Membangun Kawasan Layak Anak

Yunus-SupantoOleh :
Yunus Supanto
wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik

“Sesungguhnya di dalam surga terdapat suatu gedung yang dinamakan Darul Farah (Gedung Kegembiraan), tidak akan masuk gedung tersebut kecuali orang-orang yang senang membuat anak-anak gembira.”
(Hadits riwayat Ibnu Addi dari Sayyidah Aisyah r.a)
“Bau tubuh anak-anak adalah sebagian dari angin surga,” begitu kata Rasulullah SAW, dalam riwayat hadits lain. Ajaran tersebut, sangat patut menjadi orientasi orangtua, guru (SD) dan seluruh  masyarakat, untuk meningkatkan perilaku kasih sayang. Khususnya pada aspek peng-asuhan anak. Secara ke-pendidik-an, core paradigma anak, adalah kedamaian dan kegembiraan. Sedangkan akses keamanan (diri), biasa terabaikan. Itulah (keamanan) yang menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah.
Seluruh tempat, terutama di kampung, di sekolah dan di tempat hiburan, juga di mal dan pusat perbelanjaan, wajib menjadi “kawasan layak anak.” Dibutuhkan definisi tentang  “kawasan layak anak,” lebih komprehensif. Terutama upaya (aksi) nyata pemerintah mewujudkan lingkungan tumbuh kembang anak yang baik. Sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi, bahwa anak memiliki hak asasi yang melekat, wajib diwujudkan oleh penyelenggara negara.
Dalam UUD pasal 28B ayat (2), dinyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Sehingga, KLA (Kawasan Layak Anak) seharusnya menjadi prioritas seluruh pemerintah daerah. Bisa diprogramkan melalui lomba atau festival secara masif. KLA, bukan sekedar lingkungan hidup yang asri dan dilengkapi sarana permainan. Melainkan juga dilengkapi cctv (sirkuit pantau terekam televisi).
Tetapi kenyataannya, sistem dan upaya perlindungan anak belum memadai. Kekerasan pada anak semakin memprihatinkan, dengan berbagai modus. Hingga tindak pidana cyber-crime (17%), juga melibatkan anak. Yang paling memprihatinkan, lebih separuh kekerasan pada anak terjadi pada masalah peng-asuhan. Ini sudah diluar nalar pikiran sehat kemanusiaan. Orang terdekat anak-anak yang seharusnya melindungi, malah menjadi pelaku kekerasan! Tren ini semakin meningkat.
Tahun (2015) ini, kekerasan pada anak mencapai puncak dengan terutangkapnya kasus Engeline, di Bali. Pulau “dewata” yang seharusnya nyaman  untuk anak. Sehingga di tempat lain, patut diduga lebih tidak nyaman untuk anak. Terbukti (kejadian lebih keji) dengan terungkapnya kasus Putri Nur Fauziyah, di Jakarta Barat. Serta tragedi Amelia, yang terjadi di dalam kelas SD Negeri di Kendal (Jawa Tengah).
Kriminalitas Anak
Kekerasan terhadap anak, terutama anak perempuan, makin meningkat. Tahun (2014) lalu terjadi 6000 kasus lebih. Tahun ini, kejadian dengan pemberatan (hingga korban meninggal) cenderung meningkat. Anak-anak, bukan hanya menjadi korban, melainkan juga menjadi pelaku tindak kekerasan pada teman sebaya. Di dalam kelas (sekolah) pula!
Tetapi penegakan hukum terhadap tindak kekerasan seksual pada anak masih menggunakan KUHP. Hukumannya tak seberapa, sehingga menyebabkan banyak kasus serupa terulang. Padahal Indonesia telah memiliki undang-undang yang lebih lex-specialist. UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, telah cukup memiliki peraturan, termasuk sanksi pidana. Meski belum memadai dalam implementasi aksi, setidaknya bisa menjadi “tongkat” penuntun ke arah kebijakan kepada pemerintah dan pemerintah daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota).
Secara kenegaraan maupun pemerintahan, telah dibentuk institusi perlindungan anak. Yakni KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Komnas Anak. Beruntung kedua instutusi cukup getol memperjuangkan hak-hak anak, terutama keamanan dan garansi tumbuh kembang anak. Bahkan KPAI menganggap telah terjadi situasi ke-gawat-an perlindungan anak. Karena berbagai kasus terjadi diluar nalar kemanusiaan. banyak tindak kriminal yang dialami anak.
Berdasar UUD, dan UU 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, niscaya menuntut konsekuensi. Yakni, harus dibuat berbagai program lintas sektoral untuk perlindungan anak, terutama “peta” rawan kejahatan terhadap anak. Biasanya, lokasi rawan berada di daerah kantong-kantong kemiskinan. Syukur pula, aparat ketertiban masyarakat (Polisi di tiap Polres) juga telah memiliki unit Perlindungan Perempuan dan Anak. Berdasar UU dan unit yang terstruktur, penegak hukum bisa lebih intensif mencegah, serta memburu pelaku.
Memang tak cukup hanya mengandalkan polisi, karena jumlah aparatnya tidak banyak. Keterbatasan polisi sudah diantisipasi oleh UU. Diantaranya melalui pasal 20, yang menyatakan seluruh komponen bangsa dinyatakan memiliki kewajiban dan tanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Namun, harus ada yang dibebani secara khusus mengurus perlindungan anak. Pada pasal 59 kewajiban itu dibebankan kepada pemerintah dan lembaga negara.
Dalam catatan KPAI, per April 2015, mencatat, terjadi 6006 kasus kekerasan anak di Indonesia. Angka tersebut meningkat 18,5% dibanding kasus tahun 2014 (sebanyak 5066 kasus). Dari 6006 kasus pada tahun 2015, sebanyak 3160 kasus kekerasan terhadap anak terkait pengasuhan, 1764 kasus terkait pendidikan, 1366 kasus terkait kesehatan dan NAPZA, dan 1032 kasus cyber crime dan pornografi. Per-angka-an ini merupakan potret situasi ke-gawat-an kriminal anak.
Darurat Perlindungan Anak
KPAI menganggap, saat ini telah dalam situasi “darurat perlindungan anak.” Karena banyak tindak kriminal yang dialami anak. Tindak kejahatan anak, antaralain disebabkan maraknya situs pornografi, yang menjadi inspirasi pelaku kejahatan seksual. Hal itu juga berkait dengan fakta, bahwa 49 juta pelanggan internet mengakses situs porno. Situs porno menyumbang 38% dari berbagai modus. Maka diperlukan cara sistemik (dengan hukuman memadai) terhadap warnet (warung internet) yang tidak melarang pelanggannya meng-akses situs porno.
Begitu pula peng-unggah situs porno, mestilah disejajarkan dengan kejahatan peredaran narkoba. Penegakan hukum (yang membuat jera), dapat menjadi alat  untuk memutus mata-rantai situs porno yang dapat diakses secara bebas, termasuk oleh anak-anak. Dalam sebulan saja telah terjadi tindak kekerasan pada anak (modus seksual saja) sebanyak 80 kasus. Sehingga dianalisis oleh KPAI bahwa kejahatan seksual pada anak sudah pada titik sadistis.
Karena itu ke-seksama-an perhatian terhadap sistem perlindungan anak, menjadi sangat urgen, strategis dan kritis. Diperkirakan jumlah anak di Indonesia mencapai 30-an persen total jumlah penduduk, atau sebanyak 85 juta-an. Memang bukan hal mudah. Kekerasan pada anak bukan hanya berupa kejahatan seksual. Melainkan juga, yang sangat menonjol adalah eksploitasi anak serta kekerasan fisik  Di berbagai area urban, banyak anak dipaksa orangtuanya menjadi pengemis atau pengamen.
Di perkotaan, taman-taman kota masih banyak pengemis mengajak anak,  sebagai trik iba. Juga masih banyak pengemis berusia sekolah (5 taun sampai 12 tahun), termasuk mengemis di bus antar-kota. Seharusnya, Polda (dan Dinas LLAJ) melarang kru bus untuk menaikkan penumpang dan pengamen. Sebagaimana kereta-api kini telah bersih dari pengamen dan pengemis. Ini sekaligus untuk mengaman dan menyamankan perjalanan dengan angkutan umum.
Lebih mengenaskan lagi, banyak pengemis anak yang telah menjadi “budak” sindikat eksploitasi anak. Sindikat, biasa beroperasi di kawasan urban, dengan modus mengamen dan mengemis. Pemerinta Daerah dapat berperan lebih aktif, melaui razia pengamen, pengemis dan gelandangan.

                                                                                                                    ———- *** ———-

Rate this article!
Tags: