar sanksi jika harus dibenturkan dengan peraturan pemerintah dalam UU. Proses vaksinasi yang dilakukan Presiden dan pelbagai elemen masyarakat lain dalam siaran langsung di media elektronik tak melunturkan kecurigaan publik terkaiat amannya dan halalnya vaksin tersebut. Produksi informasi yang tidak seimbang akan vaksin Sinovac semenjak kedatangannya di Indonesia bergulir bagai bola salju. Informasi terkain bahayanya vaksin tersebut masif muncul diberbagai lini massa. Hal tersebut seolah dikotomi terhadap rencana pemerintah dalam distribusi dan pelaksanaan vaksinasi tahap pertama terhadap tenaga kesehatan. Kenapa banyak ketidakpercayaan publik terhadap kemanan vaksin Sinovac ini bermunculan?. Bukannya setiap vaksin sudah melalui uji keamanan.

Data google.trends. sepanjang 1 minggu awal tahun 2021 menunjukan bahwa kata manfaat vaksin Covid-19 memiliki prosentase dibawah 30%. Hal ini menunjukkan bahwa informasi yang tersebar terkait manfaat vaksinasi virus covid-19 tidak banyak dicari. Bahkan lebih mencengangkan pasca rapat kerja Menteri Kesehatan dengan DPR RI Komisi IX memberikan naiknya prosentase 80% kata vaksin Sinovac berbahaya lebih banyak dicari google. Frasa tersebut banyak diakses publik pada tanggal 15 Januari 2021. Dengan demikian, hal ini nampaknya harus dikaji aspek distribusi komunikasi publik kementerian kesehatan dan lembaga pemrakarsa penanganan Covid-19 ini. Data Keminfo membeberkan prosentase bahwa baru 20% penduduk Indonesia baru melek internet. Jika tingkatan populasi 5% saja dari 20% penggunana internet tersebut memproduksi konten-konten incredible infromation terkait bahaya vaksin terhadap 80% pupulasi lainnya maka dapat dibayangkan akan terjadinya information imbalance terhadap kemanan vaksin tersebut. Hal tersebut akan berdampak terhadap knowleedge gap terhadap proses vaksinasi tahap selanjutnya.

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menerbitkan emergency use authorization (EUA) vaksin Sinovac dengan efikasi 65,3%. Hal tersebut nampaknya belum cukup untuk memulihkan public trust terhadap kemanan vaksin Sinovac ini. Jangan-jangan informasi terkaiat keamanan vaksin tersebut kurang masif diproduksi dan didistribusi di masyrakat?. Sehingga personal integrative needs dan social integrative needs terkait kemanan, kelayakan, dan kehalalan vaksin Sinovac tersebut tidak terpenuhi. Masyarakat cenderung mengonsumsi informasi-informasi dikotomi yang terkemas secara menarik. Sampai-sampai kemunculan pelbagai keraguan-keraguan terhadap kelayak dan kemanan Vaksin Sinovac tersebut juga bermunculan dari beberapa anggota DPR RI. Tentu hal ini tidak diharapkan terjadi disaaat kegiatan vaksinasi nasional sudah berjalan. Hal tersebut ditengarai bermunculan disaat banyaknya perbedaan statement (pernyataan) dari pelbagai lembaga pemerintah terkait kemananan dan hasil uji klinis vaksin Sinovac. Bahkan Keputusan Menkes Nomor HK.01.07 terkait Penetapan Jenis Vaksin untuk Pelaksanaan Vaksinasi Virus Covid-19 menjadi pertanyaan besar karena memberikan urutan vaksin Sinovac diposisi terakhir.

Transparansi Akselerasi Vaksin

Ketidakpercayaan publik akan kemamanan vaksin Sinovac ini tidak dapat dipandang sebagai kelalaian dan egosentris masyarakat semata. Ketersedian dan keterbukaan akses terhadap informasi tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah seperti yang terurai dalam BAB IV Pasal 14 sampai Pasal 20 UU Nomor 36 Tahun 2009 yang menyatakan bahwa pemerintah bertanggung jawab dalam perencanaan, pengaturan, penyelenggaraan, serta pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau. Bahkan dalam Pasal 17 menerangkan tanggung jawab pemerintah atas ketersediaan akses terhadap informasi edukasi, dan fasilitas layanan kesehatan untuk meningkatkan dan memlihara derajat kesehatan setinggi-tingginya. Dengan demikian, upaya edukasi ketersediaan informasi terkait kemanan, kelayakan, dan kehalalan vaksin Sinovac tersebut menjadi tanggung jawab penuh pemerintah. Dalam hal ini pemenrintah dan lembaga pemrakarsa penanganan Covid-19 menentukan strategi dan model komunikasi berbagai hasil temuan penelitian tentang kemamanan dan kelayakan vaksin Sinovac. Tidak hanya itu, nampaknya pemerintah juga perlu memperhatikan Physiological motives dan Social motives dalam pendistribusian informasinya. Ketersedian informasi tersebut dibutuhkan dalam proses vaksinasi tahap selanjutnya dikarenakan objek yang menjadi sasaran yakni masyarakat umum yang notabennya tidak memiliki kemampuan spesifik dalam memahami efikasi vaksin dan prosedurnya. Bahkan akselerasi uji kelayakan vaksin harus tersampaikan secara baik terhadap masyarakat sehingga akan menumbuhkan comparasion of truth, relevance, balance and neutrality terhadap pemilihan vaksin Sinovac ini. Nampaknya dengan proses tersebut akan memberikan public trust di tengah Curiosity saat ini.

Pengupayaan hal tersebut akan mendorong kesadaran kesehatan masyarakat dibandingkan dengan penafsiran sanksi hukum terhadap seseorang yang menolak untuk divaksin dengan presepsi UU Nomor 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Penyelesaian pandemi virus Covid-19 ini tentu tidak hanya menjadi kewajiban pemerintah semata. Amanat tersebut tertuang dalam bagian kedua UU Nomor 36 Tahun 2009. Upaya yang dapat dilakukan masyarakat yakni melaksanakan upaya kesehatan perorangan, kelompok, serta membangun wawasan kesehatan. Dalam hal ini tidak menyebarkan informasi yang tidak benar (hoaks) terkait keamanan vaksin dan efek sampingnya serta selalu mematuhi protokol kesehatan dapat menjadi bukti nyata kedewasaan bernegara. Tentunya dengan tetap memberi kritikan serta masukan terhadap program-program yang ditengarai menyalahi asas UU dan hak asasi manusia. Harapannya kesadaran kesehatan ini akan berjalan dengan upaya peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan (preventif), penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Semoga dengan kesadaran bersama dapat mempercepat penanganan virus Covid 19 dan pemulihan pelbagai dampak di negeri kita tercinta ini.

——- *** ——–

Rate this article!
Tags: